Cerpen Ayah Pulang

Sumber gambar: https://pin.it/2lxqozbiy54rll

 

24 Oktober 2018

Hari ini tepat sembilan bulan tidak lagi bersua. Semoga rindu tersampaikan lewat angin sepertiga malam yang senantiasa kudengungkan. Jangan khawatir, Yah. Ibu dan kakak baik. Demikian pula denganku, si bungsu. Allah Maha Baik. Semoga selalu damai di sana, aamiin.

Pagi sekali, entah mengapa diri terbangun begitu saja. Seperti panggilan rutin dari Sang Pencipta. Siapa yang meminta maka akan dituruti-Nya. Lantas bagaimana bisa diabaikan begitu saja?

Berhenti menyesuaikan diri dengan cahaya lampu temaram, aku meneguk segelas air mineral di atas nakas. Lalu langkah kakiku keluar kamar mengambil air untuk bersuci. Tidak lama kemudian kembali dan menggelar sajadah kesayangan. Penuhi panggilan yang merindu akan cerita dan permintaan hamba-Nya. Maha Baik Dia, sungguh. Tiada dua, tiada tiga. Dia Maha Esa. Dialah yang tunggal pengabul segalanya.

Satu juz rampung tepat saat adzan subuh berkumandang. Bergegaslah diri ini menunaikan dua rakaat wajib. Kata ayah, Allah amat menyayangi hamba-Nya yang tiada lalai dalam solat. Lagi pula untuk apa menunda kewajiban? Justru melulu terbuai dengan urusan duniawi. Melupa ya bahwa hanya kepada-Nya diri ini kelak kembali?

“Put,” Mas Abi memanggilku lembut.

“Udah bangun?” Dia bertanya retoris.

“Kamu ngelindur, Mas? Kamu bicara sama aku?” Kalau boleh dibilang, ini patut diabadikan dan ditulis dalam buku rekor. Berlebihan memang, tapi kakakku ini benar-benar tidak pernah berbicara denganku.

“Nanti kamu Mas antar ya ke sekolah.”
“Mas, ga salah obat? Semalam mimpi apa?”

“Cih! Dibaikin gitu malah melunjak, sana kamu siap-siap aja!”

Abiyasa Aditya Mahesa. Bukan si buta yang ikonik itu dari goa hantu, tetapi si sulung tidak berperasaan yang baru pulang dari Munich, Jerman.

Pukul 06.30 WIB bel masuk telah berbunyi. Guruku yang ini kelewat rajin. Sepuluh menit sebelum waktunya, beliau sudah duduk manis di meja guru. Kata beliau supaya waktu belajarnya tidak terbuang sia-sia untuk bernyanyi Indonesia Raya tiga stanza. Selesai berdoa, peperangan sesungguhnya dimulai. Apalagi kalau bukan ulangan lisan ekonomi sih? Anak kelas MIPA sepertiku bisa apa?

Satu per satu dipanggil untuk menyampaikan materi yang dikuasai dan diakhiri dengan menjawab beberapa pertanyaan dari guru pengampu. Dua jam pelajaran berlalu, hampir separuhnya sudah lega. Tentu karena mereka sudah maju. Sisanya? Tentu misuh-misuh tidak terima. Bagaimana tidak sih? Selama seminggu sudah mendalami, guru pengampu justru mengubah ketentuan materi. Kelas ramai betul, guru pengampu sampai pijit-pijit dahinya yang mulai dipenuhi kerutan.

“Maaf, siswi yang bernama Putri ditunggu saudaranya di lobi.” Pak Agus, satpam di sekolahku, berhasil membuat seisi kelas terdiam. Telingaku tidak salah dengar nih? Akulah yang dimaksud satpam separuh baya itu.

Ketika hendak memenuhi panggilan, Pak Agus tadi menepuk-nepuk pelan bahuku. “Yang sabar ya, Put.”

Apa maksudnya? Kenapa aku harus sabar?

Sekon kemudian teringatlah suatu perkara. Kaki total lemas tidak berdaya kalau mengingatnya. Ingin tahu sesuatu tidak? Kata Ibu, semalam ayah kritis di rumah sakit.

“Ayah,” panggilku kemudian memeluk erat tubuh kakunya. Mustahil kalau tangisku tidak pecah. Manusia mana yang mampu menahan kerapuhannya. Terlebih lagi ketika ditinggal si pahlawan kesayangan. Sosok yang selama ini selalu dibanggakan di depan teman-teman. Yang paling kokoh diterpa badai apa pun. Yang paling tangguh diterjang ombak mana pun. Yang berarti segalanya bagi si keluarga kecil, terlebih aku, si bungsu.

