Eshina Gulita

Sial sekali, baru pukul enam pagi aku sudah diperintah oleh Ibu untuk mengambil air di mata air Estrilda dekat rumah Hoshi. Bukan, jangan berpikir aku menyukainya, justru aku sangatmembencinya. Manusia berisik dan sangat obsesi menjadi Harimau itu menyukaiku, aneh memang.

Setelah berkelut dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku pun menuruti perintah Ibuku, siapa tahu aku dapat uang saku lebih hari ini.

“Muthia, tolong pasang muka menyenangkan jika masuk wilayah Estrilda, ya!” tegas Ibu seraya menyerahkan ember kosong kepadaku.

“Pftttt, iya Ibu!” aku mengernyit sambil memandangi ember kosong itu, memikirkan tentang Hoshi. Aku memikirkannya bukan karena suka, tapi aku mencari cara untuk menghindarinnya, awas saja jika hari ini aku bertemu Hoshi, merepotkan sekali jika harus sembunyi darinya.

Mata air Estrilda dari rumahku yang berada di Eshina tidak terlalu jauh, sekitar 0,311 mil. Kami, warga Caratland sedang dilanda kekeringan. Satu-satunya daerah dengan pasokan air yang cukup banyak hanya Estrilda. Tidak hanya kaya, Estrilda juga pusat pemerintahan kota kecil Caratland.

Biar kuceritakan tentang Caratland. Caratland itu salah satu kota kecil yang berada di Meksiko, kami warga Caratland hidup masih bergantung pada peraturan adat setempat. Kalau boleh jujur, aku ingin pindah di kota saja, bebas tanpa peraturan adat yang mengikat. Toh, kita hidup di era modern, ‘kan?.

“Hai, Muthia!” panggilnya.

Deg! Teriakannya yang memanggilku membuncahku, dia Joshua, warga Caratland dan satu wilayah denganku, maka dari itu Joshua berada disini sekarang, apalagi kalau bukan mengambil air?

“Mut, besok malam prom night kita, kamu lupa? Sudah memiliki kostum?” tanya Joshua sembari membuka keran air mata Estrilda.

Sial! Aku belum persiapan untuk prom night sama sekali!
“Hahaha, belum ya?” Joshua terkekeh, dia tahu gerak-gerik wajahku.
“Ampun deh, masih ada hari esok!”
“Dih, kebiasaan! Siapa nih pasangan prom night-mu?” tanya Joshua.
Jantungku berdegup kencang, minggu kemarin aku memikirkan untuk menjadikannya pasangan prom night-ku, tapi apa daya, aku tidak berani sama sekali.

“Mut, ayo kita berpasangan saja di prom night,” terangnya.

Serius, jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Ini yang aku harapkan, karena saat dansa nanti, aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Joshua. Sudah 9 tahun lamanya, sejak kelas 4 SD hingga aku akan lulus dari Sekolah Menengah Caratland, aku menyukainya dan perasaanku tidak berubah sama sekali. Joshua itu orang yang baik pada siapapun, dia lucu, pintar, dan ganteng! Joshua merupakan seorang poliglot, hal itu membuatku semakin jatuh cinta padanya.

“Muthia, mau aku bawakan airnya sampai ke rumahmu? hehehehe,”

Dewi fortuna tidak berpihak padaku hari ini, walaupun Joshua memintaku menjadi pasangannya di prom night nanti. Hoshi si Manusia Harimau mengacaukan segalanya. Sungguh, aku semakin membencinya mulai hari ini! aku sangat ingin bersembunyi darinya, bukan hanya karena aku bertemu dengannya, tetapi aku tidak membalas pesan Hoshi tiga hari yang lalu, dia memintaku menjadi pasangan prom night-nya.

“Tidak! Tidak! jangan sampai kamu megacaukan acara terakhirku di sekolah! jangan sampai aku menjadi Pearl kedua!” hardikku kepada Hoshi.

