Yaksara: Yaksara Visha

Sumber gambar: https://pin.it/3oVUsjU

 

 

 

Dalam ruangan ini, anak-anak meraung kesakitan. Sekarang, sembilan belas dari kami sudah pergi. Aku termasuk salah satu dari sekian orang yang beruntung karena bisa selamat dari semua derita yang kami alami. Meskipun kami dapat bertahan, setiap hari jumlah kami menyusut. Terkadang untuk menyingkirkan kecemasan yang merusak pikiran setiap saat, kami membuat permainan menebak siapa yang akan masuk dan pergi selanjutnya.

Sepuluh, sebelas, tiga belas, tiga puluh dari kami dibawa pergi. Terbaring kaku dalam balutan kain putih bernoda merah. Aku selalu berpikir, apakah suatu hari aku juga akan berakhir seperti mereka? Tidur dalam selimut putih kemerahan nan hangat dan dibawa dengan kasur beroda yang berbunyi nyaring saat melalui lantai yang tidak rata. Cukup menyenangkan dan seru untuk dicoba.

Hari ini aku akan menjalani operasi terakhir. Seluruh tubuhku sudah diganti, tinggal pengangkatan jantung dan otak, lalu mereka akan menyelesaikannya. Jujur, aku selalu ingin mengakhiri hidupku seperti yang lainnya, tapi semuanya sia-sia. Karena tubuh ini terlalu kuat untuk dilukai atau dicekik menggunakan selimut tidur panjang yang digantung dilangit-langit. Aku sudah berkali-kali mencobanya. Dan aku selalu terlihat konyol saat para penjaga melihatku bergelantungan dengan kaki mengayun berusaha untuk meraih lantai keramik di bawah. Oleh karena itu, aku menghentikan kegiatan menggelikan tersebut, pasrah hingga semuanya berakhir.

Lupakan semua kekonyolan itu, saat ini, orang-orang berjubah putih sudah mulai berkumpul mengelilingiku dalam ruangan operasi. Ada yang mulai sibuk memasang logam pengikat ke tubuhku. Salah satu petugas yang sedang menyiapkan peralatan bedah bertanya pada temannya, “Setelah operasi ini, mau makan ke angkringannya Pak Somad?”

Petugas di sebelahnya menanggapi, ”Entahlah, mungkin kalau operasi kali ini berjalan cepat. Ngomong-ngomong, apa kau menonton pertandingan sepak bola tadi malam?”

Tepat setelah mereka selesai bercakap-cakap, seorang mendekatkan tangannya yang berbalut karet ketat ke dadaku. Aku memejamkan erat mataku. Tapi, seseorang memegang halus pipiku membuat mataku terbuka. Orang itu membisik di telingaku dengan suara khas wanita yang lembut, “Tinggal sedikit lagi .…”

Tepat setelah itu, rasa sakit yang luar bisa menjalar dari dada ke seluruh tubuhku. Seseorang langsung memasukan entah apa itu ke dalam mulutku ketika aku mulai berteriak agar tidak merusak jaringan gigi jika tiba-tiba aku megatupkan mulut

Air mata mengalir ketika pisau bedah menyayat jantungku tipis-tipis. Dalam batin aku berpikir, “Seandainya aku bisa pergi bersamanya saat itu, pasti aku tidak perlu berhadapan dengan pisau bedah saat ini. Vina, apakah aku bisa menepati janjiku padamu?”

Beberapa hari yang lalu sebelum operasi, aku bertemu seorang anak perempuan. Ia terlihat sangat muda. Saat itu aku sedang berjalan di hutan sekitar laboratorium dengan mengenakan jaket biru bertudung. Di sana aku melihatnya, perempuan itu menangis. Ia terjebak di hutan ini sambil merengek bahwa pasti ayahnya akan memarahinya jika ia tidak segera kembali. Aku ingin menolongnya, tapi langkahku terhenti mengingat tubuhku sudah bukan yang seperti dulu. Aku masih berdiam diri di sana untuk menemaninya di balik semak pepohonan hingga ia menyadari keberadaanku akibat suara buah mangga busuk yang jatuh tepat di atas kepalaku.

“Siapa?!”

Saking kagetnya, aku membatu sesaat. Lalu, dengan canggung aku melambaikan tangan kepadanya. Anak itu pun mulai tegang. “Sepertinya dia mengetahuinya,” batinku.