Belum genap tiga tahun kembali satu atap setelah masa kerjanya habis. Sebelumnya selalu ditinggal untuk menuntut pendidikan dan tugas dinas di pelosok negeri. Hari libur masih jarang bersua, bahkan hari raya pun harus puas hanya dengan bertegur sapa lewat sambungan telepon saja.

Acap kali ketika masih sekolah dasar, si bungsu ini menangis mengadu pada ibu.

“Ibu, ayah kapan pulang?”

“Pekan depan, memang kenapa sayang?”

“Ibu tahu Shifa? Dia tadi diantar ayahnya loh naik motor. Lucu sekali soalnya dia duduk di depan, Bu. Shifa juga cerita kalau kemarin dia jalan-jalan ke Transmart, terus Shifa dibelikan baju dan mainan sama ayahnya. Pokoknya besok kalau Ayah pulang, kita juga harus gitu ya, Bu!”

Begitu terus entah sampai berapa ratus kali aku merengek. Jawaban dari ibu bahkan aku masih hafal hingga sekarang. “Iya, iya. Besok ya kalau Ayah sudah pulang kita jalan-jalan sepuasnya.”

Namun anganku itu terhembus angin begitu saja. Ayah terlampau sibuk dengan urusan kantornya. Jam terbangnya padat, urusi ini-itu tidak tahu waktu. Gila kerja memang. Pernah suatu hari, beliau baru saja tiba di rumah. Belum ada sepuluh menit, teleponnya berdering. Aku tidak tahu apa yang jadi topik pembicaraannya. Aku yang saat itu baru berusia sepuluh tahun menoleh pada ibu, bertanya, “Ada apa sih, Bu?”

Ibu hanya senyum kemudian menjawab, “Ga ada apa kok sayang. Sana kamu mandi, katanya mau jalan-jalan sama Ayah.”

Namanya anak kecil, mendapat jawaban demikian tentu riang gembira. Sumringah sekali senyumku kala itu. Baru saja berniat untuk bersiap diri, ayah terlebih dulu bangkit dari sofa dan meraih kunci motor kesayangannya di meja.

“Bu, Ayah berangkat lagi ya, mau urus kereta buat presiden besok pagi.” Dipakai lagi sepatu kerja dan jaket kesayangannya yang bahkan sedari tadi masih tergeletak begitu saja di sofa. Jaket bertuliskan BALAI YASA MANGGARAI yang mulai lusuh itu selalu menemaninya menembus jalanan ibu kota. Ayah tipe orang yang tidak mau merepotkan diri dengan bermacet-macetan. Setidaknya dengan naik sepeda motor itu, waktu tempuhnya hanya sekitar lima belas menit saja, tidak seperti mobil yang, Ya Tuhan, macetnya luar biasa.

“Bu, hari ini ga jadi ke Transmart dong?” Lengkung bibir kecil yang tadi sumringah justru kini tertarik ke bawah. Kecewa? Pasti.

“Sayang, izinkan Ayah sibuk sebentar lagi ya. Janji deh pekan depan kita jalan-jalan sepuasnya!” Ayah memelukku erat, lalu menggendongku sampai pintu depan.

“Jagoannya ayah ga boleh sedih, sekarang kamu pergi sama Ibu dan Mas Abi dulu ya.” Dikecupnya puncak kepalaku sedikit lebih lama. “Pekan depan Ayah bakal turuti semua keinginanmu deh. Jalan-jalan ke Transmart, beli mainan baru, baju baru, apalagi ya? Semuanya deh!”

“Ayah janji?”

Kepala ayah mengangguk-angguk tanda setuju. Sejurus kemudian senyum sumringah itu kembali. Sekali lagi, namanya anak kecil siapa sih yang tidak luluh ketika disogok dengan cara dituruti keinginannya?

Namun, Ayah tidak benar-benar menepatinya. Setiap kutagih janjinya di akhir pekan, beliau selalu menjawab, “Sebentar ya, Ayah masih capek.” Begitu terus hingga aku lupa janji sederhananya itu.