Pearl merupakan salah satu teman kami dulu, dia tidak sekelas denganku, tapi aku cukup mengenalnya dengan baik. Aku dan Pearl satu ekstrakurikuler dance. Dia sangat berpotensi tapi sayang, dia meninggal ketika tampil di acara prom night angkatan sebelumnya. Pearl meninggal cukup mengenaskan, tepatnya dibunuh. Jasadnya ditemukan di ruang kecil sebelah kantin, lehernya terikat oleh sebuah lampu dekorasi dan tangannya terikat oleh pita berwarna merah. Kejadian Pearl membuat seluruh Sekolah Menengah Caratland dan warga Caratland sedih serta resah, karena takut korban akan bertambah, terlebih pelaku pembunuhan Pearl belum tertangkap.

“Muthia?” Joshua membuyarkan lamunanku tentang Pearl. “Ada masalah?” tanya Joshua, sembari menatapku lekat-lekat.

“Aaaa, tidak! ayo kita pulang.” Ajakku kepada Joshua.

“Kalian mau meninggalkanku? Muthia, mampir sebentar kerumahku, biarkan Joshua sendiri.” Hoshi memegang erat tanganku dan menggoyangkannya, bak anak kecil yang meminta permen.

“Tidak! Aku harus membantu Ibuku. Lagian jika tidak sedang membantu, aku tidak akan pergi bersamamu.”

Joshua terkekeh memegangi perutnya, Hoshi melepaskan cengkeraman tangannya.

“Josh! Tidak ada yang lucu sama sekali.” Aku menarik tangan Joshua, mengisyaratkan untuk segera pergi dari sini.

Pagi ini sangat cerah, rencanannya aku akan pergi ke butik yang berada di mall Eshina, membeli baju untuk prom night nanti malam. Mingyu, Jun, dan Dokyeom temanku yang akan menemani. Jangan heran, aku memang lebih suka berteman dengan lelaki, karena menurutku lebih seru jika berteman dengan lelaki. Meskipun begitu, bukan berarti aku tidak memiliki teman perempuan sama sekali. Aku memiliki teman perempuan, Giselle namanya. Sekarang, dia pasti sedang sibuk dengan Wonwoo, pacarnya.

“Muthiaaaaa!” Suara Mingyu terdengar sampai kamarku. Aku mengesot menuju balkon, untuk menyapa mereka.

“Mingyu! Jun! Dokyeom! sebentar, aku harus menyelesaikan make up-ku dulu! buka saja

pintunya, tidak terkunci!” perintahku pada mereka.

“Sudah, tidak perlu make up, kamu tetap saja jelek.” Ejek Dokyeom kepadaku, ia membalikkan badannya lalu menggoyangkan pantatnya. Sial, dia meledek.Aku menyelesaikan pulasan eyeliner-ku di kelopak mataku. Segera aku menuju mereka dan menuju mall Eshina yang jaraknya tidak jauh dari sini.

“Dokyeom, sini kamu!” Perintahku padanya.

“Apa?”

“Dasar kurang ajar! Aku tidak akan mentraktirmu Enchilada Bibi Mia!” Aku melingkarkan tanganku pada lehernya dengan kencang dan menampar pipinya.
“Ampun! Muthia cantik pacar Joshua!” Dokyeom menarik tanganku mengisyaratkan untuk segera melepaskan dari lehernya. Mingyu dan Jun hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala.
Mingyu dan Jun memang sudah biasa dengan tingkah lakuku dan Dokyeom.

“Gitu dong!” Aku melepaskannya.

Kami berjalan menuju mall Eshina. Mall Eshina merupakan pusat perbelanjaan warga Eshina di Caratland. Mall Eshina sangat lengkap dan modern.

Aku, Mingyu, Jun, dan Dokyeom sudah di Enchilada Bibi Mia sekarang. Tadi aku memutuskan untuk membeli dress berwarna merah dengan lengan balon, Joshua menyuruhku untuk menggunakan dress berwarna merah agar senada dengan setelan yang digunakan Joshua.

“Guys, malam nanti prom night, yang berarti tepat setahun kita kehilangan Pearl.” Jun terlihat sedih, dia dekat dengan Pearl. Setahun yang lalu, saat kejadian pembunuhan Pearl, Jun berniat untuk menembaknya. Kebetulan, Jun juga ada di acara prom night angkatan sebelumnya untuk melihat Pearl tampil.

