Cerita Kakek di Kala Senja

Karya : Yumin Hoo

 

Ini tentang Kakek yang telah berusia 92 tahun. Bernafas sendiri tanpa ada sandaran hati; tak ada canda tawa terbagi rapi; tak ada kisah lama yang bisa disebar lagi; tak ada harapan di ujung usia kini. Hidupnya sepi, sesepi kuburan.

“Untuk apa umur yang panjang bila tidak ada kebaikan?” Gerutu kakek di teras rumah.

“Untuk apa berdiam diri di depan teras bila tidak melakukan apa-apa?” Balas Singgih—cucu yang cerdas dan baik hati. Si Kakek hanya diam, wajahnya yang seolah datar meratapi nasibnya.

Singgih diutus kedua orang tuanya untuk selalu datang setiap sore di rumah Kakek, sekadar membersihkan rumah, memasak air dan nasi, lalu mendengarkan celotehan Kakek
hingga petang tiba. Sebenarnya Kakek adalah orang kaya, punya lahan luas, juga lima anak yang pandai dan sukses di berbagai macam bidang. Pernah suatu ketika Singgih bertanya perihal masa lalu Kakek. Tanpa segan Kakek menceritakan segalanya, bahkan derita terdalamnya sekalipun.

“Zaman dulu, sebelum muncul yang namanya HP, rumah ini ramai. Komunikasi antar keluarga mengalir bak sungai. Hingga di penghujung malam, semua orang betah mengobrol di teras rumah. Sekarang, malah ….”

“Malah sepi kaya hati Kakek,” tukas Singgih sambil terkekeh.

“Sekarang, semua pakai handphone. Aku heran, kenapa orang suka mengusap-usap kaca pakai jempol, padahal kacanya bersih?” Tanya Kakek.

“Memang terlihat aneh, ya, Kek. Dunia tak lagi sama.”

“Benar, dunia makin maju makin aneh. Kau tahu? Zaman dulu laki-laki menikah paling muda di umur dua puluh lima, perempuan di umur enam belas, itu sangatlah wajar. Lha, kemarin ada kabar anak SMP kelas satu sudah hamil. Lalu terpaksa kedua pihak menikahkannya. Yang terlihat aneh di zaman dulu, terlihat wajar di zaman sekarang. Begitu pun sebaliknya. Dunyodunyo ….”

Singgih hanya tersenyum menanggapinya. Kakek memanglah benar, tak ada yang salah dengan penjelasannya. Seiring waktu berjalan, dunia semakin tua dan aneh.

Sang Kakek berhenti bicara, berdehem, lalu terpejam dengan tenang. Kakek tenggelam dalam pikiran sendiri. Singgih tahu ia harus melakukan apa. Membiarkan kakeknya tenang dengan kenangannya, sembari ia bangkit mengambil sapu untuk membersihkan lantai rumah. Setelah Singgih mengerjakan semua dengan tuntas, barulah ia izin pamit untuk kembali ke
rumah.

 

 

***

 

 

Banyak rumor beredar bahwa Kakek adalah orang yang tak punya agama. Tak pernah salat apalagi mengaji. Padahal pengetahuan Kakek mengenai agama sangatlah luas. Bahkan pernah Kakek mengkritik tajam para ustadz yang berceramah di TV.

“Mereka adalah para munafik yang tak pernah mengamalkan apa yang dikatakan,” cetus Kakek.

Dan esoknya muncul berita bahwa ustadz yang kemarin diklaim munafik oleh Kakek, adalah sebenar-benarnya orang munafik. Ia terdakwa telah menggunakan narkoba. Heran dengan pengamatan Kakek, Singgih tidak tahan untuk bertanya.

“Bagaimana Kakek bisa tahu kalau ustadz itu bukanlah orang baik?”

“Semua fakta ada di depan mata, Nak.” Jawab Kakek singkat.

Singgih tidak lagi bertanya. Ia berpikir bahwa Kakeknya bukanlah orang biasa yang pekerjaan hariannya hanyalah menggerutu tentang nasib. Banyak persepsi yang salah mengenai Kakek. Kakek bukanlah orang yang kolot, ia tahu banyak hal. Tetapi, Singgih masih risih dengan rumor lain yang mengatakan bahwa Kakeknya adalah orang jahat yang tak tahu aturan. Tidak pernah jujur selama berdagang, memiliki azimat untuk mempengaruhi dagangan orang lain, bahkan Kakek mempunyai selingkuhan.

