Kita

“Untukmu yang tak lekang dari kalbu, jangan hilang meski jarak terasa sendu. Untukmu yang tak mampu aku sentuh, jangan lepas meski cinta mulai rapuh. Untukmu yang tak tahu arti rindu, jangan pergi meski kita tak lagi bertemu.” Yumin Hoo.

November

“Waktu seolah melebur. Menciptakan percikan yang bernama perkenalan.”

Perpustakaan terlalu hening untuk obrolan ringan. Cukup suara kita yang meramaikan.Yang lain seolah lenyap menyisakan sunyi. Aku yang tak percaya kau di sebelah seolah bayangan lembut yang tengah menyapa. Pertanyaan sepele seputar teknologi merupakan basa-basi normatif untuk bisa saling mengenal. Kau menceritakan semuanya, bahkan derita terdalammu. Dengan polosnya aku percaya dan terkesan seolah aku merasakannya. Sekarang kau resmi menjadi teman.

Desember

“Tak perlu gula untuk pemanis. Hadirmu mampu mengubah kopi menjadi susu yang selalu mencandu.”

Duniaku perlahan berubah. Setelah pertemuan kita kala itu, nasibku seolah berpindah. Kau seperti tuan rumah, yang memaksaku untuk selalu bersikap ramah. Entah faedah apa yang kudapat, yang jelas hatiku berkata aku tak boleh marah-marah. Senyumanmu yang mampu membuatku tenang. Di lain waktu jika aku tak mendapatkannya lagi, aku akan terus berusaha mencarinya; senyuman itu, indah mencandu.

Januari

“Sepercik harapan tumbuh dalam angan. Sebuah rasa hadir dalam kenyamanan.”

Perlahan setetes embun basah di hati. Senyum yang merekah itu, akan selalu untukku. Pasti. Waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Kau resmi menjadi sahabatku; meski begitu, kaulah kekasihku. Kau semakin dekat seolah ingin melekat. Baiklah, takkan kubiarkan udara sekitar menyakitimu. Karena nyaman sudah bersama kita sekarang.

Februari

“Belaian fiktif lebih indah dari lagu yang tak searah. Kebohongan lebih parah dari kejujuran yang pura-pura.”

Terkadang kita perlu diuji sekadar untuk menikmati perih. Terasa sakit bila kita melihatnya dengan sedih. Iya, sakit, sangat. Saat kau mulai berpura-pura untuk tidak melihatku; saat kata sayang terlalu mudah diucapkan; saat kata kita terlalu sulit untuk disatukan. Kau seolah berperan sendirian. Melihat ke belakang sekadar untuk mengenang mantan tersayang. Bagimu itu menyenangkan, bagiku itu menyakitkan. Semakin deras jatuhnya hujan, semakin kau terjebak kelingan mantan. Saat ini belaian fiktif lebih indah dari kejujuran yang pura-pura.

Maret

“Dunia seakan sempit untuk kita berdua. Dalam alur waktu yang tak menentu, jarak mencoba peruntungannya.”

Aku tak tahu harus berbuat apa. Saat aku inginkan pergi, kau datang; saat aku inginkan jauh, kau mendekat; saat aku inginkan hilang, kau menghalang. Sebenarnya apa maumu? Dengan segenap rasa rindu, kau berkata “aku sayang padamu.” Saat itu aku pun sadar, jarak mencoba peruntungannya.

April

“Butuh kunci untuk membuka bahagia. Butuh bersama untuk hadir kata ‘kita’”

Meski berat harus dilakukan. Kau pergi lebih dulu meninggalkan sebelum takut ditinggalkan. Bagiku itu berlebihan. Trauma hanya akan membawamu pada kesepian. Coba pikirkan, bagaimana ibumu melahirkanmu setelah kakakmu. Apakah ia menyerah? Mungkin iya, ibumu trauma setelah menderita berusaha mengeluarkan kakakmu. Tapi apakah sampai di situ saja? Setelah kakakmu mulai dewasa, dia akan mandiri. Dan ibumu mulai merasa kesepian. Ibumu inginkan kau hadir. Ia melupakan derita setelahnya. Karena ada nikmat sebelumnya. Dan itu bisa diulangi beberapa kali sepuas ibu dan ayahmu melakukannya, tanpa peduli dampak setelahnya; mengeluarkanmu. Haha.. mungkin terlihat kotor, ya? Tapi coba pikirkan lagi, demi apa? Demi hadirnya dirimu untuk menemaninya.

Begitu juga dengan kita. Lupakan keraguan yang menghambat. Trauma hanya akan membawamu pada titik sunyi, dan kau akan merasa kesepian; selamanya. Jika tidak berlebihan, mari ikut denganku. Akan kuajak kau menuju rahasia terhebat yang Tuhan ciptakan. Jangan tanya kenapa. Tanyakan saja pada hatimu sendiri. Karena kuncinya hanya perlu bersama, lalu lahirlah kata ‘Kita’.

Rintangan

“Tetap bertahan meski jauh dari pandangan. Tetap berkabar meski tak lagi bersandar. Waktu seolah membeku, jarak seolah menyamar, dan jauh seolah melebur. Kita dekat, bahkan sangat dekat. Hingga akhir hayat, kita takkan terpisah.”

Kau ingat? Saat di mana kita saling menggenggam, bercerita sambil bergurau di tengah keheningan altar. Waktu seolah membeku, jarak seolah menyamar, menciptakan ledakan yang menjelma kehangatan. Malam itu, seakan dunia milik kita; hingga di penghujung malam, aku terlelap bersandar di pangkuanmu. Jika tidak keberatan, aku ingin selalu melekat bersamamu. Tidak selamanya, selamanya terlalu lama. Seumur hidup saja, bagiku sudah lebih dari cukup.

Kemudian, rintangan yang sesungguhnya telah datang. Seperti ledakan, takdir sengaja memisah. Ada saja rintangan yang menghadang; ada saja gelombang yang menjulang; ada saja kesenangan yang menghilang. Tuhan turunkan tentara yang begitu banyak, hingga lebih separuh isi dunia diserang. Mau tak mau kita harus berpisah, berdiam diri di rumah. Dan ujian terberat, segera datang. Meski begitu, jarak bukanlah persoalan. Butiran rindu perlahan terlihat di telapak tanganku, menengadah dan berdoa agar kau baik-baik saja. Kita dekat, bahkan sangat dekat. Hingga akhir hayat, kita takkan terpisah.

“Kau yang mengajariku arti sabar; hingga akhirnya menemukan jalan datar. Kau yang mengajariku arti senyuman; hingga akhirnya mendapatkan kepastian. Kau yang mengajariku arti marah; hingga akhirnya terluka parah. Kau, yang mengajariku arti jatuh; hingga akhirnya kembali utuh.”

 

_____

 

Cerpen oleh Yumna Nugraha, yang memiliki nama pena Yumin Hoo, mahasiswa PBSI UAD semester dua.

Leave a Reply