“Aku masih heran, kenapa pelakunya sangat cerdas? tidak ditemukan tanda-tandanya di TKP sama sekali,” terang Mingyu, “Ah! Bahkan sehelai rambut atau apapun yang bisa melacak DNA pelakunya pun tidak ditemukan!” lanjutnya.

“Aku dan Jun ada di TKP malam itu, kami benar-benar tidak melihat hal yang mencurigakan sama sekali. Pasti, pelakunya merupakan salah satu murid atau guru!” Dokyeom berbicara dengan keras dan semangat.

“Bego! Jangan keras-keras, kejadian Pearl membuat semua orang di Caratland trauma.” Hardikku pada Dokyeom.

Memang, kejadian Pearl sangat membuat warga Caratland terutama warga Eshina trauma.

Jantungku berdegup kencang, beberapa menit lagi aku akan dijemput oleh Joshua untuk pergi ke prom night Sekolah Menengah Eshina bersama. Apakah aku akan ditembak olehnya? Sial, jangan terlalu percaya diri, Muthia.

“Tringgg!”

Itu suara notifikasi ponselku. Joshua mengirimku i-message bahwa dia sudah di depan rumahku. Segera aku turun ke bawah untuk menemuinya.

“Ibu, aku pamit ya!” aku mencium tangan Ibuku.

“Hati-hati sayang.” Jawab Ibuku.

Aku membuka pintu, mataku terbelalak melihat Joshua yang begitu tampan dan manis.

“Mut?” Joshua mendekatiku.

“Eh? Iya, yuk berangkat.” Ajakku. Joshua menarik tanganku menuju mobilnya.

“Josh, bagaimana penampilanku?” tanyaku padanya.

“Cantik, warna merah sangat cocok denganmu.” Terangnya, “Ah! Teman-temanmu Mingyu, Joshua dan siapa lagi yang satu? Aku lupa, J…”

“Jun.”

“Nah itu maksudku, Jun. Mereka sudah di sekolah?” tanya Joshua.

“Sudah, tadi mereka sudah mengabariku lewat pesan grup.” Tak terasa kami sudah sampai di Sekolah Menengah Eshina. Sekolah Menengah Eshina merupakan salah satu sekolah menengah yang berada di Caratland. Caratland memiliki dua sekolah menengah, yaitu Sekolah Menengah Eshina dan Sekolah Menengah Estrilda. Untung saja kemarin sore hujan, jadi kami yang sedang prom night tidak perlu merasa bersalah karena mengadakan acara ditengah-tengah kekeringan. Prom night di Caratland tidak seperti prom night di wilayah lain. Kami, warga Caratland harus menghormati adat yang ada. Walaupun prom night, kami tidak diperbolehkan untuk di luar rumah lebih dari jam 11 malam. Jika melanggar, konon kami akan bertemu sosok penyihir zaman dahulu, dari tahun 1888 tepatnya, penyihir itu bernama Zenith. Kami, warga Caratland, lebih tepatnya sesepuh Caratland sempat berpikir pembunuhan Pearl adalah ulah Zenith, karena Pearl berada di sekolah melewati jam 11 malam bersama teman-temannya.

Aula Sekolah Menengah Eshina sudah dipenuhi oleh murid kelas 12 yang lulus, termasuk aku. Joshua tidak melepaskan genggaman tangannya sedari tadi, itu yang membuat tanganku sangat dingin.

“Mut, kenapa tanganmu sangat dingin?” tanya Joshua, sembari memandangi tanganku. Aku segera melepaskan genggamannya, “Tidak apa-apa, Josh.” Jawabku.

“Selamat datang siswa-siswi Sekolah Menengah Eshina yang berhasil lulus!” Pembawa acara menyapa kita semua, dia Seungkwan. Pengurus OSIS kelas 11, dia berpotensi menjadi pembawa acara atau Master of Ceremony yang handal. Dia salah satu temanku, namun aku dan Seungkwan jarang berkomunikasi, terlebih lagi saat aku sedang sibuk-sibuknya dengan ujian.

“Selamat kepada kakak-kakak kelas 12 yang telah lulus, semoga kalian dapat berhasil di luar sana, jangan pernah lupakan Sekolah Menengah Eshina, ya! untuk hiburan pertama, kami akan mendengarkan suara merdu dari Woozi!” kata Seungkwan antusias, “please welcome, Woozi!” lanjutnya, mempersilakan Woozi naik ke panggung. Woozi naik ke panggung dengan senyum yang merekah. Woozi adalah salah satu siswa kelas 12 yang sangat berpotensi menjadi artis, bukan hanya pandai menyanyi, dia juga sering membuat lagu yang keren-keren!

