Napas Janji

Pixabay.com

Seorang wanita muda berjubah putih bilang bahwa aku ini tak sempurna. Memiliki kelainan, dimana sedikit kelelahan bisa merusak jantungku. Di pikiran orang-orang aku ini cuma beban. Bahkan hingga umurku delapan tahun sekarang, semua masih beranggapan sama. Namun, aku punya kelebihan pada hal yang tak orang tahu. Meskipun hal itu juga yang membuatku disebut cacat atau pun gila.

Oleh karena itu, sejak kakak itu datang, aku menyembunyikan semua kemampuanku. Aku berharap paling tidak di desa ini ada satu yang akan menyukaiku. Untungnya harapanku terkabul. Ia sangat mencintaiku sekarang. Seperti keluarga. Bahkan, makhluk iblis yang selalu kulihat pun semakin jauh dariku semenjak aku selalu bersamanya. Di tempat ini aku akhirnya merasa damai. Tetapi, aku pun terkejut karena semua akan berakhir seperti ini. Aku tak ingin. Sedikit pun tidak. Hingga iblis itu menawarkan padaku dua hal. Aku atau Kak Aya.

“Oiiii …… Satya? Ekkhem! Ekkhem! Tok! Tok!” ucap perempuan mengetuk dahi lapangku.

Tersentak dengan serangan tiba-tiba, aku linglung menengok kanan-kiri. Mendongak takut ke perempuan tadi. Mengusap dahi dengan kedua tangan untuk meredakan perih. Saat ku mempertajam pengelihatan, di hadapanku ia perlahan mundur menyibak sisi rambutnya. Ketika dirinya menyangga dagu di meja kayu, ia menghela napas panjang.

“Ngelamunin apa? Kok nyuekin kakak imut ini dari tadi. Kak Aya ‘kan jadi sedih tahu. Huhuhu …. Sepertinya untuk menghibur hati kakak yang perih ini, kakak harus memakan kue manis coklat spesial yang tersisa. Huu…. huuu …. ” ucapnya dengan nada memelas.

Melihat kue kecoklatan bertoping selai stroberi asam manis kesukaanku diambil menjauhi garpu di tanganku, aku merengek panik, “Hah? Aaa! Aaa!”
Mungkin karena reaksi kekanak-kanakanku, perempuan itu mengintip dari sisi lengannya dan tersenyum. Menaruh kembali piring kue ke meja, ia menahan tawa sampai terbatuk-batuk sendiri.

“Sebenarnya kau ini sedang melamunkan apa, huh? Ada sesuatu yang menarik?”

Tak mau lama-lama kehilangan cemilan, aku merampas kue itu sebelum menjawab pertanyaannya dengan menunjuk noda coklat di tembok sudut ruangan. Seperti sebuah percikan panjang dari cairan, beberapanya ada noda kusam kemerahan. Terlebih aroma asing ini tercium kuat dari noda itu. Karena itu, aku berkata pada kakak, “Bau besi.”

Kakak menengok apa yang kutunjuk dan tersenyum canggung mengarahkan pandangan ke jendela luar. Aku tak tahu kenapa kakak tiba-tiba seperti itu padahal itu bukan arah yang kumaksud. Jika kuperhatikan kakak baik-baik, keringatnya mengalir dari pelipis ke pipi kirinya. Tubuhnya gemetar menyambar bahuku ke bawah. Semilir angin dari tanah basah dari celah pintu terbuka pelan memunculkan cahaya remang mewujudkan sekelebat bayangan kaki hitam. Diikuti dengan dibantingnya pintu, suara benda berat terjatuh di tanah basah. Tak dapat kulihat, tapi aku mencium aroma yang sama, besi bekarat dan amis bercampur aroma hujan. Sebenarnya ada apa kakak ini?

Aku hendak bertanya pada Kak Aya, namun sesuatu menggaung di telingaku berkata, “Sudah dimulai! Tak ada tempat sembunyi!”