Anak itu mulai ketakutan dan berteriak, “Yaksara? Tida, jangan …, jangan bunuh aku! Pergi! PERGI!!!”

Anak itu mulai menyebut-nyebut ayahnya dengan hiteris. Saat aku mendekat ke arahnya, teriakannya malah semakin mejadi. Dan ia pun menutup matanya dengan kedua tangan kecilnya. Aku hendak menyentuh pundaknya agar ia tenang. Akan tetapi kuurungkan niatku mengingat kekuatanku dapat melukainya. Oleh karena itu, aku berjongkok dan berkata, “Tenanglah. Aku tidak akan membunuhmu.”

Meski suaraku seperti suara yang keluar dari mesin, aku membuatnya selembut mungkin agar tidak menakutinya. Lagi pula anak itu tidak salah, Yaksara seperti kami dibuat untuk kepentingan keamanan dan militer yang akan membunuh siapa saja yang ada di hadapannya. Jadi tidak aneh anak itu ketakutan setengah mati.

“Mau kuantar ke jalan keluar?” tawarku kepadanya.

Aku menjulurkan tangan kananku ke hadapan anak itu yang perlahan menurunkan tangannya. Sesaat ia ragu dan juga masih gemetar hebat. Namun, ia akhirnya mau menerima uluran tanganku setelah aku memberikan senyuman hangat yang tidak mungkin diberikan oleh seorang Yaksara pada umumnya. Aku pun membalas anak itu dengan menggenggam tangannya dengan sangat lembut dan pelan supaya tidak menghancurkan tangannya yang terlihat rapuh itu.

Dalam perjalanan, ia tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Baru setelah air matanya kering dan isaknya terhenti, ia berkata, “Katakan! Kenapa kau tidak membunuhku? Dan kenapa kau bisa tersenyum? Kau Yaksara, kan?”

“Anggap saja kau beruntung bertemu denganku sebelum peneliti gila itu mengambil otak dan jantungku. Ngomong-ngomong, siapa namamu, bocah?” kataku kepadanya. Jujur, aku sengaja memanggilnya seperti itu karena aku sedikit tidak suka dengan cara bicaranya serta alasan lain.

Sepertinya anak itu tersinggung dengan ucapanku. Dengan lantang ia berteriak, “Jangan panggil aku bocah! Namaku Dafina Vishaka! Umurkku enam belas tahun! Jangan seenaknya memanggilku begitu!”

Aku cukup terkejut mendengarnya, bagaimana tidak? Tinggi anak ini tidak sampai 150 cm, wajahnya pun seperti anak-anak. Terlebih sikapnya tadi saat menangis, bukankah itu seperti anak kecil?

“Ups. Maaf kalau begitu. Untuk menghargaimu, aku akan memperkenalkan diri. Aku Yaksara tipe kekuatan. Nama kode Nomor RED-B7.”

Dahi anak itu mengerut tidak paham, “Terlalu sulit untuk diingat … Azel. Aku akan memberimu nama itu.”

Langkahku terhenti dan tertawa kecil. Untuk sesaat aku merasa sangat bahagia. Tapi, kebahagiaanku ini tiba-tiba berubah menjadi kesedihan mengingat mereka pasti akan menghapus ingatanku.

Dengan tatapan sedih aku berkata pada anak itu, “Kuterima kebaikanmu. Tapi, dalam beberapa hari, aku mungkin tidak akan mengingatnya. Ah! Sepertinya sudah sampai. Kau tinggal lurus saja dan kau akan menemukan jalan raya. Kalau begitu selamat tinggal … Vina.”

“Kau tidak ikut? Bukankah kau tidak menyukai tempat itu?” ucap anak itu setelah aku berbalik meninggalkannya. Entah dia bisa membaca pikiranku atau bagaimana, tapi perkataannya telak mengenaiku.

“Kuharap aku bisa. Kau tidak tahu apa yang akan mereka lakukan jika aku hilang dalam jangkauan pengawasan mereka,” ucapku sambil berlalu pergi ke tempat aku datang sebelumnya.

Tiba-tiba anak itu berteriak, “Kita akan bertemu lagi!”

Aku berhenti. Ucapan anak itu tidak masuk akal. Oleh karena itu, aku sedikit menoleh untuk mengungkapkan isi kepalaku. Tidak ada senyuman, hanya wajah datar, dan tatapan mengancam. Dengan datar tetapi jelas, aku berkata, “Kuharap saat itu aku belum menjadi mesin pembunuh berdarah dingin.”

