Pengarang Tionghoa dalam Konstelasi Kesusastraan Indonesia

Ilustrasi: Wildan Ghufron

Karya sastra peranakan Tionghoa di masa lampau tercecer dan tak tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia, sedangkan pengarang dan karya sastra peranakan Tionghoa di masa kini sulit diidentifikasi sebab telah berganti nama-nama yang terdengar seperti nama Indonesia dan melebur menjadi bangsa Indonesia. Di sisi lain, etnis Tionghoa jadi kehilangan identitas (baca: nama) mereka dan hilangnya identitas ini akan menyulitkan pencarian dan penelusuran kontribusi mereka bagi pembangunan bangsa Indonesia, khususnya dalam hal sastra.

Ketika Soeharto berkuasa tahun 1966, etnis Tionghoa diimbau untuk memakai nama-nama yang terdengar seperti nama Indonesia. Menurut Leo Suryadinata dalam buku Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, banyak etnis Tionghoa yang mengubah nama mereka, sebagian untuk mengidentifikasi diri dengan lebih baik dengan bangsa baru, sedangkan yang lain mengubah nama mereka dengan pertimbangan praktis seperti memudahkan mata pencarian mereka.

Dilansir dari situs web.budaya-tionghoa.net, di sana tercantum nama-nama pengarang peranakan Tionghoa yang namanya telah menjadi terasa “Indonesia” seperti Abdul Hadi WM, Eka Budianta, Marga T, Medy Loekito, Merry Riana, N. Riantiarno, Zaldy Armendaris. Beberapa nama pengarang peranakan Tionghoa belum tercantum atau mungkin belum teridentifikasi di situs tersebut, misalnya ada Hanna Fransisca, Sunlie Thomas Alexander, Clara Ng. Tidak menutup kemungkinan bakal ada nama-nama lain yang membuat kita terkejut, belum bisa diidentifikasi sepenuhnya, salah satu penyebabnya adalah peranakan Tionghoa namanya sudah meng-Indonesia.

Salah satu masalah yang sangat lama terpendam yaitu belum adanya pengakuan atas kepeloporan orang-orang Tionghoa dalam proses kebangsaan Indonesia melalui perkembangan kesusastraan Melayu-Tionghoa. Padahal kesusastraan ini sudah ada sejak 1870. Kesusastran Melayu-Tionghoa, yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh dan untuk orang Tionghoa perantauan, berkembang di Hindia Belanda, khususnya di Jawa, dan dalam tingkatan lebih rendah di Malaysia, dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1945. Sejak itu kesusastraan tersebut perlahan mulai terlupakan.

Tahun 1958, almarhum wartawan dan penulis Tio le Soei (Jakarta 1890-1974) menyoroti awal kesusastraan Melayu-Tionghoa melalui biografi pengarang terkenal Lim Kim Hok (1853-1912), yang dipandang sebagai pelopor kesusastraan tersebut. Cerita-cerita tertua yang dikarang oleh penulis keturunan Tionghoa Indonesia terbit pada tahun 1903. Karya-karya pertama erat kaitannya dengan pers. Kebanyakan tema-temanya diambil dari berita surat kabar dan para penulis itu juga wartawan. Baru permulaan 1920-an penulis-penulis peranakan menunjukkan minat yang besar pada masyarakat pribumi Indonesia dan menempatkan masyarakat itu dalam cerita-cerita mereka.

Novel-novel penulis keturunan Tionghoa dan novel-novel karangan Arthur van Schendel, Louis Couperus atau Marie Sloot, masyarakat yang dituliskan sama, namun penyajiannya berbeda. Perbedaan yang paling menonjol adalah sifat nasionalis dari novel pengarang-pengarang peranakan Tionghoa pada 1930-an. Sesudah merdeka, Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu-Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru.

Menurut Claudine Salmon, selama hampir 100 tahun (1870-1960) kesastraan Melayu-Tionghoa melibatkan 806 penulis yang menghasilkan 3005 karya. Sebaliknya, berpatok pada catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesastraan modern Indonesia (tidak termasuk terjemahan) hanya ada 175 penulis dan sekitar 400 karya. dihitung sampai 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 karya.

Buku hasil kajian Claudine Salmon yang berjudul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia membuat pakar sastra Indonesia, Prof. Dr. A. Teeuw memberikan kesimpulan baru: “alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum perang dunia dua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut, tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok dari perkembangan sastra Indonesia masa kini”, dikutip dari Prof. Liang Liji dalam pengantar Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia.

