Rodrapasa

Kala itu dikatakan, ketika perang membanjiri penjuru benua, seorang iblis bangkit dari diamnya. Gemerincing besi berdarah akan menghiasi seluruh kota. Dari ucapan yang keluar dari bibirnya, kematian akan membungkus seluruh pandangan. Langit pun memilih
menutup wajah mereka bersama sang surya yang meniadakan sinar disetiap langkahnya. Barulah ketika tanah kehilangan lentera makhluk di atasnya, tangisan awan tak henti berduka.

Persis seperti kisah yang diceritakan para sesepuh desa kecil di sana, kota ini telah menemui akhirnya. Tempat dimana bangunan bertingkat lenyap menjadi puing reruntuhan, hujan hampir selalu membasahi tanah yang sepi. Meski hampir tiada tempat yang bisa disebut rumah lagi dari bentuknya, seorang anak bersila di puing berbentuk gua seraya menikmati sekaleng buah leci kemasan. Tangannya memiliki banyak luka. Tersembunyikan jaket kelabu
bernoda yang dikenakan, tubuh mungilnya menanggung lebam keunguan mengintip dari bahu lehernya. Sedikit perih ia rasakan ketika kenggerakan lengannya, anak itu acuh seraya memandang tetes hujan pecah di lembar daun kamboja.

“Meron mau makan?” tanya anak itu mengangkat sepiring sereal kucing berbentuk
ikan.

Seekor hewan berbulu kuning mencoba meraih piring kecil berisi makanan itu dan mengeong kencang. Mungkin karena tidak mendapatkan makanan sejak kemarin, kucing itu melahap hingga hanya menyisakan beberapa butir saja. Begitu pun anak itu, menghabiskan lima kaleng buah kemasan hingga tersisa sepuluh saja di kardus persediaan. Sedikit ceroboh hal itu dilakukan, tetapi siapa yang bisa mengkoreksi keluguan anak berusia tujuh tahun? Karena yang menjadi prioritas anak itu adalah tidak membiarkan perut kecilnya meraung
meminta makan semenjak jatuhnnya kota seminggu lalu.

Seusai makan, anak itu menatap ke kejauhan. Sebuah jalan aspal retak dipenuhi air mengalir ke sisi jalan. Berjarak sekitar sepuluh meter, di sana sebuah taman bermain disamarkan dinding hujan. Dahan pohon pun jatuh mencipratkan genangan air ke tanah sekitar. Ayunan besi mengayun pelan karena angin lalu. Anak itu pun memejamkan matanya, menahan pedih nostalgia yang ia rasa.

Setelah sedikit tenang, ia melihat ke udara kosong untuk merapalkan sebuah mantra, “Askara prabarega maiya.”

Sebuah titik cahaya berpedar dari kekosongan membesar seukuran kepalan tangan. Bagai api lentera melayang, cahaya itu menyinari gua reruntuhan dan menjadi sebuah tanda
kehidupan jika dilihat dari kejauhan. Namun, kapankah seseorang akan datang menyadarinya?

Membongkar isi tasnya, anak itu menarik jaket bulu ukuran orang dewasa. Warnanya coklat kekuningan, tetapi kondisinya terlihat baik. Karena itu, ia gunakan jaket tersebut sebagai selimut di kala dingin membekukan tubuh.

“Meow!” panggil Meron pada  majikannya.

Menyadari kucing kecilnya merayap ke atas kepala, ia memasukan binatang itu ke balik jaket yang membuat anak itu terdiam dengam kilas balik setahun sebelumnya. Saat dimana ia berlarian di taman mengejar Meron yang masih seekor anak kucing liar. Seseorang
pria muda memperingatinya supaya memperhatikan jalan. Tetapi, anak itu justru mengejek pria tersebut dengan menjulurkan lidah sampai akhirnya terpeleset dan melukai lengannya.
Tertegun sesaat merasakan nyeri ketika membentur balok jalanan, ia menangis kesakitan menarik perhatian seorang wanita. Ia datang terburu-buru guna menyembuhkan luka gores anak itu sebelum mengomeli seseorang pria lain yang menyesal karena menyerahkan pengawasan ke pria muda.