Setelah itu, aku pergi meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Mengabaikan semua teriakan kerasnya dan kembali ke laboratorium. Kemudian, masuk ruangan pribadi untuk melupakan segalanya. Niatan untuk pergi bersamanya, karena itu tidak mungkin juga berbahaya. Anak itu dan keluarganya bisa mati atas tuduhan pencurian Yaksara. Lagi pula aku sudah lama menyerah pada dunia. Tepat setelah orang tuaku menjualku ke tempat ini hanya untuk adik perempuanku yang kecil itu. Aku benci mengakuinya, tapi aku iri pada saudaraku sendiri sekaligus sangat benci. Dia sudah merenggut hidupku. Tapi aku tak bisa menyalahkannya. Orangtuaku sudah memutuskannya, mereka akan menjualku tepat setelah anak itu lahir. Dan aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orang tuaku, karena peraturan negara ini berbunyi, “Satu anak bagi satu keluarga. Jika memiliki lebih, wajib dijual pada pemerintah. Kelahiran kembar tidak terkecuali.”

“Dokter, ia mulai kehilangan kesadaran.”

“Tidak apa. Kita sudah mengangkat jantungnya. Urka! Segera masukan jaringan itu.”

“B-ba-baik!” ucap seorang wanita yang sedikit linglung karena kaget, namun dengan teliti, ia memasukan benda bulat yang asing berpedar biru terang ke rongga dadaku. Tubuhku sangat lemas, wanita itu benar, sudah tidak terasa sakit lagi. Napasku terengah, lalu pengelihatanku mulai samar. Akan tetapi, aku masih bisa mendengarnya pembicaraan orang-orang itu, mereka akan mengganti otakku. Tapi, di saat yang sama kesadaranku mulai hilang.

Akankah aku kehilangan diriku? Apakah aku akan berakhir di sini? Manakah yang akan terjadi? Aku hanya bisa pasrah. Hidupku sekarang sudah tidak berarti. Hanya diriku seorang dan aku.

Satu-persatu bayangan muncul di kepalaku. Sepasang wanita dan pria yang bahagia memelukku, lalu berganti muncul bayangan diriku di sebuah ruangan krem muda yang dipenuhi anak-anak dan seorang guru di depan. Bayangan terus berubah lalu memelan digambar orang tuaku menerima uang hasil penjualan diriku dengan senyuman lebar nan bahagia. Selanjutnya, bayangan mengerikan yang menyakitkan muncul. Kemudian semuanya hilang, satu demi satu dan diikuti yang lainnya. Hanya diriku yang tersisa, dalam kegelapan serta kode terang kehijauan yang mulai muncul dari bawah.

“Kita akan bertemu lagi!”

Mataku terbelalak kaget, kemudian aku menyadari bahwa diriku saat ini berada di ruangan tertutup. Ruangan ini sangat kecil dan berwarna putih disetiap tempatnya. Di ujung terdapat pintu logam dan di ujung lainnya terdapat wastafel. Selain itu, hanya ada sebuah tempat tidur yang kududuki saat ini. Saat aku hendak berdiri, pintu tiba-tiba terbuka. Lalu terdengar suara seseorang yang berasal dari dalam kepalaku.
“Panggilan bagi seluruh Yaksara di Tampungan Jogja Restya Jaya. Kalian diharapkan datang menuju aula tengah tanpa terkecuali! Atau kalian akan menerima sakitnya. Yah, meskipun aku ragu hal itu akan terjadi,” ucap seseorang pria dengan tegas, lalu mengakhirinya dengan malas.

Aku paham apa yang dimaksud suara itu dengan sakitnya. Manknanya sengatan listrik khusus. Aku ingat bagaimana sakitnya sengatan itu, meski aku tidak ingat dimana sengatan itu terjadi. Oleh karena itu, aku pun melaksanakan perintah dan berkumpul dengan Yaksara lain. Sesampainya di aula, kami dihadapkan dengan manusia-manusia yang berpakaian tahanan terantai di atas lembaran logam hitam penuh noda.

“Perintah bagi semua Yaksara, pilihlah satu dari mereka dan bunuh!” ucap seseorang jubah putih yang dijaga oleh tiga Yaksara wanita serta seorang manusia bertubuh tegap berpakaian militer bergaris kehijauan.