“Josh, kesana yuk?” Aku menunjuk arah makanan ringan hingga minuman yang sangat menggoda terpajang di sisi sebelah photobooth. Tanpa menjawab, Joshua menarik tanganku menuju booth stage makanan. Aku mengambil nachos dan soda, sedangkan Joshua mengambil churros dan mojito. Aku dan Joshua menikmati makanan dan suara merdu Woozi. Kali ini, Woozi membawakan lagu berjudul Smile Flower yang Woozi tulis sendiri.

“Muthia, lu ngapain?” Mingyu mengejutkanku, tiba-tiba Mingyu muncul di belakangku.

“Hah? Ya makan lah ngapain lagi?” tanyaku.

“Kalian berpacaran?” tanya Mingyu dengan raut wajah meledek, “Wah Mut, berhasil ya peletnya?” lanjutnya.

Aku memukul punggung Mingyu, “Bisa diam, gak?” hardikku kepada Mingyu,”

“Engga,” jawabnya, Mingyu menjulurkan lidahnya, memang dasar anak kurang ajar!

“Hah? Pelet apa, Gyu?” tanya Joshua kepada Mingyu.

“Ekhem, ini…. Um…. Anu Josh…. Ngomong atau enggak nih aku, Muthia pacar Joshua?” Mingyu melirikku, mengisyaratkan sesuatu.

“Eh, bukan apa-apa kok, Josh.” Terangku.

Joshua menarik tanganku menuju photobooth, “Ayo, kita buat kenang-kenangan hari ini.”

Aku dan Joshua foto sekitar enam kali, setelah itu Aku dan Joshua langsung mencetaknya. Aku
membuka tirai photobooth.

“Sini dulu, aku mau ngomong sesuatu.” Joshua menahan tanganku untuk tetap duduk
di sebelahnya.

“Ah, oke.” Jantungku berdegup sangat kencang, bahkan lebih kencang dari sebelum-sebelumnya, ya Tuhan, ini apa?

“Mut, aku sudah tahu sejak awal, kalau kamu menyukaiku,” terangnya, “Dan sebenarnya,
aku juga menyukaimu.” Lanjut Joshua.

DEG! Aku tidak percaya ini, apakah aku sedang berada di alam mimpi?

“Jadi, karena aku menyukaimu, maukah kamu menjadi pacarku?” Joshua menembakku.

Tanpa basa-basi, aku menjawabnya dengan anggukan kepala. Jujur, aku sangat tidak bisa
bicara sekarang.

“Terima kasih atas partisipasi siswa-siswi pada acara prom night tahun ini! selamat malam dan aku Seungkwan sebagai pembawa acara undur diri, see you guys.” Seungkwan menutup acara prom night tahun ini. Lega sekali rasanya sudah lulus dari Sekolah Menengah Eshina. Aku dan Joshua akan langsung pulang, karena warga Caratland tidak boleh diluar rumah pukul 11 malam, dan sekarang sudah sekitar 10.23 waktu setempat.

“Josh, ayo pulang.” Ajakku padanya.

Joshua meletakkan tangannya didekat pinggul, mengisyaratkan bahwa aku harus memeluk
lengannya. Aku terkekeh, kupeluk tangan Joshua dan berjalan beriringan.

“AAAAAAAAAAA!” Suara teriakan perempuan dan kaca pecah terdengar bersamaan. Aku dan Joshua setengah lari menuju lingkungan sekolah lagi. Ternyata sumber suara berasal dari kamar mandi perempuan dekat aula, sudah banyak siswa-siswi di sana, termasuk Jun, Mingyu, Dokyeom dan ketua OSIS Sekolah Menengah Eshina, Seungcheol. Bahkan, banyak siswi perempuan yang menangis.

“Gyu, ada apa?” tanyaku pada Mingyu yang sedang menggaruk kepalanya.

“Giselle…” Mingyu terlihat berantakan dan tidak sanggup bicara.