Sampai saat ini bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali aku sekadar quality time dengan keluarga. Kakakku, Mas Abi, selepas sekolah menengahnya kemudian melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi di Jerman. Pulangnya tidak menentu, bisa setahun sekali. Itu pun hanya hitungan hari, tidak sampai sebulan sudah kembali lagi. Aku juga demikian. Rela berangkat subuh ditemani sunrise dan pulang senja ditemani sunset, bahkan tidak hanya sekali-dua kali pulang malam. Kegiatan di masa putih abu benar-benar menyita hampir seluruh waktuku. Mengerjakan tugas, kuis setiap hari, presentasi sehari bisa dua kali. Belum lagi kegiatan di organisasi yang kuikuti. Sungguh, jadi sekretaris umum itu berat! Tugasnya besaaaaar sekali. Namun, kuyakin Allah lebih besar, sebab Dia Maha Besar, Maha Segalanya.

Sekarang, semua itu hanyalah tinggal memori. Allah lebih sayang ayah. Kata ibu, Allah bakal panggil ciptaan-Nya yang sudah cukup berjuang. Dan ayah sudah lebih dari sekadar kata berjuang, menurutku. Sekarang waktunya ayah benar-benar istirahat. Tidak ada lagi deringan telepon yang mengharuskan beliau mau tidak mau kembali ke kantor urusi ini-itu. Tidak ada lagi janji yang wajib ditepatinya kepadaku. Kalau ada yang bilang janji adalah hutang, maka sekarang waktunya kuanggap hutang itu lunas.

Setelah hampir sebulan berjuang melawan komplikasi yang diderita, hari ini ayah pulang. Tidak hanya pulang ke rumah, tapi juga pulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Samar-samar aku mendengar isakan dari kamar Mas Abi. Ya, benar. Manusia yang sempat kuanggap tidak berperasaan itu sekarang sedang sesenggukan.

“Mas Abi.” Yang dipanggil menoleh, kemudian menepuk-nepuk sisi ranjangnya mempersilakan duduk. Tangis kami benar-benar pecah. Aku jatuh ke pelukannya, menyandarkan kepala ke bahunya dengan tangan yang terkulai lemas.

Tidak pernah sekalipun berpikir bahwa kepulangannya ke Indonesia akibat dari alasan yang begitu pilu. Impiannya kelak bakal pulang dengan gelar sarjana yang diperolehnya di tanah rantau. Pulang disambut senyum bahagia keluarga dan sanak-saudara serta teman-temannya. Namun, kenyataannya begitu pahit. Ketika angin dingin menyelimuti Jerman, ada telepon dari ibu. Pikirnya mungkin sekadar basa-basi untuk bertukar kabar biasa, tetapi kali ini lain.

“Kabar ga enak dari ayah, Bi. Pulanglah, setidaknya temani ayah di sini. Siapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk, tetapi jangan pernah putus berdoa agar ayah lekas sembuh ya, Bi.”

Teleponnya ditutup. Mas Abi gerak cepat urusi kepulangan mendadaknya. Pikirannya tentu kalang kabut sepanjang perjalanan. Mulut terus komat-kamit merapalkan doa memohon pada Yang Maha Kuasa. Terbang dari Munich International Airport pada malam hari dan tiba di Indonesia sekitar pukul 16.05 WIB. Dari bandara, rumah sakit langsung jadi tujuannya. Melepas kerinduan dengan sang pahlawan kesayangan yang terbaring lemas di ranjang. Saat itu ayah masih bisa diajak bicara. Beliau memang gemar mengobrol, bicara ngalor-ngidul ada saja topik bahasannya. Namun, bicaranya sudah tidak selancar ketika sehat seperti biasa. Baru berapa kata saja, dirinya sudah terbatuk-batuk. Selepas maghrib, Mas Abi mengajakku pulang. Katanya agar aku tidak terlambat sekolah besok. Mau bagaimana lagi? Selain kuturuti, memang aku bisa apa?

Tengah malam aku mendengar keributan dari ruang tamu. Ada dua orang yang kuyakini salah satunya adalah suara Mas Abi. Motor matic dinyalakan dan terdengar pintu terkunci dua kali. Malam itu aku ditinggal sendiri di rumah. Tidak lama kemudian teleponku berdering, ada pesan masuk.

“Mas ke rumah sakit dulu ya. Ayah kritis, doakan semoga lekas pulih. Maaf mas tinggal, kamu pasti berani kan? Jangan mikir yang jelek, tetap doakan agar ayah lekas pulih. Mas janji sebelum subuh nanti mas sudah balik.”

Pesan terpanjang yang pernah kuterima dari Mas Abi. Biasanya jarang sekali bertukar pesan. Maklum kami selalu disibukkan dengan urusan masing-masing. Aku di Indonesia dan Mas Abi di Jerman.