Para Yaksara bergerak menuju tahanan pilihan mereka tanpa protes. Dari Yaksara pria hingga wanita tidak segan membunuh tahanan di depannya dengan keji. Aku masih terdiam di depan tahanan anak kecil yang sejak tadi ada di hadapanku. Aku mengulurkan tanganku. Menghancurkan lehernya tampak lebih mudah. Hingga tiba-tiba aku terhenti. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku tidak bisa maju sedikit pun. Padahal jarak tanganku dengan leher anak itu tidak sampai satu senti.

“KAU! YAKSARA NOMOR RED-B7! APA YANG KAU LAKUKAN?! CEPAT BUNUH ANAK ITU!” Perintah pria berjubah putih.

Aku mencobanya lagi, tapi tak bisa. Aku terus-terusan gagal dan aku mengatakanya pada pria yang berada di atas, “Maaf, Tuan, saya sudah mencobanya. Tapi saya tidak bisa bergerak lebih dari ini.”

“LAKUKAN!!!” bentaknya.

“Maaf, Tuan. Saya tidak bisa,” ucapku lagi.

Tiba-tiba sengatan listrik yang luar biasa dialirkan dari kalung leherku. Aliran listrik terus menyebar ke seluruh tubuh. Rasanya sangat sakit, tapi yang lebih menyakitkan adalah kepalaku rasanya berdenyut seakan mau meledak. Aku yang tidak kuat lagi mulai kehilangan kesadaran. Tapi sebelum itu, seorang Yaksara berambut panjang menghancurkan kepala anak tersebut dengan tinjuan cepatnya. Padahal anak itu sudah memohon ampun hingga menangis meraung-raung. Tapi yang tersisa dari anak itu sekarang hanyalah tubuh kosong dengan terkorak yang hancur.

Saat aku sadar, aku sudah kembali ke ruanganku. Aku terkurung di sana sangat lama. Karena tidak ada cahaya matahari yang lewat, aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di tempat ini. Sebulan? Enam bulan? Setahun? Aku tidak tahu, hingga pengumuman datang kembali. Seperti sebelumnya, suara itu menyuruh kami menuju aula tengah. Dan di sana tentu saja, di sana kami diperintahkan untuk membunuh. Dan masih sama seperti yang sebelumnya, aku selalu terhenti. Bagaimana pun usahaku, semuanya sia-sia. Aku pun dihukum setrum dan dikembalikan ke ruangan.

Waktu mengalir lagi. Mereka sudah berkali-kali menyuruhku melakukan pembunuhan itu. Tapi tidak ada yang bisa kubunuh, karena pasti aku akan berhenti beberapa senti sebelum menyentuhnya. Bahkan menggunakan senjata pun aku tetap tidak bisa. Aku pun terus-terusan dihukum. Dilihat dari percakapan pria berjubah putih, sepertinya lima tahun sudah terlewat.

Dari belakang pria itu, seorang perempuan berambut menggelombang panjang muncul. Ia tersenyum lebar saat melihatku, melambaikan tangannya saat ia tahu aku memperhatikannya. Dengan telunjuk kirinya ia menunjukku dengan mantap saat pria itu bertanya. Pria itu pun menyarankan Yaksara lain yang dibilangnya lebih kompeten. Tapi perempuan itu menolak, ia bersikeras tetap memilihku.

Setelah ia memberikan bayaran kepada pria berjubah putih, pria itu menyuruhku menuju tempatnya. Di tempat itu, otakku mulai diberikan program perintah. Dalam data itu aku bisa melihatnya. Nama perempuan itu adalah Dafina Vishaka dari Surabaya.
Setelah semua prosedur selesai aku dibawa ke tempat wanita yang tadi. Wanita itu berjalan anggun ke arahku dengan wajah tegas. Aku mempersiapkan diri untuk semua perintah yang mungkin akan diberikan wanita itu. Tapi, bukannya memerintahku, tanpa diduga, ia malah memelukku. Aku tidak paham kenapa ia melakukannya. Tapi saat ini aku merasa sangat bahagia.

Aku juga tidak tahu, tiba-tiba muncul sensasi aneh di bibirku. Aku mencoba menahannya, tapi sangat sulit. Akhirnya, aku membiarkannya lepas. Saat itu juga aku menyadari, aku tersenyum.

“Senang bertemu denganmu, Azel ….”


 

 

Cerpen oleh Hilma Mufidah, mahasiswa PBSI UAD semester 2.

Leave a Reply