“Terjadi lagi.” Jun melanjutkan.

Aku yang shock langsung menerobos kerumunan siswa-siswi. Aku melihat Giselle terduduk di atas kloset dengan leher diikat oleh lampu dekorasi dan tangan yang terikat pita merah. Setelah melihat Giselle yang bernasib sama dengan Pearl, sepersekian detik lututku terasa seperti tidak memiliki tulang, aku lemas sekali dan hampir pingsan. Untungnya, Joshua langsung menahanku untuk tidak jatuh. Aku melihat Wonwoo, pacarnya berlari masuk ke kamar mandi tempat Giselle terbunuh. Dia terlihat sedih dan berantakan.

Bukan, ini bukan ulah penyihir Zenith, tapi ini ulah psikopat!

Keesokan harinya, pukul 11 malam, aku, Joshua, Mingyu, Dokyeom, Seungcheol, dan Jun pergi menuju TKP. Persetan dengan penyihir Zenith yang akan memburu kami diatas pukul 11 malam. Aku dan yang lain menuju TKP untuk mencari petunjuk, siapa tahu polisi dan tim forensik melewatkan sesuatu yang akan membawa kami pada pembunuhnya. Jangan tanya Wonwoo, kami tidak tega mengajaknya.

“Oke, aku, Muthia, dan Mingyu mencari di sekitar kamar mandi dan aula,” Joshua
membagi tugas kami, “Dokyeom, Seungcheol, dan Jun. Kalian pergi ke ruang-ruang OSIS sampai
pramuka dan basement. Untuk ruang-ruang kelas dan yang lainnya, kita cari bersama.” Lanjutnya.

Kami langsung bergerak menuju posisi dan mulai mencari, siapa tahu ada petunjuk penting yang membawa kami menuju pembunuhnya. Aku mulai mencari, dibantu dengan senter agar lebih terlihat dan terang.

Sudah setengah jam lamanya kami tidak mendapat petunjuk apapun. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari di sekitar ruang kelas dan yang lainnya. Joshua selalu menggandeng tanganku sekarang, aku pun takut jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Josh, semua ruangan sudah kita cari, tapi nihil.” Jun menyerah.

“Aku tidak yakin kalau tidak ada petunjuk apapun, psikopat cerdas pun akan memiliki jejaknya.” Jawab Joshua.

“Belum, belum semua ruangan. Ada gudang di lantai dua yang selalu tertutup, ruangan itu belum kita masuki.” Terang Seungcheol.

Tanpa menyerah, kami langsung menuju lantai dua dan gudang tersebut. Saat Joshua memegang gagang pintunya, ruangan itu ternyata dalam keadaan terkunci.
“Sial! aku harus mengeluarkan jurus seribu bayanganku.” Dokyeom memasang angsa-angsaanya. Bukan, bukan kuda-kuda nya, Dokyeom saat ini meniru angsa.

“Terpaksa dobrak Josh, gak mungkin kita cari kuncinya.” Mingyu menekan pintu menggunakan lengannya, yang diikuti oleh Jun, Dokyeom, dan Joshua.

“Satu! Dua! Tiga! Dorong!” Perintah Joshua, yang diikuti dengan dorongan maut mereka. Percobaan pertama tidak berhasil, tapi mereka tidak menyerah.

“Ayo sekali lagi, satu, DORONG!” Dokyeom teriak.

Akhirnya pintu gudang itu terbuka, aku dan yang lainnya langsung masuk ke gudang tersebut. Aku mengobrak-abrik tumpukan buku. Aneh sekali, buku-buku disini kebanyakan bergenre romance, tidak ada buku sains atau matematika yang aku benci sama sekali.

“Guys…” Joshua terlihat terkejut saat membuka ember berwarna cokelat yang diambilnya di atas lemari, “Ada pisau berdarah… Dan, pita merah…” lanjutnya.

Seketika aku dan yang lainnya terkejut, aku langsung menghampiri Joshua, bukan, pacarku yang wajahnya mengernyit.

“Pembunuhnya warga sekolah kita?” tanya Dokyeom, yang sama terkejutnya denganku.

“Brengsek.” Jun mengumpat, memukul tembok yang ada di depannya.

DOR!