Mas Abi tidak bohong, sebelum adzan subuh berkumandang dia sudah kembali. Buru-buru mandi dan bersiap diri ke masjid. Sejak kecil ayah memang sudah membiasakan Mas Abi untuk salat berjamaah di masjid. Katanya, pahala orang yang salat berjamaah apalagi di masjid itu berkali lipat jumlahnya.

Paginya setelah mengantarku ke sekolah, Mas Abi langsung ke rumah sakit lagi. Kesehatan ayah dikabarkan semakin memburuk. Benar saja, setibanya Mas Abi di rumah sakit, ayah kejang-kejang. Dokter dan perawat mengerahkan seluruh kemampuannya demi memulihkan ayah. Namun, takdir berkata lain. Jalan hidup manusia sudah dilukiskan bahkan jauh hari sebelum alam semesta diciptakan. Sekitar pukul 07.00 WIB ayah dinyatakan tidak ada. Ibu terduduk lemas di sofa, begitu pula dengan Mas Abi. Kacau benar pagi itu. Mas Bima tidak tahu harus bagaimana. Sepupuku itu hanya bisa berkata, “Sabar ya, Tan, Bi, Om sudah tenang di sana.”

Ya memang benar kata Mas Bima, ayah sudah tenang di sana. Ayah orang baik, terlampau baik malah, pasti di sana juga diperlakukan dengan baik. Apalagi Allah Maha Baik, mana tega ciptaan-Nya dibiarkan menderita begitu saja.

Tidak menunggu lama, diurusilah segala keperluan pemakaman itu. Ayah dimandikan, dikafani, dan disalati. Orang-orang datang silih berganti mengucap salam berduka dan doa. Tidak sedikit pula yang menyemangati kami agar tidak terus larut dalam kesedihan. Namun, ya bagaimana lagi? Ibarat sedang berlayar kemudian kehilangan nahkoda. Pasti tidak karuan rasanya kan?

Yang terjadi berikutnya adalah mengantar ayah ke tempatnya yang baru, tepat di sebelah makam Bude Yad, kakak sulung ayahku yang terlebih dahulu menghadap Sang Khalik. Tanganku bergetar hebat yang kemudian dikuatkan oleh Mba Yuyun, adik Mas Bima, yang menautkan jari kami berdua seakan mengisyaratkan, “Jangan nangis, Put, itu malah menambah beban ayah. Lepaskan, ikhlaskan, kamu harus kuat, Put. Masih banyak orang yang sayang sama kamu!”

Puncaknya tangis itu justru makin pecah di depan makam bertuliskan nama ayah di atas nisan sederhana. Aku memeluk nisan itu kuat-kuat, sambil sesekali menciumnya dan berbisik, “Yah, Putri sayang ayah,” seakan beliau bakal kembali kemudian membalas pelukanku dan menjawab, “Iya, ayah juga sayang Putri.”

Aku menyadari bahwa kehilangan yang paling berat itu adalah kehilangan sosok seorang panutan di hidupnya yang tidak akan pernah kembali. Pahlawan kesayangan sekaligus idola pertamanya, terlebih bagi seorang anak gadis sepertiku. Tidak ada yang bakal sanggup menggantikan posisi itu, sekalipun seorang suaminya kelak. Cinta antara ayah dan anaknya itu beda, terlampau istimewa malah. Kisah antara Dilan dan Milea saja kalah.

24 Januari 2018

Hari ini satu sayapku patah, sudah waktunya dikembalikan kepada Allah. Ada seseorang yang tadi berkata, “Sedih itu boleh tetapi jangan berlarut-larut hingga kalut, ayah jadi ga tenang di sana, Put.” Benar juga. Ayah sudah tenang, jadi jangan menambah beban bagi beliau di sana. JIka rindu datang membelenggu, aku coba sampaikan lewat angin sepertiga malam dan doa setiap waktu. Allah ga pernah tidur, aku ceritakan semuanya pada Tuhanku itu. Pesan Mas Abi, “Jika kamu beriman, maka ikhlaskan, lepaskan. Percayakan semuanya kepada Sang Khalik, Sang Pencipta. Pasti ada pelangi indah pasca turunnya hujan.” Maka dengan ini aku bertekad dalam hati untuk kembali menjadi seorang Putri yang kuat, jadi, semangat, Put!


 

Cerpen di atas merupakan juara 1 lomba menulis cerpen pada Milad PBSI 22 Desember 2019. Ditulis oleh Citra Putri Wijaya, mahasiswa PBSI Semester 3 Universitas Ahmad Dahlan.

Leave a Reply