Kebingungan dengan kata-kata misterius yang terdengar seperti pria muda, aku mencari asalnya. Memutar badan ke belakang, melihat ke langit-langit rumah. Sesuatu terbang di sana. Wujud kecil dengan warna kemerahan mengepak sayap yang kemudian meleleh hilang dalam kegelapan.

“Kupu-kupu?” pikirku saat lelehannya jatuh ke wajahku.

Aku kira aku hanya berkhayal dengan yang kulihat kemarin. Maksudku, ini sudah setahun sejak terakhir kali makhluk-makhluk mengerikan berada dekat atau pun menyerangku. Jadi aku mengabaikannya sampai aku menyadari keanehan. Dari hari ke hari Kak Aya terlihat pucat, panjang napasnya pun tak beraturan, beberapa luka misterius mengintip dari celah bajunya saat aku tak sengaja melihat. Tentunya ini aneh. Karena semua luka itu terkesan seperti goresan pedang dan cakar. Meski aku hanya pernah melihat yang seperti itu di film.

“Namun, ini sama,” gumamku.

                       ==========

Siang hari di bawah rindang pohon pisang memainkan ulat di atas dedaunan. Sesekali menengok ke jalanan aspal, menanti angkot Kak Aya datang. Sejam sudah berlalu sejak waktu kakak seharusnya tiba. Dari menit ke jam berikutnya, masih tak ada kemunculannya. Pikiranku kalut membayangkan apa yang terjadi pada kakak membut mataku memanas. Air mataku menetes saat gemerisik dedaunan menunjukan sosok yang kukenal.

“Kakak!” panggilku padanya.
Membersihkan tubuh dari daun dan kotoran, Kak Aya berkata, “Eh?! Ada apa, Satya?”

Tak bisa berpikir lagi, aku berlari ke arah kakak. Membenamkan wajahku di seragamnya yang terlihat kotor. Berkali-kali ia bertanya padaku tentang mengapa aku menangis. Tetapi, kekhawatiranku ini menghalangi diriku mengeluarkan sepatah kata. Tapi aku merasa lega saat kakak mengelus lembut rambutku. Sangat menenangkan, karena ini menandakan aku tak sendiri dan kami adalah keluarga.

Tapi tunggu, bukankah tadi kakak datang dari arah hutan? Kenapa tidak naik angkot? Kemudian, perasaan ini. Ada sesuatu yang tak beres. Seragam robek di pinggang, aroma darah yang tajam, penampilan lusuh tak karuan, dan sosok hitam bertanduk di belakang.

“Ah… iblis itu … mereka di sana,” batinku.

Pukul 22.00, terbangun karena tak merasakan Kak Aya di sebelahku, aku refleks membuka mata melihat tepat ke luar jendela. Kupu-kupu merah mengepak turun terlihat dari sela gorden kamar. Berkedip kilat keunguan di sebuah lengan, bulu kecoklatan melayang jatuh membuatku spontan melihat sosok Kak Aya yang di bahunya bertenger burung hantu besar. Menatapku dengan sorot mata tajam. Merah dengan pupil pipih kehijauan berkedip-kedip.

“Khuhehehek….” bunyi burung itu yang aku yakini adalah tawa.

Degup kencang meremas jantungku kesakitan berpikir jika makhluk mengerikan yang selama ini kukira tak akan mendekat lagi justru sudah berada sedekat ini denganku. Di balik kaca, ia memutar kepalanya ke bawah hingga jatuh ke tanah meninggalkan tubuh utuh mengepak sayap berbulu jarum.
Mengetuk-ngetuk lapisan dari luar, tangan berkuku cakar akhirnya masuk memecahkan kaca. Jemari bergoyang naik turun membuka lubang lebih besar. Diriku yang kesakitan karena terkejut berbalik kembali ke tidurku membelakangi jendela tempat jemari itu berada. Memejamkan mata, menutup tubuh ke dalam tumpukan dua selimut tua. Menyumpal kedua lubang telinga berdetak seakan mau meledakan pembuluhnya. Mengabaikan sensasi jemari panjang menyentuh permukaan serat kain selimut. Meluncur dari ujung tangan ke bahu kananku.