Suatu ketika, sebelum pandemi menyerang, saat Singgih masih di Jakarta mencari ilmu, ia mendapat kabar bahwa neneknya yang di Sumatera meninggal akibat penyakit yang telah lama diderita. Kata orang, sang Kakek bukannya sedih malah tertawa ria melihat neneknya terbaring pucat di depan mata. Kakek tidak ikut mengantarkan Nenek ke tempat peristirahatan terakhir, bahkan setelah Nenek dikuburkan, Kakek menyetel TV dengan volume speaker full di dalam rumah. Para tetangga hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Kakek. Lalu suatu hari, Kakek pernah mengajak seorang perempuan (nenek-nenek) singgah di rumahnya di siang hari.

Orang-orang yang melihat mengira bahwa Kakek berselingkuh, padahal tak ada yang tahu pasti. Bisa jadi Kakek ingin memberikan makanan pada nenek tersebut karena kasihan. Tapi kenapa sampai dibawa ke dalam rumah? Hanya Tuhan yang tahu. Orang-orang mengira kalau Kakek sudah gila. Karena itulah tak ada lagi yang mau berkunjung ke rumah Kakek.

Barulah, setelah Singgih lulus SMK, ia pulang ke kampung halaman, tanah Sumatra, dan mencari tahu tentang siapa Kakek sebenarnya.

Selesai salat asar, seperti biasa Singgih bergegas menuju rumah kakek. Membawakan ubi godok untuk kakek. Bersama ontel tua bapaknya, ia mengayuh semangat untuk sekadar
mendengar cerita kakek. Sesampai di sana, kebetulan kakek tengah duduk di teras rumah. Mengenakan kaos oblong dan bagian bawah hanya tertutup sarung.

“Assalamualaikum, Kek.” Sapa Singgih.

“Waalaikumsalam.”

“Kakek mau?” Tawar Singgih, menyodorkan bingkisan ubi kepada Kakek.

“Wah, kebetulan aku sedang mengidam ubi.” Kakek menerimanya dengan senang.

Dengan cekatan kakek membuka bungkus, lalu melahap satu-persatu potongan ubi di dalamnya.

“Kek.”

“Hmm?” Kakek hanya menggumam sambil mengunyah.

“Selama aku di sini, apa Ibu pernah kemari?” Tanya Singgih spontan.
Sang Kakek tersedak, lalu terbatuk.

“Ambilkan air!” suruh Kakek.

Singgih bergegas menuju dapur mengambilkan segelas air, lalu cepat-cepat diberikannya pada Kakek. Selesai meminum, Kakek berkata, “Mereka ….”

“Mereka siapa, Kek?” Tanya Singgih.

“Anak-anakku. Mereka semua melupakanku,” jawab Kakek dengan nada sayu.

“Kenapa, Kek? Bukannya Ibu menyuruhku untuk selalu ke sini setiap sore untuk membersihkan rumah Kakek. Berarti Ibu tidak melupakan Kakek.”

“Itulah sebabnya kenapa kau sering ke sini, Nak.”

Singgih terperanjat. Ia sadar akan sesuatu, tapi tetap bersikap seolah tak tahu.

“Mereka termakan berita yang tidak jelas datangnya.” Lanjut Kakek. “Saat aku ingin menjelaskannya, tak ada satu pun yang ingin mendengar. Mereka pergi. Tapi ibumu, dia kembali dan telah memaafkanku. Meski kutahu ibumu tak pernah ingin melihatku, karena luka bisa saja kembali dan menyakitinya secara tidak sengaja.”

“Karena itulah rumah ini sangatlah sepi.” Pungkas Singgih.

“Benar, Nak. Setelah kepergian nenekmu waktu itu, harga diriku terpendam. Aku tak lagi dianggap. Bahkan sebagian mereka memvonisku gila. Aku yang tua seperti ini haruslah menerima apa adanya. Waktuku tak lama lagi, aku takkan menuntut siapapun untuk
menganggapku ada. Kalau pun suatu saat aku benar-benar tiada, cukup Tuhan yang membalikkan hati mereka. Dan aku berada di puncak keindahan yang disebut cinta. Sehingga doa mereka selalu mengalir di saat aku telah tiada,” jelas Kakek di penghujung senja.

Kakek terpejam, menghirup udara senja, lalu tersenyum seraya berkata, “Lihatlah langit itu, Nak,” tunjuk Kakek ke atas.

“Kau akan menemukan cahaya indah yang disebut mega,” lanjut Kakek, “Dan jika kau perhatikan di ujung sana, terlihat bumi yang tengah menelan matahari. Cahaya di sekitarnya
disebut senja. Kau bisa belajar menemukan makna di antaranya.”

Singgih mencoba mencerna penjelasan Kakek. Dan ia sadar harus berbuat apa.
Kebenaran!

 

 

 

Leave a Reply