Randheh

Sumber: Coretan Aksara

Seminggu setelah kematian suaminya, Miskiyeh selalu berdandan layaknya orang yang tidak dirundung duka. Bedak di wajahnya berlapis. Bibir tipis sempit dipoles dengan gincu merah delima. Alisnya diukir meruncing. Bulu matanya lentik. Matanya secerah bulan purnama.

“Pasti ia kebelet nikah lagi. Dasar janda muda! Suaminya yang meninggal, malah ia yang jadi sentan,” kata Sumrah itu sering kali landas ke telinga Miskiyeh. Tetapi Miskiyeh mengeluarkan lewat telinga kirinya. Malah Misnaton -adik iparnya- yang tidak terima dengan perkataan Sumrah itu.

Patut Misnaton tidak terima, karena tidak hanya sekali saja Sumrah mengumpat seperti itu, melainkan berkali-kali . Parahnya lagi, ia mengata-ngatai di depan banyak orang. Katanya, Sumrah risih dengan pakaian Miskiyeh yang mengukir lekuk badan. Membuat hasrat lelaki muncrat-muncrat saat melirik. Apalagi celana membentuk pantatnya yang montok. Baju pendek melonjongkan buah dada.

“Jangan urus penampilan orang. Urus saja penampilanmu yang tidak karuan itu,” Misnaton membalas teriakan. Tetapi Miskiyeh hanya diam. Melerai Misnaton yang kepanasan.

Sedangkan, para lelaki sering menyebut Miskiyeh sebagai janda gentong. Meski beranak dua, ia tampak awet muda. Sering sekali lelaki lajang maupun yang sudah berkeluarga melempar senyum saat berpapasan.

Terlebih ketika Miskiyeh pergi ke pasar, aroma melati di badannya tidak putus-putus masuk ke sela hidung lelaki berparas keladi. Banyak lelaki diam-diam membuntuti. Bila Miskiyeh menoleh ke belakang, dua sampai tiga lelaki bersandiwara menutupi siasat. Kadang ada juga yang menyapa sambil memicingkan mata kirinya. Ia selalu disetop oleh lelaki di tengah jalan, lalu lelaki itu menawarkan jasa hantar. Namun Miskiyeh menepis semua itu. Ia memilih jalan kaki, meski jarak dari rumah ke pasar kisaran 300 meteran.

“Senno’ lelengan,” begitulah ibu-ibu menyoraki Miskiyeh di sepanjang jalan. Ia tetap bungkam. Merunduk dan meneruskan perjalanan.

“Mulutnya bisa dijaga nggak, Bu?” Misnaton masih tidak terima. Miskiyeh menarik tangannya.

Belum lagi lirikan runcing para istri dari lelaki yang tadi menggoda. Umpatan-umpatan senantiasa menemani langkah. Sampai kepala Miskiyeh mendidih, tak kuat menahan lava dari kawah mulut ibu-ibu itu. Tetapi dadanya tak henti-henti dielus-elus. Sabar. Begitu ia menetralkan amarah.

Hari ini, pasar tampak lebih berteman dengan jiwa-jiwa sepi. Damai sekali. Tak ada kebingisingan kendaraan, kecuali suara pedagang. Ia membeli alat-alat dan kebutuhan isi dapur. Ia berencana akan membuka warung makan di pinggir pantai. Satu persatu sayuran dan daging ayam ia beli. Namun, pedagang yang kenal dengan Miskiyeh selalu menaruh curiga.

“Miskiyeh dapat uang dari mana? Kan suaminya sudah meninggal,” bisik salah satu pedagang ikan ke Misnaton.
“Sisa uang jualan gula, Bu,” sahutnya pelan.
“Dapat berapa karung gulanya?” Kejarnya.
“Hanya lima karung.”
Pedagang itu bungkam. Mengalihkan pandangan ke baju Miskiyeh yang kekat.
“Baju itu juga hasil dari jualan gula?” Pedagang itu mulai penasaran.
Sekarang giliran Misnaton yang bungkam. Memalingkan pandang ke ikan-ikan.

Bisa jadi, bungkamnya Misnaton menjawab kalau pakaian yang dikenakan Miskiyeh, hasil jualan gula dari orang-orang yang kemarin lalabet ke rumahnya. Jika benar, itu tindakan yang sangat kurang ajar. Masak membeli baju dengan memakai hasil jualan gula? Sangat tidak beretika. Sama halnya ia senang bila suaminya tiada. Biasanya, uang hasil jualan itu digunakan untuk bayar hutang sembako semasa tahlilan kemarin. Boleh juga digunakan untuk kebutuhan makan 40 hari sampai 100 hari ke dapan.

Tidak banyak bicara, mereka sesegera memberikan uang ke pedagan. Berdiri dan pulang dengan menenteng barang-barang dan lauk-pauk di kedua tangan. Di rumah, kedua anak lelaki Miskiyeh menunggu suapan.