Aku berusha tenang. Tapi aku pikiranku kalut. Karena ini terjadi lagi. Iblis-iblis itu, kembali. Ditambah, aku hanya sendiri. Seperti dulu lagi. Entah Kak Aya atau bukan di luar sana. Namun, lebih dari itu. Para iblis ada di sini. Kakak dan aku dalam bahaya.

      ==============================

Terbangunkan desis marah kucing dari luar. Aku tak bisa tidur semalaman. Makhluk itu terus memegangku hingga aku pingsan di pembaringan. Meski sekarang aku tak melihat satu dari mereka, aku akan mengecek sekeliling. Mengingat apa yang terjadi semalam, aku mencari ke segala penjuru ruangan. Namun, satu pun tidak ada yang muncul. Satu sosok pun tidak. Kemudian burung hantu itu juga, dia tertawa. Itu tak mungkin, ‘kan?

KWAKKK!!!!!

Pekak serak nyaring menyakiti gendang telingaku. Pintu teras digedor-gedor membuatku panik membukanya tanpa berpikir. Sosok setinggi satu meter dengan paruh hitam besar terbuka. Sayap mengembangkan dipenuhi bilah bulu pisau hitam mengkilat. Sekali ada yang melihatnya, orang akan berpikir dirinya sedang bermimpi atau kurang waras.

Bahkan aku tahu bahwa orang-orang desa sudah menganggapku gila, tapi siapa pun yang melihat ini akan berpikir sama denganku, bukan?

“Bukan begitu, Tuan Iblis Gagak?” batinku tanpa basa-basi mengunci pintu kembali.

Mata kuning meleleh dengan bilah tajam hitam mengkilat tersinari awal fajar. Orang lewat tak ada yang mendengar mereka justru mencibir tingkah anehku berdiri ketakutan di mulut pintu teras sebelumnya. Tapi aku maklum. Karena tak seharusnya ada orang yang bisa melihatnya, iblis gagak bersayap pedang. Seperti mitos yang pernah kudengar dari nenek tua di desa berkata, “Sosok gagak bertengger di rerumahan. Akan ada yang berpulang ke tangan Tuhan.”

Meski yang diceritakan nenek itu tidak nyata. Namun, para iblis semalam dan gagak tadi benar-benar menginginkan kematian. Maksudku, mereka benar-benar akan mencabik seseorang hingga mati dengan bilah di sayapnya.

“Tapi, siapa yang mereka mau? Aku atau …. ” gumamku seraya menggigit ujung jempol kananku terpotong suara lain.
“Menurutmu? Khuehehehe….” suara tawa misterius dari samping.

Terkejut, aku sontak melihat ke arah suara. Burung hantu mengembang sayap di lantai pintu yang terbuka. Mata besar merah menyala menyipit tajam tanpa ia berhenti tertawa. Wajahnya meleleh hingga ke sekujur tubuhnya. Kemudian di balik bayangan milikku berada, menjulang sesosok pria misterius. Tepat saling bertatapan muka dengan tubuh jakung. Seperti manusia, tapi berekor ular, bersayap elang, dan jubah bulu warna kelabu menutupi sekujur tubuhnya. Sorot matanya berkilat menatapku lekat-lekat sebelum ia berkata padaku.

“Ia akan mati. Di tanganku atau pun yang lain,” ujarnya menunjuk ke gagak dan para iblis di kejauhan rumah.
“Sebaiknya kau ingat namaku, manusia! Sang Penguasa Bayang Iblis! Aku, Wangsa sendirilah yang akan memanen jiwa yang dicintai! ”lanjutnya yang memudar bersama datangnya sinar mentari keemasan.

                       =============

Memikirkan perkataan iblis yang disebut Wangsa, ada kemungkinan kakak dalam bahaya. Ia sudah hilang sejak semalam. Bahkan fajar tiba hingga tenggelamnya mentari, Kak Aya tidak kembali. Mungkinkah ia ada di rumah teman? Tapi bagaimana dengan sosoknya yang kulihat semalam? Ia tak mungkin meninggalkanku, ‘kan?