Tiba-tiba pintu gudang tertutup, aku dan yang lainnya kaget. Pasti ini ulah pembunuhnya! aku langsung mengenggam erat tangan Joshua, Joshua hanya menganggukan kepala mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sepersekian detik, pintu itu terbuka dan seseorang masuk menggunakan jaket hitamnya. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup oleh maskernya. Seketika, aku, Joshua dan teman-temanku mundur. Dia membawa senjata berupa pisau dan besi yang lumayan panjang. Tunggu! Dia juga membawa lampu dekorasi!

“Kalian main-main dengan saya?” tanya pembunuh itu, dia memainkan pisaunya.

“Kenapa kamu membunuh temanku, kenapa?!” Jun menanyakan itu kepada pembunuh Pearl dan Giselle, aku melihat Jun mulai menangis.

“Mau tahu alasannya?” Pembunuh itu membuka maskernya. Betapa terkejutnya aku, bahwa pembunuh Pearl dan Giselle adalah Pak Raven, kepala sekolah kami sendiri. Seketika, aku langsung menangis dan ingin memukul Pak Raven.

“Setan-setan dan Zenith pasti senang jika aku bawakan beberapa manusia hari ini. Asik juga jika memburu setiap hari, tidak perlu menunggu setahun sekali.” Pak Raven melepas jaketnya.

“Persetan dengan pemujaanmu! Hari ini akan menjadi hari terakhirmu menjadi pembunuh
pada prom night kami, jangan harap.” Mingyu menghardik Pak Raven.

Pak Raven hanya terkekeh.

Mingyu dan Pak Raven adu mulut, ini adalah kesempatanku untuk menelepon polisi. Aku
mengetik “911” dan langsung memencet tombol telepon. Aku menjawab semua pertanyaan selirih
mungkin agar tidak terdengar Pak Raven.

Pak Raven mulai mendekatiku, sepertinya Pak Raven melihat cahaya layar ponselku yang
terpantul pada jaket Joshua. Dengan cepat, aku langsung memasukkan ponselku ke saku celana
Joshua.

“Ngapain ini anak cewek sendirian? Kamu dibayar berapa?” Tanya Pak Raven padaku, spontan aku langsung menampar pipi Pak Raven.

“Berani kamu ya?” Pak Raven menarikku dan meletakkan pisaunya di leherku.

Dingin. Dingin rasanya ujung pisau yang menggores leherku itu. Aku sangat ingin teriak tapi tidak bisa. Aku menangis sejadi-jadinya hingga tak bersuara. Aku melihat Joshua dan teman-temanku menangis juga.

“Kalau kalian berani dekat-dekat aku, akan aku potong leher teman kalian.” Joshua mendekati Pak Raven dan memegang tangannya. Dokyeom ikut mendekati Pak Raven juga.

Suara gesekan pisau dan kulit terdengar, ternyata Joshua terluka. Perutnya ditikam oleh Pak Raven. Tanpa takut, aku menendang bagian intim Pak Raven untuk menolong Joshua.

Joshua terkapar, darahnya terus mengalir. Jun menyobek bagian bajunya dan menekan luka
Joshua. Kakiku lemas sekali, aku tidak ingin kehilangan Joshua dan teman-temanku. Seungcheol yang tidak terima, langsung memukul Pak Raven, diikuti dengan Dokyeom dan Mingyu sampai Pak Raven terkapar.

Saat itu, aku, Joshua dan teman-temanku melarikan diri. Joshua digandeng olehku dan Jun. Lega sekali rasanya jika kami lolos dari pelaku satanis gila itu.

“TOLONG!” Teriak Dokyeom, dia ditarik oleh Pak Raven menuju lantai basement.

“Mut, tidak apa-apa, aku, Jun, dan Seungcheol akan mengurusnya. Kalian harus pergi ke
klinik dan polisi, cepat!” Mingyu memerintahku. Mingyu berlari menuju Dokyeom, yang diikuti
oleh Jun dan Seungcheol.

Aku berjalan cepat sambil menggandeng Joshua yang sudah terluka parah menuju mobil
Joshua. Untung saja aku bisa menyetir, tanpa basa-basi aku menginjak rem menuju klinik dan
kantor polisi.