“Maafkan Papa, Ma,” ucap pria yang dikenai amarah sng wanita.

Kembali kesadaran dari nostalgianya, butir air mata jatuh. Kemudian anak itu
begumam sendirian tanpa seorang pun memeluknya untuk tidur di malam itu.

“Sunyi ….”

Keesokan hari hujan telah mereda, sedangkan anak itu memilih untuk tetap berbaring di balik jaket. Meron pun memainkan rambut kusut miliknya membuat anak itu membenamkan kepalanya ke jaket yang sudah menjadi selimut.

“Aku takut …. ” gumam anak itu sebelum terlelap kembali.

Namun, tiba-tiba Meron menggeram mengembalikan kesadaran anak itu. Merasa khawatir, ia pun memutuskan untuk bangun,menengok ke sekeliling pagi berkabut. Tidak terlihat siapa pun sampai ada suara benda berat diseret. Aspal basah berpadu dengan gemerincing logam berantai mendekat memunculkan sesosok orang dewasa dari tirai kabut. Tidak terlihat bagaimana wajah orang tersebut karena rambut panjangnya.

Di tengah kabut yang memudarkan pandangan, ia berhenti seperti menatap ke arah anak itu. Dari anak mau pun orang tersebut tak ada yang bereaksi. Kesunyian terus berlangsung sampai orang tersebut membuang apa yang diseret ke aspal dan sosoknya mulai
menghilang bagai hantu. Kebingungan dengan apa yang dilihat, anak itu mengira ia cuma berhalusinasi hingga suara rantai berbunyi kembali.

“Bagaimana kau bisa hidup?” tanya pria misterius tidak tahu darimana datangnya.

Anak itu terperanjat membentur tumpukan kaleng di sisinya. Tetapi lebih dari itu, ia terkejut dengan sosok orang yang tadi dilihatnya seketika menyentuh wajah dengan tangan bernoda cairan lengket kemerahan.

Mencoba menenangkan diri, anak itu pun menatap pria misterius tepat ke matanya. Sepasang iris lembayung berpupil ular terfokus pada anak itu membuatnya gemetar. Tetapi
tidak lamakemudian, hatinya serasa tersiram air menyejukkan. Karena untuk pertama kali semenjak kepergian keluarganya, ia merasakan tangan hangat menyentuh wajahnya.

Mengira ada sedikit harapan tersisa pada takdirnya yang hampa, anak ini senang mengetahui ada seseorang di dekatnya. Meski ia tahu siapa identitas pria itu sebenarnya, ia tidak merasa terancam akan kehadirannya. Karena itu, ia memberanikan dirinya untuk
bertanya pada sosok tanpa ekspresi tersebut.

“Apakah kakak adalah iblis perang?”

Mendengar ucapan anak itu, pria tersebut melompat mundur. Anak itu refleks ingin meraihnya, tetapi apa daya lengan pendek anak berumur tujuh tahunan? Tangan kecilnya tidak bisa menggapai jarak yang dibuat pria iblis. Bahkan ketika anak itu melangkahkan kakinya mengejar punggung sang iblis, sosoknya telah menghilang di kepekatan kabut yang memerah.

Merasa kehilangan cahaya harapan, dadanya menjadi dingin diisi ketakutan. Anak itu pun gemetaran dalam kesendirian.

“Tidak! Jangan tinggalkan adik sendirian! Adik mohon! Kembalilah! Kenapa adik selalu menjadi yang ditinggalkan? Mama dan papa juga menghilang. Karena itu … karena itu, jangan tinggalkan aku!” jerit anak itu menangis mengejar iblis tanpa satu petunjuk apa pun.

Mencari ke segala penjuru mengabaikan kucingnya yang memanggil-manggil, ia telah mengunjungi setiap jalan di kota sampai tenaganya habis. Pusing yang hebat juga ia abaikan, begitu pun rasa mual yang membuatnya memuntahkan makan malamnya berkali-kali. Namun, anak itu tidak menyerah untuk menemui iblis yang mengembalikan harapan
hidupnya hingga kegelapan pun memaksanya berbaring tak sadarkan diri ke sebuah genangan merah.

