Buluh Sedarah

Sumber: https://images.app.goo.gl/KedegsbPVG4xkFhcA

Konon katanya pulau kami ini dijaga oleh naga yang sedang tidur panjang, mengelilingi pulau ini seperti cincin. Di bagian Selatan kami hidup bersama orang-orang dari suku Hakka yang pindah dari Guangdong. Kedatangan mereka lebih awal dari orang-orang ras kami, untuk merasakan hidup lebih baik. sejak tiga abad silam kami bersama ras mata sipit itu dengan sepenuh hati memajukan pulau ini.

Kau tau, sekarang sedang berselimut duka karena kabar kepala kampung kami yang tiba-tiba mati. Bulak bagai muntah tiada henti keluar dari sungut orang-orang suku Lom, menciptakan berbagai cerita tentang mayat kepala kampung yang dibawa pulang oleh sekumpulan krasalong. Bukan hanya itu, kepala suku dipulangkan tidak lengkap dengan hatinya. Apakah ada seseorang yang memberi perintah kepada mereka? Tapi bukannya mereka itu tuli?

“Jang, Bujang. Pergilah antar kepala suku ke kubor. Jangan lupa malam datang takziah ke rumah duka” sore itu Mak mengingatkan Bujang yang sibuk menyanyam dulang permintaan Miak. Sudah pasti ia tidak akan pergi sebelum menyelesaikan tugas dari Miak dan tidak mungkin juga mengingkari permintaan Mak. Semua masyarakat lokal sangat menjunjung tinggi adat kebudayaan nenek moyang mereka. Tidak ada satupun ritual peninggalan nenek moyang yang mereka tinggalkan.

Sudah terhitung satu minggu sejak kematian tragis kepala kampung, kampung ini jadi sepi dari aktivitas malam. Semua penduduk percaya bahwa arwah kepala kampung masih berkeliaran disekitar, kecuali Miak. Heran juga ia dengan Mak yang setiap hari sembahyang menyembah Tuhan tapi masih takut dengan setan. Ia sendiri mana sudi percaya pada hal tidak masuk akal seperti itu. Menurutnya, setelah menempuh kematian maka orang-orang itu akan hidup jauh lebih merdeka di alam pikirnya masing-masing.

***

“Mak, buatkanlah acara kecil-kecilan untuk merayakan pernikahanku dan Bujang. Tidak usah membuat perayaan yang berlebihan karena kita tidak punya banyak uang,” dandang berisi sayur darat yang baru matang terhempas dari tangan Mak. “Bagaimana bisa kau meminta pernikahan dengan Adik kandungmu sendiri. Haram jadah! Semakin hari kudiamkan kau semakin menjadi! Menciderai leluhur!” suara Mak bergetar memenuhi bubung atap. Hal yang paling ditakutkan oleh Mak terjadi. Mana ada satu keyakinanpun yang memperizinkan saudara kandung menjalin pernikahan. “Kacau… kacau! Ini akan menjadi awal dari kehancurkan kampung kita semua!” keluh mak dengan dada yang sesak, entah dari mana Miak mendapat perangai demikian. Pahit, hitam sudah rasanya hati Mak mendapati anak perempuannya meminta keputusan demikian.

“Aku tidak ingin menjadi perawan tua dan tidak mau menikah dengan pemuda kampung ini. Semua orang di sini sama saja, suka menelan mentah sebuah tahayul. Hanya Bujang yang sesekali sejalan dengan apa yang kupikirkan” usahanya tak henti untuk meyakinkan Mak. Tanpa perlu menunggu hari berlalu, kabar permintaan Miak untuk menikahi Bujang telah tersebar ke penjuru kampung. Siapa gerangan yang membawa berita ini? Apakah ulah krasalong lagi? Tidak masuk akal burung tuli mampu menyebarkan pesan aib kepada seluruh penjuru kampung.

“Pergi!”
“Usir!”
“Pendosa!”
“Pelanggar nilai-nilai luhur!”
“Usir mereka dari kampung ini!” teriakan penduduk kampung sebelum magrib menjelang. Mak menangis sampai tak bersuara akibat ulah kedua anaknya. “Dengan siapa lagi aku hidup jika tidak dengan kalian” pasrah Mak dalam sakit hatinya.