“Aku akan mencari dan menunggunya,” tekadku.

Berselimutkan deras hujan halilintar, jam di gapura menunjuk pukul 06.30. Lampu jalanan dan gapura menyala terang setelah aku berkeliling seharian. Tubuh tumbang ke hamparan rumput kebasahan karena letih dan jantung berdegup kencang. Di terpa badai, aku hanya bisa meringkuk kedinginan mengatur napas. Terbaring bersama guyuran air hujan yang menggenang di tanah mengabaikan degupan semakin menyakiti dadaku.

Bahkan mencoba tak peduli pada bayangan-bayangan mengerikan mengelilingiku dari kejauhan, sama sekali tak bisa menenangkanku. Mataku terasa berat untuk tetap terbuka. Semakin lama kucoba bertahan. pandanganku memudar dan kesadaranku menghilang.

Kewaspadaanku lengah, ketika sesuatu yang dingin menggores keras ke pangkal leherku. Rasa menyengat diiikuti panas mengalir ke bahu memaksaku untuk membuka mata. Seorang besar bercakar tajam berjongkok di hadapanku menyeringai dan menunjukan taring-taring kekuningan. Tangannya datang meraih pipi kiriku, kulihat wajahnya, matanya berlubang hitam. Merasa ia akan menusukkan cakar itu ke kulitku, aku memejam erat. Kemudian tanpa suatu pertanda, sensasi cakar itu tiba-tiba menghilang. Begitu aku mengintip dari salah satu mata, Wangsa mendekat perlahan seraya mengibas-kibas ekornya. Ia menepuk lembut rambutku. Menjentikan jarinya seraya melirik ke belakang kemudian berkata, “Kau sudah ditinggalkan, bukan?”

“Khehehe …. biar ku beri satu informasi. Perempuan itu-,” ucapnya terpotong sambil tersenyum ketika para iblis lain menyeret mayat-mayat penduduk desa.

“… akan habis riwayatnya seperti mereka,” terusnya.

Seketika mendengarnya, emosiku meledak hendak memukul wajahnya. Sampai sesuatu menghentikanku dengan cengkraman lengan. Bersamaan dengan teriakan gagak raksasa melemparku jauh tersayat ranting dan belukar tajam, rasa perih menyengat seluruh tubuhku hingga aku tenggelam ke sungai. Terseret deras arus ke kedalaman, berpikir akan kehabisan napas. Sepasang mata besar bercahaya melesat dengan cepat ke arahku.

Sesaat sebelum rahangnya memangsaku, tubuhku terasa ke permukaan hingga menghantam bebatuan. Aku terbatuk-batuk dan menghela napas panjang ketika raungan terus terdengar diikuti suara benturan benda besar ke perairan bertubi-tubi. Ketika aku membuka mata, aku tak bisa menahan air mata ini.

Di atas bongkah bebatuan sungai, Kak Aya berdiri di sana. Ia berbalik ke arahku. Tersenyum pedih di balik kabut putih menghalangi, ia berkata lembut,

“Satya carilah tempat aman …..”

Setelah berbicara, sosok Kak Aya rubuh. Aku hendak berlari ketempatnya. Namun, ketika cahaya rembulan menyinari tubuhnya. Tak ada kata yang bisa mendeskripsikan perasaanku untuk ini. Kaki, tangan, perut, bahkan punggungnya mengucur cairan merah ke bebatuan. Diinjak-injak iblis gagak bersayap pedang memekak penuh sukacita. Sedangkan aku hanya bisa tenggelam dalam raungan kesedihan tanpa bisa berbuat apa-apa. Padahal beberapa detik sebelumnyaaku dapat mendengar suara lembutnya. Tapi, inikah akhirnya?