Waktu berlalu, angin menghirup udara menuju selatan. Kabut telah tergantikan awan mendung di angkasa menari bersama kilatan petir dan gemuruh halilintar. Di tengah aspalberlubang, anak kecil terbatuk-batuk menggetarkan cairan merah yang mengeras. Aroma anyir menusuk indra penciumannya, anak itu menyeka darah kental dari wajahnya dan membiarkan rambut beserta pakaiannya bernoda kemerahan.

“Sendirian lagi….” gumamnya berjalan lemas menuju sebuah puing atap kokoh.

Merasa muak pedih yang ia rasakan selama ini, anak itu menangis bersama langit menurunkan hujannya. Tidak ada siapa pun di sisinya, kecuali bangkai orang asing tertumpuk puing bangunan. Anak itu terisak mengingat saat-saat terakhir orangtuanya. Ia ingin
berteriak, tapi hatinya terlanjur kosong kembali. Menatap pantulan diri pada aliran air, mata sebiru laut tenggelam dalam keputuasaan.

Apa yang bisa menjadi harapannya di tengah kota hancur ini? Di telapak tangan tiran lima negara benua, perang mengirimkan kutukan pada takdirnya. Ia sendirian tanpa keluarga atau teman, hatinya sesuram kota yang dipenuhi kematian.

“Seorang saja cukup. Kumohon, temani aku!” ratap anak itu dalam kesendiriannya.

Kesunyian kembali menyelimuti kota mati, angin bersama pepohonan menyanyi membuat desir yang terdengar pilu. Sebuah bungkus sampah melayang dari aspal menuju aliran air tempat anak itu melamun. Seekor kucing tampak menjadi maskot dengan bulu
kuning keemasan yang tampak seperti Meron, kucing kesayangannya.

“Itu benar. Meron sedang menungguku, aku harus kembali.”

Nekat menerjang badai, anak itu mengucapkan mantra penerang yang hangat, “Askara prabarega maiya.”

Ia menghibur diri dengan mengobrol pada dirinya sendiri, “Di rumah Meron selalu kegirangan ketika aku merapal mantra ini. apalagi ketika turun hujan seperti ini, ia akan merengek sampai aku mengeluarkan cahaya ini. Hehe….”

Melalui puing bangunan bertingkat metropolitan mayat terkubur di baliknya. Acuh dengan pemandangan sekitar, anak itu bersenandung lembut mengiringi hujan yang membersihkan sedikit kotoran di tubuhnya. Sebuah tangan mencuat dengan lengan baju
koyak tergeletak. Tongkat baja menembus tulang rapuh, anak itu lompati dan mencipratkan aliran hujan abaikan puluhan potongan tubuh yang tidak bernyawa.

“Na…. Na… Na…. Meron sedang menunggu…. sebaiknya aku lebih cepat,” senandung anak itu yang kemudian berlari menuju puing yang menjadi rumah baginya.

Bergegas masuk memanggil kucing kesayangannya, anak itu membuka barang-barang yang menjadi tempat sembunyi. Di dalam ransel hitam berisi pakaian, di balik sepatu besar papanya, mau pun di penghujung jalan di depan tempat tinggal tidak ada tanda Meron berada. Terpaku ke arah tanah makam, sesaat ia membeku dan segera ia tampik pikirannya.

“Me–… Meron…. tidak marah karena aku mengejar kakak iblis „kan?”
Tidak ada balasan lagi, alis anak itu mengerut. keluarlah, kamu tidak marah karena aku mengejar kakak iblis ‘kan?”

“Meron, ayolah!” keluhnya dengan raut muka ketakutan.

“Ayo kita makan bareng. Adik akan beri Meron tuna kalengan,” lanjutnya yang terdiam melihat piring makan kucingnya penuh sereal kucing dan tuna basi.

Menggigiti tepi bibirnya, ia memberanikan diri untuk membuka jaket yang ia gunakan sebagai selimut. Menampilkan tulang putih berbalut bulu kuning kecoklatan, anak itu tidak bisa menahan ketakutannya.

“Ini pasti kebohongan…. Meron akan selalu menemani adik ‘kan?”