Bukan lagi urusan tentang siapa benar dan siapa salah, tapi tentang keinginan siapa yang paling besar. Miak keluar bersama Bujang, dengan kepala tegak ia mengucap lantang pada seluruh penduduk yang mengusirnya, “Manusia hati kalian hitam! Kita hidup rukun berhimpun tiada salah sikap dan patah sekalipun dariku, hanya perihal kawin kalian menempatkanku seperti orang paling berdosa. Apa kalian para penyembah batu lebih mulia derajatnya! Hiduplah kalian semua dengan pertanyaan-pertanyaan yang busuk mengakar dalam pikiran. Tidak ada rembug dalam pikrian maka tiada merdeka kalian selama-lamanya!”

***

Kau tahu? Setelah kepergian Miak dan Bujang, kehidupan di kampung berjalan tidak serukun sedia kala. Belakangan banyak warga yang melapor ayam peliharaan mereka mati secara tragis bahkan ada yang menghilang tanpa bekas, bukan dalam jumlah yang sedikit. Simpang siur kabar burung datang lagi bahwa pelaku dibalik mati dan hilangnya hewan ternak adalah perbuatan orang-orang suku Lom. Mereka menganggap orang-orang itu hidupnya mulai terancam karena alam tidak mampu lagi menyediakan sumber kehidupan. Kurang ajar sekali memiliki anggapan demikian padahal ku tanyakan padamu, siapa sesungguhnya yang mengkhianati alam!

“Mati… Mati… Dewi, anak perempuanku, mati” datang berita kematian.
“Mati… Mati… Anakku, Adi, mati” datang lagi berita kematian.
“Mati… Mati… Ibuku, mati” datang terus berita kematian. Kini sedekat itu ajal dengan penduduk kampung. Hal ini semakin membuat seluruh penduduk yakin bahwasannya dua pasang saudara itu benar-benar menjadi penyebab kesialan bertubi pada kampung ini.
Orang-orang itu mati karena berjalan mengikuti angin arah Barat. Apa yang sesungguhnya membawa mereka berjalan ke arah sana. Apakah itu akses pintas neraka yang diciptakan tuhan untuk bumi?

Aku di sini memang hidup dengan pikiran yang telah mati. Aku menelan sumpah Miak ketika ia bernajak pergi. Kuikuti penduduk yang berjalan ke arah Barat pulau ini. Lagi-lagi kabar dari krasalong. Burung tuli yang selalu membawa kabar tanpa kejelasan kebenaran. Seorang penduduk merasa menerima perintah dari mimpinya yang berupa seruan untuk pergi menyusuri arah Barat, di sana banyak harta kekayaan yang akan membawa kampung ini keluar dari kesengsaraan.

Dalam di tengah hutan Barat pulau, aku lihat, itu dia! Miak pemberi sumpah. Ia bersetubuh dengan buluh dan Bujang mengkiat semua sumpah serta serapahnya. Dada Miak bersimbah darah karena bulu halus buluh yang tajam. “kau tau Bujang, bair buluh ini menjadi penembus bumi yang mengakarkan ideologi. Biar kumakan setiap hari hati manusia untuk menyatukan kebusukan dalam darah dagingku. Biar turut mengakar pada alam. Biar orang-orang yang datang mati dibunuh oleh rasa penasarannya sendiri! Atas segala sumpahku, tanah ini adalah kampung Senang Hati, lalu biarkan darah kita tertanam bersama akar buluh, biar kita menjadi penjangga tanah ini.”

Alam lebih menerimanya. Pesan terakhir yang Miak ucapkan padaku, “Terima kasih atas segala tugas dan pengabdian darimu” usai sudah. Sekarang, biarkan aku pergi terbang mencari kabar-kabar berita baru. Aku memang tuli, tapi hatiku belum mati. Dan kau, tanggung jawabmu meneruskan cerita ini kepada seluruh manusia dipenjuru bumi!

Dini Ferdianti. Mahasiswi semester lima. 
Cerpen juara tiga bulan bahasa dan sastra 2019. Salah satu cerpen yang akan dimuat dalam antalogi cerpen bulan bahasa dan sastra 2019.

 

Leave a Reply