***

Keinginan Miskiyeh dirangkai pelan-pelan. Warung di pinggir pantai bakal menjadi penentu hidupnya ke depan. Tak besar memang, tapi bagi janda anyar, luas tanah lima kali lima sudah lumayan buat jualan. Sedang sisa tanah di halaman depan bisa sebagai tempat duduk pelanggan. Konon, warung itu bekas penjual yang sudah bertahun-tahun tutup. Katanya, si pemilik warung merantau ke Malaysia yang lebih menjanjikan masa depan anak-anaknya.

Ia membuka warung dibantu Misnaton. Ibu-ibu yang berjalan di depan warung hanya melirik. Bagaimana mereka mau bantu, jika setiap lirikan itu serupa anak panah yang memelesat ke muka Miskiyeh. Seandainya ada lelaki lajang atau duda sekalipun, sudah pasti ia tak perlu repot-repot mengangkat panci, kompor gas, sayuran, ikan-ikan dan kebutuhan untuk memasak lainnya. Sayang ya, mayoritas lelaki sudah pergi melaut sejak tarhim pertama tadi.

Jadi ya, mereka berdua harus menggotong semuanya. Bolak-balik sampai peluhan. Jarak rumah ke pantai juga lumayan. Jauh bagi perempuan. Semisal tiap hari mereka begitu, pasti, badannya lebih ramping atau malah kekar. Ikut melautpun orang-orang tak bimbang mengambil keputusan. Semisal itu menjadi kenyataan. Bukan sukar.

Namun ia menjalani dengan amat santai. Layaknya orang yang biasa pulang-pergi dari rumah ke pantai. Tak sedikit keringat yang diperas.

Ia menargetkan bakal buka warung siang ini. Sebelum para nelayan bersandar ke punggung pantai. Sebab sumber pemasukan uang dari nelayan yang istirahat buat makan. Apalagi di sekitar pantai tidak ada orang yang berjualan makanan. Itu menjadi keuntungan bagi harapan yang besar.
Semua sudah selesai. Rapi. Di depan, tempat duduk saling berhadapan. Di belakang, dapur siap melayani perut lapar. Ikan diselimuti bumbu kuning dan merah -siap dikuah, goreng, dan bakar-. Lauk-pauk terpajang di etalase. Nasi mengeram dalam termos.

Terus Miskiyeh mengharap bisa menampan doa-doa dari subuh yang rekah dengan rezeki. Sebelum menjalankan usahanya, ia pulang mandi kembang mawar, anggrek, melati, dan sedikit kemenyan. Menurut orang dulu, bagus buat orang yang baru buka usaha untuk menarik pelanggan. Sisa air di bak mandi, diambil pakai ember hitam. Dibuang ke halaman.

Ia mengambil gulungan kertas putih berlapis plastik dari lipatan sarungnya, diletakkan ke dalam kotak uang kayu. Uang lembaran kuno dijilid di atasnya. Empat sepat kalapa bercampur dupa mulai disulut. Asap membumbung dari belakang warung. Dibawa ke sudut-sudut ruangan. Mulut Miskiyeh tak berhenti komat-kamit.

“Semoga laris manis, tidak laris pahit,” desusnya.

***

Ibu-ibu yang mau menjemput kepulangan suaminya tiba-tiba berhenti di depan warung Miskiyeh. Mata tertuju pada tingkah Miskiyeh yang memukul meja, dinding, dan etalase dengan sapu lidi.

“Entah apa yang merasuki Miskiyeh. Setelah suaminya meninggal kena santet, sekarang malah ia yang mau jadi dukun,” Sumrah kembali bersuara di kerumunan.
“Memang suaminya mati begitu, Sum?” Sanggah salah satu ibu di tengah gerembolan.
“Iya! Matinya tidak biasa. Wajah dan sekujur kulitnya berwarna hitam seperti habis dibakar. Bau badanya sangat busuk, sampai terdengar ke rumah. Meski aku sudah tutup, jendela, dan menyemprot pengharum ruangan, tetap saja baunya menerabas. Kalau bukan meninggal kena santet, tidak bakalan jasadnya sampai mengenaskan seperti itu.” Sumrah menelen ludah sejanak.
“Ibu-ibu, kali ini kita harus berhati-hati dengan janda baru itu. Mungkin Miskiyeh mau membalas kematian suaminya sama orang desa sini. Jangan-jangan Miskiyeh yang menyantet suaminya sendiri,” kata Sumrah.
“Pantesan penampilannya selalu terbuka. Wajahnya selalu cerah seperti tidak diselimuti duka,” ibu tadi kembali menyanggah.
“Ibu-ibu jaga suami kita. Jangan sampai kena guna-guna perempuan setan itu,” bujuk Sumrah.

***

Benar saja. Setelah sampan para nelayan bersandar ke pantai, mereka langsung masuk ke warung Miskiyeh. Padahal bajunya masih basah. Badannya masih bau ikan teri nasi. Entahlah, apakah mungkin mereka kena guna-guna dari Miskiyeh seperti yang dikatakan Sumrah? Atau kelaparan setelah melaut tadi? Sebab mereka memakan masakan Miskiyeh sangat rakus. Layaknya orang tak pernah dikasih makan seminggu.