Air mata pun membanjiri wajah anak itu yang menyangkal kenyataan bahwa
kucingnya selama ini telah menjadi kerangka busuk. Ia juga menolak keras keras fakta dirinya hidup sebatang kara. Bersaman dengan meredupnya cahaya dari mantra yang dibuat, melemahlah pertahanan pikiran anak itu. Masih ingin ia akui kebohongan otaknya tentang
Meron. Tetapi, itu hanya sia-sia karena kucing tersebut sudah mati.

Pandangan tertuju pada jalanan di kejauhan, anak itu berjalan lemas menuju monumen sepasang mumi yang seperti melindungi sesuatu mencuri perhatiannya. Rambut pirang pendek terhempas jatuh ke aspal jalanan, seorang mumi lain berkemeja putih
menunjukkan telunjuknya ke aspal retak. Air keruh kecoklatan mengisi rekahan berbentuk kalimat. Ulat putih menggeliat dan tergelincir dari jemari bengkak mumi mengaktifkan
lukisan mantra di bawahnya.

“Maafkan kami yang meninggalkan kalian… anakku Rodra….. Pasa….” itulah bunyi rekaman sihir membuat anak itu gemetar ketakutan.

“Tidak…. Adik tidak mau sendirian. Adik tidak mungkin sendirian,” sangkal anak itu berjalan lunglai bersama air mata diseka derasnya hujan.

Dengan memeluk tubuhnya sendiri, ia memaksa batas tenaga untuk mencari iblis peperangan, satu-satunya orang tersisa di kota ini. Namun, itulah harapan tersisa di tengah kesendirisnnya.

Entah sudah berapa lama ia berjalan di jalanan suram, anak itu terlihat pucat.
Melangkah seperti akan jatuh kapan saja, mata biru anak itu berubah cerah ketika telinganya mendengar rantai besi di persimpangan jalan. Ia pun bergegas ke sana meski sudah berat napas miliknya serta mengintip dari balik bangunan. Ia melihat puluhan prajurit menjerit kegilaan ketika iblis muncul dari udara hampa. Ditodonglah senapan sihir prajurit-prajurit itu
pada sumber ketakutannya.

“Rodraversh,” rapal iblis itu mengubah para prajurit menjadi kabut kemerahan.
Tak sadar dengan bahaya dihadapannya, anak yang bahagia karena percaya dirinya sudah mencapai harapan pun memanggil sang iblis,”Kakak—.”

Namun, panggil anak itu terhenti melihat mata iblis terbelalak ke arahnya.

“Ada apa?” tanyanya yang seketika terhempas angin sihir ke angkasa.

Tubuhnya tanpa henti seperti dihujani ribuan jarun, anak itu terbanting membentur kepingan kaca dan puing baja berakhir menancap dadanya.

Mulut kecilnya menyemburkan darah kental, tetapi ia tersenyum bahagia. Seakan telah mati seluruh indranya, cairan merah mengalir dari puluhan luka di sekujur tubuh membuatnya kesakitan. Bahkan, sinar mata lembutnya menyambut setiap langkah iblis yang mendekat.

“Adik…. tidak sendirian…. lagi „kan, Kak?” tanyanya seraya mencoba meraih sosok iblis.

“Kak Pasa! Jangan tinggalkan-….. Rodra lagi….” pintanya yang mulai mengantuk.

Menerima uluran tangan lemah, kelopak mata anak itu terpejam-pejam menahan kesadarannya. Sang iblis menyeka darah di wajah anak itu, mengusapnya perlahan dengan canggung dari telapak tangan berlumuran dosa. Mata lembayung sang iblis berkaca-kaca menjawab permintaan adiknya, “Kakak … sudah kembali.”

 

***

Cerpen oleh Hilma Mufidah, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikana (FKIP), Univ Ahmad Dahlan (UAD). Cerpen ini berhasil mendapatkan juara 1 dalam Acara Bulan Bahasa PBSI UAD pada 3 November 2019 lalu.

2 Comment

  1. Ulil says: Reply

    Mantul

    1. adminwebkreskit says: Reply

      yuhuuu

Leave a Reply