Ranjosean

New York, 1 April 2020

Untuk Ran-nya aku,

“Hai Ran! Aku akan menerka apa yang akan kau lakukan jika hujan renyai
turun bersamaan dengan matahari yang tersenyum cerah mewarnai langit sore.
Tapi aku akan menyimpan jawabanku lebih dulu. Ku pastikan kau akan tersenyum
saat membaca suratku! Kau tidak mungkin lupa setiap kita kabur dari tidur siang
ke rumah pohon, kau selalu merengek dan memaksaku mendongeng untukmu kan?
Kau selalu menggoda dan menertawai imajinasiku, tapi kali ini aku tidak sedang
berdongeng.

Hujan renyai turun bersamaan dengan matahari yang tersenyum cerah
mewarnai langit sore. Seorang bidadari berkepang satu yang cantik nan lucu akan
berlari menyusuri tepian danau dengan kaki telanjangnya. Bidadari itu berputar-putar dengan riang seakan-akan ia bisa memeluk seluruh rintik yang jatuh ke tubuh
mungilnya. Sedikit demi sedikit kepangan itu terurai, hingga helai demi helai
rambut halus lepas dari ikatannya yang longgar dan jatuh membelai-belai
wajahnya. Terpesona, aku meringkas peristiwa hujan renyai di kala sore cerah itu
dengan lagu The Overtunes yang berjudul ‘Ku Ingin Kau Tahu’.

Saat menulis surat ini, aku mengerti bagaimana emosi Pierre Auguste Cot
saat ia menorehkan isi hati dan jiwanya dengan sebuah kuas. Temanku, Sam si gila
seni yang mengajakku pergi ke Metropolitan Museum of Art. Aku memang tak
pernah tertarik dengan dunia seni, sampai aku terpaku pada sebuah mahakarya.
Mengikuti alur firasat, aku bersumpah bahwa aku dan siluet dalam lukisan Le
Printemps (Spring) itu seperti berada dalam satu tubuh yang sama dalam situasi
yang sama pula. Kami sama-sama mabuk. Aku terlalu mabuk, hingga aku
mendengar saat kau berteriak…”

“Jo! Ran mau ikut. Pokoknya Ran ikut!” seorang gadis merengek manja
sambil menarik-narik ujung jaket seorang laki-laki yang sengaja tidak dikancing.

“Tidak Ran, nanti kau jatuh kalau naik berdua. Jalan aja sana!” ketus Jo.

“Ih, nanti Ran kesiangan Jo!” balas Ran tak kalah ketus.

“Salah siapa bangunnya siang!” Jo menyundul jidat Ran lalu kabur dengan
sepeda hitam tanpa boncengan itu. Ran berlari mengejar sahabatnya itu sambil
mengacung-acungkan ranting jatuh yang ia pungut dari bangku taman yang
diduduki oleh seorang lelaki, sepertinya seumuran.

“Jo, Ran cape!” seru gadis berlesung pipit itu.

Hari masih terlalu pagi untuk berkeringat, Jo akhirnya turun dari sepeda dan
menyuruh sahabatnya menaiki sepedanya. Ia melihat ke belakang memastikan
gadis itu masih mengikutinya. Sambil bergeleng-geleng Jo berlari-lari kecil
menuntun sepeda yang Ran kayuh dengan terbata-bata. Sebenarnya ia sangat gemas
melihat sahabatnya yang baru belajar naik sepeda saat masuk SMA.

“Kau terlihat sangat menyedihkan Ran.” Ejek Jo.

“Kan ada Jo.” Ujar si gadis sambil mendongak menatap wajah sahabatnya
yang tampan dengan penuh kepolosan. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan
merasa gemas. Semuanya tahu bahwa si anak bawang ini selalu mengikuti Jo sedari
kecil. Entah akan menempeli siapa si gadis ini kalau saja Jo tidak lahir di dunia ini.

Kirana gadis lincah berkulit kuning langsat. Pipinya yang berlesung akan
memerah jika sedang tertawa. Sosok yang sangat sempurna untuk dijadikan sebagai
objek inspirasi seniman untuk dituangkan ke dalam karyanya. Terlalu cantik jika
dilukis, terlalu banyak lirik jika di buat lagu, dan terlalu indah untuk dipahat. Siapa
pun akan mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

“Apa yang sedang kau lakukan Jo?” sebuah kepala kecil menyembul keluar
dari pagar rumah berwarna hitam di suatu sore. Cocok dengan warna rambut si
pemilik kepala kecil itu. Lucu, seorang lelaki tersenyum sedangkan seorang lagi
memutar bola matanya malas di atas hamok yang menggandeng dua pohon randu.
Jo sudah menanti anak bawang itu selama satu jam.