Serangga malam menangis dalam sunyi beradu dengan deru arus perairan. Pakaian basah menusukan dinginnya udara. Para iblis berkumpul di setiap penjuru membawa para manusia hidup. Mengerang-ngerang kesakitan ketika taring merobek dagingnya. Sesosok yang kukenal berjubah kelabu muncul di hadapanku. Ekornya meliuk-liuk ke kanan dan kiri. Dengan sisa kesadaran yang kupunya di tengah kengerian itu, aku bertanya padanya, “Wangsa, ya? Ini salahku, ‘kan? Apa lagi yang akan kau lakukan padaku? Apa selanjutnya kau akan membunuhku?”

Tak ada jawaban dari Wangsa. Ia hanya menyeringai tipis yang mengingatkanku atas tatapan para warga di desa.
Jika aku boleh berkata, aku tahu kenapa orang-orang dan keluargaku meninggalkanku sendirian. Alasannya mudah. Jika aku terus hidup, akan lebih banyak yang mati. Meski begitu aku masih berharap dapat merasakan apa itu keluarga. Jika saat pertama Kak Aya datang ke rumahku aku tak memohonnya untuk menemaniku tinggal, ini tak akan terjadi. Meski aku tahu bahwa desa ini dikutuk para iblis karena kelahiranku, aku masih saja membuat kakak terikat padaku. Dengan begitu, tak akan ada luka mematikan yang menghiasi tubuhnya seperti ini.

“Bukankah seharusnya aku mati saja sejak aku dilahirkan? Seharusnya jantung lemah ini sudah membunuhku saat itu. Dengan begitu, tak akan ada takdir menyedihkan seperti ini. Dan semua orang termasuk Kak Aya akan hidup bahagia. Ya ‘kan, Wangsa?” tanyaku lagi dengan senyum pahit dipenuhi air mata.

“Khehe …. Tapi, bagaimna jika aku meberimu salah satu dari dua pilihan?” ucapnya tersenyum dengan mata sipit sebelum melanjutkan perkataannya,

“Dengan mengorbankan hidupmu, akan kuberikan kesempatan hidup pada kakakmu. Atau …. tumbalkanlah nyawa kakakmu! Aku akan berikan kau jantung yang sehat serta kekayaan juga kekuasaan.”

Aku terdiam. Berpikir sejenak sebelum menjawabnya, “Aku … pilih yang pertama. Tapi, biarkan aku menambah satu permintaan lagi.”

“Jadi apa itu?” tanyanya tertarik

“Tolong hapus jejak memori tentangku darinya. Dengan begitu, ia akan hidup tanpa kesedihan,”ucapku penuh ceria dan hujan air mata.

“Khuehehehe! Baiklah. Karena aku hanya butuh salah satu dari kalian. Kheh!” tawanya menghina seraya melayangkan lingkaran mantra janji dari darah juga air mataku.

Ketika kontrak darah telah diterima olehku dan Wangsa, seseorang dengan suara lemah memanggilku. Karena itu aku mengusap air mataku dan mencoba tersenyum untuk kakak. Karena mungkin ini adalah terakhir kalinya untukku dapat melihatnya.

“Kakak akan hidup,” ujarku tersenyum selebar mungkin untuk menghiburnya.

JRATSH!!!!

Belasan benda tajam menusuk tubuhku. Rasa perih datang dari dadaku. Aroma besi bercampur anyir manis tersebar dari tubuhku. Tapi aku masih tersenyum. Bahkan ketika ekor bersisik memecut leherku. Melemparkan pandanganku hingga terpental jauh di permukaan air. Meski sudah tak ada napas yang bisa aku tarik atau keluarkan. Dari tempat ini, aku melihat Wangsa. Menembuskan tangan bercakar menggenggam jantung dari tubuh kecil tak berkepala. Sedangkan jeritan Kak Aya yang memanggil-manggilku perlahan memudar. Pandanganku semakin gelap, menahan air mata keluar semakin sulit. Tetapi, aku mencoba menghiburnya lagi. Menggerakan bibir dengan kaku tanpa suara padanya.

“Jangan menangis ….”

Nama: Hilma Mufidah
Dibuat sekitar 16 Februari 2019 (dari catatan terakhir flashdisk)
Diedit ulang: 2 Maret 2020

Leave a Reply