Mahasiswa dan Esensi Kritik

Kesepakatan konsep baru bisa bergerak atau aksi. Aksi yaitu tindakan setelah menemukan rancangan kegiatan. Setiap tindakan yang diambil sudah ada kebijakan dari kepala seksi maupun ketua panitia berdasarkan rancangan kegiatan.

Proses tindakan ini yang menjadi pengalaman empiris pada setiap panitia.
Ketika pengalaman yang didapatkan ditahapan aksi, panitia bisa belajar dan mengevaluasi diri sendiri. Evaluasi yaitu proses untuk menemukan nilai yang terkandung di dalam tindakan dan bisa dirasakan oleh diri sendiri maupun orang terdekat. Evaluasi biasa dilakukan setelah kegiatan.

Perlu dijabarkan bahwa kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu mengurai ketidakserasian kebijakan. Ketidakserasian dalam kebijakan pertama-tama harus dimulai dengan memeriksa persamaan pendapat, karena itu fungsi kritik adalah mengurai, bukan membangun. Itulah tugas utama akademisi.

Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan dari mereka yang tak ingin dikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan, bukan memperbaikinya. Sasaran kritiklah yang mestinya memperbaiki konsep atau pemahaman yang tidak selaras.  Dalam permasalahan setiap kegiatan, tugas si ketua untuk memperbaiki kebijakan, karena ia dipilih oleh anggota.

Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi sudah dimulai sejak ketua dilantik, karena itu ide mengganti ketua sudah lahir pada tugas oposisi. Sungguh terjadi kesalahpahaman bila oposisi berniat tidak mengganti ketua. Padahal mengaktifkan oposisi menjamin kekuasaan, agar tidak menempuh tradisi primitif, otoriter dan sewenang-wenang.
Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan? Tak perlu dijawab, karena Organisasi Mahasiswa (Ormawa) bukan klinik psikologi. Hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologi kaum terdidik yang justru menjadi pemuja eksistensi.  Sungguh absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi.

Para tokoh mahasiswa patuh di depan kekuasaan, karena fanatisme. Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dibutuhkan sebuah revolusi pendidikan yang terbuka terhadap kritik, mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya dan sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, membuat masyarakat menjadi manusia seutuhnya (Rahardjo, 2012: 68).

Mirja Sentani, mahasiswa PBSI.

Leave a Reply