“Jika teri nasi melimpah, warungmu tidak akan sepi, Mis,” ucap Juma’ali, suaminya Sumrah.
Kata pembeli di situ, masakan Miskiyeh sangat enak. Tak heran jika dari tadi orang-orang menambah porsi hingga dua kali. Sedikit orang yang menambah tiga sampai empat porsi.
“Sudah cantik. Pintar masak lagi. Cocoklah jadi istri kedua,” kata Juma’ali setelah makan, sambil memicingkan mata kanannya ke Miskiyeh.
Miskiyeh hanya mesem. Orang-orang yang mendengar tak henti-henti menyoraki Juma’ali.
“Alah, satu istri saja tidak keurus, malah mau nambah. Mending sama aku saja. Aku masih lajang. Nggak masalahlah jika nikah sama janda kayak Miskiyeh,” diikuti Misnan.

Sorak-sorai menghiasi kebahagiaan di warung Miskiyeh. Suasana itu menjadi pemikat orang lain untuk duduk dan makan. Mayoritas yang datang dari kaum adam. Ya! Mereka tidak hanya makan! Namun matanya ikut jelalatan.
Padahal, Miskiyeh berdandan sederhana. Hanya memakai bekas sarung suaminya dan baju pendek warna hitam. Rambut diikat karet kuat-kuat. Namun, Sumrah yang melihat suaminya nongkrong di warung tidak tinggal diam. Bak karet hitam yang ia pegang melayang ke arah warung Miskiyeh.

“Juma’aliii, pulang! Nanti kamu kena guna-guna sama janda setan itu,” teriak Sumrah.
Mata orang-orang di warung mengepung Miskiyeh.
“Eh Miskiyeh, kalau suami baru meninggal tidak boleh keluar rumah sampai seratus hari sepeninggalan suamimu. Tidak boleh dandan, apalagi sampai bedakan. Rambut dilarang dibasahi dan diikat. Tidak boleh buka usaha atau kerja. Kamu tidak tahu aturan itu? Sudah tidak tahu aturan malah jadi setan! Kamu tidak punya tabiat?”
Miskiyeh merunduk. Memejam mata. Menarik nafas panjang lalu dibuang.
“Oh, paling orang-orang di sini sudah kena santetmu itu ya?” Diikuti tawa sinis.
“Jaga mulutmu, Sum!” Teriak Misnaton dari belakang warung.
Misnaton buru-buru menghampiri Sumrah. Namun lelaki di warung menghentingkan langakahnya. Takut ada baku hantam di antara mereka. Siang ini, tidak ada yang sebuas Misnaton. Tenaganya bertambah berlipat-lipat.

Saat ini Misnaton tidak bisa lagi dilerai, pun sama Miskiyeh. Ia tetap berontak menerjang, ingin menghampiri Sumrah yang lengannya dalam genggam Juma’ali. Amarahnya tak terbendung. Mungkin ia tidak kuat menahan emosi. Tabah tak menempati pikirannya.

“Dasar perempuan berlidah ular. Meracuni orang-orang dengan menjelek-jelekkan Miskiyeh. Kamu tidak ingat di malam Jumat sebelum paginya kakak meninggal? Kamu kan perempuan yang meletakkan boneka dengan puluhan jarum di kuburan bapak! Kamu tidak ingat telur yang kamu kubur di depan halaman rumah kakak. Aku tahu semuanya. Tetapi dari dulu aku hanya diam. Tetapi sekarang tidak! Biarkan orang-orang di sini tahu tentang otak busukmu,” sekarang teriakan Misnaton yang tidak bisa dibendung lapisan tangan.
“Kalau suka sama suami orang harus tahu diri dulu. Jika muka dan penampilanmu yang amburadur tidak karuan itu, jangan mimpi mau mendapatkan kakakku. Masak iya kakak yang ganteng dan seorang guru suka sama perempuan kayak kamu! Tahu diri! Tahu diri! Kalau cintanya dari dulu tidak diterima jangan sakit hati. Apalagi sampai menyantet,” urat leher Misnaton merambat.

Sedangkan, Sumrah begegas pulang dari kerumunan dengan wajah masam. Wajah Sumrah memar karena pukulan lidah Misnaton. Juma’ali melepaskan genggaman, kekecewaan mengerut di dahinya.

Sedangkan di dalam warung, Miskiyeh pingsan. Mungkin syok mendengar kata dari Misnaton. Jika Misnaton tidak berbicara begitu, bisa jadi Miskiyeh dan Juma’ali tidak tahu selama-lamanya. Di sisi lain, orang-orang menyoraki kepergian Sumrah.
“Perempuan tidak tahu diri,” begitu lemparan kata-kata dari mulut orang-orang.

2019

Cerpen oleh Achmad Sudiyono Efendi mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Cerpen ini berhasil mendapatkan juara 2 dalam Acara Bulan Bahasa PBSI UAD pada 3 November 2019.

Leave a Reply