Bertolak dan melihat ke masa lalu, kita akan menemu jejak panjang dan lama kesusastraan yang melibatkan masyarakat Tionghoa. Kesusastraan dalam kurun waktu 1920-1980-an, masyarakat Tionghoa di Indonesia telah mengalami pasang surut gelombang demi gelombang perubahan politik dan sosial. Kesusastraan yang telah berkelindan selama kurang lebih enam puluh tahun juga merekam kerusuhan sosial pada masa itu dan menjadi cermin yang juga memantulkan wajah dan masalah yang dialami oleh peranakan. Karya-karya sastra yang ditulis akhirnya mengikuti situasi dan kondisi yang sedang berlaku di tanah air, sehingga topik yang diangkat oleh para pengarang sangat banyak, berwarna dan beragam.

Dalam kurun waktu 1920-1980-an banyak penulis Tionghoa yang ikut serta menyumbangkan buah karyanya bagi perkembangan sastra di tanah air. Misalnya, Tjio Peng Hong, Im Yang Tjoe, Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Tan Sioe Tjhoan, Oen Bo Tik, Liem Khing Hoo, Gan San Hok, Soe Lie Piet, Pouw Kioe An, Tan Mo Goan, Wang Renshu, Siauw Giok Tjhan.

Iklim kesusastraan Melayu-Tionghoa di masa silam juga ditunjang oleh geliat percetakan yang ada. Perkembangan percetakan di Hindia Belanda telah menunjang perkembangan kesusastraan Melayu-Tionghoa. Jauh sebelum Balai Pustaka ada, beberapa penerbit peranakan Tionghoa sejak 1833 telah ada. Tercatat Kho Bie & Co., Tjoei Toei Yang, Firma Sie Dhian Ho. Penerbit dan percetakan inilah yang banyak menerbitkan buku terjemahan, termasuk buku sastra dan cerita silat karya pengarang peranakan Tionghoa (Maman Mahayana, 2007:102).

Jauh sebelum penerbitan roman berbahasa Indonesia karangan Marah Rusli: Siti Nurbaya (1922), tiga puluh tahun sebelumnya, penulisan prosa telah muncul, berupa roman Melayu Klasik yang langsung ditulis dalam bahasa Melayu oleh para pengarang Tionghoa. Antara tahun 1880 dan 1930 ditemukan sekitar 280 puluh judul roman yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa. Karya-karya terjemahan tersebut tidak hanya dibaca oleh masyarakat Tionghoa Peranakan, tetapi juga dibaca oleh penduduk Indonesia. Roman sejarah merupakan roman yang banyak diterjemahkan, contohnya Sam Kok (sanguo) atau ‘Roman Tiga Kerajaan’.

Novel Melayu-Tionghoa pertama yang sampai kini diketahui adalah Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) dikarang oleh Lim Kim Hok. Salah seorang pengarang peranakan Tionghoa yang produktif menulis adalah Kwee Tek Hoay, menulis sejumlah novel dan drama. Boenga Roos dari Tjikembang (1927) adalah novelnya yang paling populer, sedangkan drama Allah yang Palsoe menjadi salah satu perintis penulisan drama di Indonesia.

Data-data yang ada membuka peti yang selama ini terkunci dan tidak diketahui bersama mengenai peran pengarang Tionghoa dalam konstelasi kesusastraan Indonesia bahkan jauh sebelum adanya Balai Pustaka. Orang-orang Tionghoa Peranakan telah memulai riuh kerja sastra baik menerjemahkan karya dari luar maupun kerja mencipta sendiri. Data-data tadi bukan hanya mengulik soal sastra saja, namun lebih jauh juga mengulik soal sejarah, politik, sosial-kebudayaan yang melibatkan masyarakat Tionghoa Peranakan di Indonesia. Hal ini guna melihat keterlibatan mereka dalam peran pembangunan bangsa, terutama sastra. Juga untuk mengikis streotip negatif Tionghoa Peranakan di Indonesia yang sering menjadi sasaran konflik suku, agama, ras, dan antargolongan.

 

Tentang Penulis:

Jemi Batin Tikal. Kuliah di Universitas Ahmad Dahlan. Bergiat di Komunitas sastra Jejak Imaji. Karyanya pernah dimuat di Pocer.co, Minggu Pagi, Majalah Kreskit, Zine Ruang Tunggu.

Leave a Reply