Aku dan Joshua sudah di klinik sekarang, polisi pun sudah diberangkatkan ke Sekolah
Menengah Eshina. Aku memandang lekat-lekat pada Joshua, lelaki yang sangat aku cintai dari SD.
Tiba-tiba Mingyu, Jun, dan Seungcheol masuk. Aku langsung memeluk mereka, bersyukur
mereka masih selamat.

“Bagaimana dengan Dokyeom?” tanyaku pada mereka. Mereka hanya geleng-geleng dan mulai menangis.
Tubuhku lemas, Dokyeom teman sekaligus sahabatku menjadi korban ketiga bengisnya
Pak Raven.

“Pak Raven ternyata mengikuti aliran satanis, dia ingin hidup abadi dan kaya, tapi harus ada harga yang dibayar,” terang Seungcheol, “Pak Raven mengorbankan murid-murid dari Sekolah Menengah Eshina setiap tahunnya, agar Pak Raven mendapat apa yang dia inginkan dan jiwanya tidak diambil. Dari luka tusukan yang diterima oleh Pearl dan Giselle, luka itu sama dengan beberapa kasus pembunuhan di dua puluh lima tahun yang lalu, sama-sama luka tusukan dari tangan kidal, dan Pak Raven merupakan orang yang kidal. Selain itu, modus operandi nya pun sama. Polisi sedang menyelidiki sekarang.” lanjutnya.

“Dan mitos mengenai Zenith itu tidak ada, para sesepuh Caratland membuat mitos tersebut agar generasi di bawahnya tidak menjadi korban pembunuhan selanjutnya. Karena, pembunuhan yang terjadi di Eshina selalu terjadi di pukul sebelas malam.” Terang Mingyu.

“Lalu, setelah tahun itu, apakah tidak ada pembunuhan sama sekali?” tanyaku. Tiba-tiba pintu terbuka, ada Dokter Jeonghan, Perawat Dino, dan dua polisi. Yaitu Pak Vernon dan Pak Xiu.

“Di tahun itu, Pak Raven pindah ke London, jika memang dia tersangka pembunuhan yang lalu, maka dapat disimpulkan bahwa saat itu Pak Raven mencari korbannya di London, dan kembali lagi dua tahun yang lalu. Setelah pindah kesini lagi, Pak Raven mempersembahkan murid Sekolah Menengah Eshina.” Dokter Jeonghan menerangkan pada kami sangat jelas.

“Lalu, siapa sebenarnya Zenith itu, Pak?” tanya Seungcheol dengan antusias.

“Zenith itu seorang dokter pada zamannya, sekitar tahun seribu delapan ratus delapan puluh. Zenith dokter yang sangat baik dan rendah hati. Tapi, Zenith hamil dengan warga Estrilda dan mengaborsi-nya. Maka dari itu, warga Caratland mengutuknya.” Jelas Dokter Jeonghan.

“Untuk peraturan tidak boleh keluar lebih dari jam sebelas malam, apakah masih berlaku, Pak?” Mingyu bertanya pada polisi-polisi itu.

“Untuk sementara masih berlaku, kami masih mendiskusikan hal ini bersama pemerintahan wilayah dan sesepuh setempat. Kemungkinan besar, setelah sidang Pak Raven, akan diberhentikan peraturan tersebut.” Jawab Pak Xiu, “Ya betul, kami sebagai polisi pun kesusahan jika ada peraturan adat tersebut.” Lanjut Pak Vernon.

Aku sangat lega, akhirnya warga Caratland bisa bergerak bebas. Dan mitos mengenai penyihir Zenith tidak terbukti kebenarannya. Walaupun, aku harus kehilangan beberapa temanku. Semoga, Pak Raven dapat merenungi kesalahannya selama ini di penjara.

Aku memandang lekat pada Joshua yang terbaring di kasur rumah sakit sembari menggengam tangannya dan berdoa dalam hati agar Joshua cepat siuman. Aku ingin setelah Joshua siuman, aku ingin mengajaknya pergi ke makam Pearl, Giselle, dan Dokyeom bersama. Setelah itu, menjelajahi Caratland dari ujung Eshina sampai Estrilda.

 

 

Karya Muthia Fatikharani mahasiswa PBSI angkatan 2020

Leave a Reply