“Nah itu Ran. Kesini Ran! Kami butuh seseorang untuk menyempurnakan
karya kami, Ran.” Lanjutnya. Di sampingnya tampak seorang lelaki tinggi berkulit
putih menggenggam kamera polaroid berwarna biru laut seperti matanya. Pastilah
temannya Jo yang seumuran itu seorang blasteran. Setelahnya, bidadari bertubuh
mungil itu berlari-lari kecil kesana kemari seperti rusa liar yang berpindah dari
semak satu ke semak lainnya di tepian danau biru. Sungguh mereka tidak perlu
banyak waktu untuk membuat sebuah karya yang indah, karena modelnya
merupakan karya Tuhan yang paling sempurna.

“Hujan mulai turun Ran!” teriak Jo seraya melambaikan tangannya
mengisyaratkan Ran untuk masuk ke dalam rumah pohon. Air Tuhan mulai jatuh
membasahi bumi. Namun, matahari masih setia tersenyum terang dengan sinarnya
di sore itu. Tidak peduli, Ran bersorak dan berlari semakin lincah dengan kaki
telanjangnya. Ya, dia sangat menyukai hujan renyai yang datang bersamaan dengan
cerahnya matahari di langit sore. Tidak ingin kehilangan kesempatan, dua lelaki
tersebut kembali membidik sasarannya. Mereka sibuk menghentikan detik demi
detik di kala itu.

Langit jingga akan segera berakhir, Ran berlari ke arah Jo. Jo yang mengerti
apa maksud Ran segera membereskan semua peralatannya. Jo melepaskan
sandalnya dan memasangkannya di kaki Ran. Begitu langit berwarna ungu mereka
berdua meninggalkan danau biru hingga menyisakan teman Jo. Mereka berdua
melambaikan tangan kepada lelaki bermata biru laut itu.

“….Kau ingat hari itu bukan? Setelah hari itu, aku masih kagum Ran. Tuhan
bukan pelukis, bukan penyair, dan juga bukan pemahat. Namun, ia bisa
menciptakan karya yang luar biasa indah dalam wujud kamu. Mulai hari itu, aku
selalu ingin hidupku hanya berhenti di peristiwa itu. Aku berdoa hari itu takan
pernah berakhir. Aku ingin hidup abadi pada bagian hidupku saat bersamamu di
kala sore itu.

Walaupun begitu, aku tak perlu banyak waktu bagaimana cara menghentikan
waktu. Tangan ajaibku bisa menghentikan detik itu. Kau tahu maksudku kan Ran?
Sejak itu aku sangat mendewakan sebuah benda kotak biru bermata satu ini.
Bahkan benda ini masih ku simpan sampai saat ini.

Aku ingin hari itu tertulis abadi bagai satu halaman buku yang halamannya
bisa diulang kapan saja oleh siapa saja yang membacanya. Halaman itu hanya bisa
hilang jika halaman tersebut dihapus, disobek, atau dilompati. Walaupun satu
halaman itu hilang di buku tersebut, halaman itu akan tetap tercatat hal yang sama
dalam judul buku yang sama. Kecuali jika penulisnya menghendaki menghapus
bagian tersebut sebelum buku itu diterbitkan.

Ran, bukankah analogi kehidupan kita dengan sebuah buku yang ku katakan
ini benar? Takdir jalan hidup ini sama seperti dalam kehidupan novel
kesayanganmu. Kita adalah tokoh utama dalam kehidupan masing-masing di
semesta ini yang Tuhan tulis. Sama sepertimu yang suka menulis dan menciptakan
kehidupan sendiri dalam dunia yang kau lukis melalui tokoh-tokoh yang kau buat.
Jangan salahkan siapapun jika jalan ceritanya tidak sesuai seperti apa yang kamu
harapkan karena penulis adalah Tuhan.

Jika ada yang lebih indah dari melodi lagu River Flows in You, itu adalah
kamu Ran. Yiruma memang pandai mengekspresikan jiwanya dalam melodi itu.
Sekali lagi, akan kupastikan kau tersenyum saat membaca suratku! Kau tidak
mungkin menangis membaca adu rayuku. Tak usah kau balas suratku Ran, aku tak
memiliki alamat pasti untukku tinggal. Hari ini mungkin aku berada di New York,
mungkin saja besok aku tak ada lagi di sini.

Sampaikan salamku untuk Jo. Berkatnya, aku bisa bertemu dengan bidadari
paling cantik di semesta ini. Aku bahagia bisa menaklukan seorang bidadari cantik,
tapi aku tak bisa menaklukan sesuatu yang menyakitkan yang ada di dalam
tubuhku. Jika surat ini sudah sampai tanganmu artinya aku tidak lagi ada di dalam
semesta ini. Aku sudah mengatakan ini kepada Jo, dia pasti akan segera
memelukmu.

Sampai jumpa Ran,”

Sean

***Karya : Lulu Keenness Izzati***

***Penyunting : Annisa Nuratin***

Leave a Reply