Pertemuan Singkat

“Aku menyukai hujan, karena di balik hujan, aku dapat menangis tanpa diketahui orang. Aku menyukai hujan, karena saat hujan, kehangatan keluargaku akan kurasakan.
Setiap sore aku menunggu hujan dan aku akan menangis menjelang malam,
dan sampai kapanpun aku akan tetap terdiam dibalik jendela menunggu hujan turun.”

Siang itu, semuanya berbeda. Wajah ibu berkecamuk sedari pagi, setelah menerima telepon. Entahlah, aku tak tahu siapa yang bicara di ujung sana. Yang kulihat hanya itu saja. Dan ayah belum pulang dari kantor tempat ia bekerja, mungkin lembur malam, pikirku tak mau memanjangkan.

Awan mendung dan kilatan menyambar, seperti biasanya, aku duduk termenung di balik jendela untuk sekadar mengamati keadaan luar. Aku mendongakkan wajah ke atas, mengira-ngira waktu hujan datang, dan kilatan besar menyambar, megejutkanku. Terdengar teriakan ibu, menyuruhku untuk beranjak dari tempat dudukku dan masuk kedalam, namun aku seolah tak menghiraukannya, aku masih duduk disana dan aku ingin tetap disana sampai ayah pulang.

Hujan turun lebih deras dari yang kubayangkan, ayah pulang tak lama berselang, semua keadaan berubah, tak ada sambutan di depan pintu oleh ibu, tak ada kasih sayang yang kulihat, yang ada hanya amarah di sorot mata yang terpancar, yang ada kata kata kasar yang ku dengar dan entahlah syetan apa yang sudah merasuki hati mereka. Aku hanya tersungkur menangis dibalik pintu kamar, aku tak mengerti masalah apa yang mereka ributkan, dengan umurku yang masih delapan tahun, hanya satu yang ku harapkan, semoga hujan turun lebih deras lagi, agar mereka tak mendengar suara tangisku, agar aku dapat menangis dibalik hujan.

 

***

Baru saja bus jurusan Yogya—Surabaya menurunkanku, masih kulihat bus itu berlalu dari pandanganku, aku segera berlari mencari tempat untuk berteduh, hujan kini turun cukup deras.

Aku menoleh mengamati sekitarku, semuanya banyak yang berubah, terminal ini … oh, Tuhan … gumamku pelan. Dua puluh tahun sudah berlalu, semuanya selalu terekam di memori burukku dan perlahan aku terhantui oleh bayang-bayang kekecewaan ku pada ibu. Aku menjerit dengan tangis kencangku melepaskan genggaman erat ibu dan adikku yang perlahan melepaskan genggamanku yang berusaha tetap bersama mereka, saat itu hujan turun deras, menyelimuti kabut dihatiku dan menutupi air mata tangisku. Dan Ayah membawaku paksa dengan mata ku yang sembab ketempat baru yang tak pernah ku tahu sebelumnya.

Kalau bukan karna Proyek kantor yang harus ku selesaikan, juga dorongan perasaan bersalahku yang diam diam menyelinap di relung hati ku entah mengapa,mungkin aku tak akan pernah datang kembali ketempat ini, itu hanya akan mengingatkanku pada masa itu, masa yang selalu ku redam dan kukubur, namun nyatanya bayangannya semakin jelas.

***

 

“Hujan cukup deras,” ujarku dengan nada rendah, sembari menghampiri laki laki berkemeja dengan warna dasi senada, ia hanya menoleh, entah mendengar atau tidak apa yang ku ucapkan, lalu aku duduk di kursi sampingnya.

Semua terasa dingin, entah karna hawa saat hujan atau karena kami memang tidak saling mengenal.

“Iya Bu, akhir-akhir ini hujan turun tak terjadwal. Apa memang kini sudah masuk waktu hujan?” Ia menyambung ucapanku dengan sedikit senyum tertoreh di ujung bibirnya.

“Tidak, pak, hujan tidak terjadwal, maka kapanpun Allah inginkan, maka hujan akan turun,” jawabku dengan nada santai.

“Ngomong-ngomong, dari mana dan mau kemana, Pak?” lanjutku membuka perkenalaan.

“Dari tempat kerja, mau pulang,” jawabnya ramah,

“oh … kerja di mana, Pak?”

“Kerja di proyek, sebelah situ,” jawabnya dengan sambil menunjuk.

Kami memulai banyak percakapan.
Tak berselang berapa lama, seorang laki laki dengan kaos dan celana jeans pendek lengkap dengan ransel yang sepertinya penuh terisi barang datang dan duduk disebelah laki laki yang ku ajak bicara tadi. ia terlihat basah karna menerobos hujan. Sedikit-sedikit aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan, dengan ekspresi muka yang serius membuatku penasaran.dalam sekejap aku terhenyak mendengar penuturan laki laki yang baru saja datang dengan apa yang ia katakan, seolah petir kini menyambar hatiku, seolah aku kini berada di titik terrendah salju, badanku terasa dingin, lebih dingin dari apa yang kurasakan sebelumnya.

Apa ini aku? Aku yang ada didalam cerita laki laki yang duduk di kursi itu?masa lampauku kah yang sedang ia ceritakan?masa yang diam diam sedang kucari dan kutelusuri arusnya, meski kadang aku ingin menghindar, dan tempat ini, tempat dimana 20 tahun sudah aku meninggalkannya karna suatu alasan yang tak ku tahu jelas.

***

Aldo, ya laki laki yang baru saja datang itu Aldo adikku, aku tak mengenalinya, ia banyak berubah, begitupula sebaliknya, ia tak mengenaliku. Ia bercerita banyak, aku hanya diam lebih senang mendengarkannya bercerita, terbesit rasa kecewa diraut mukanya padaku, aku tak ayal begitu, pembicaraan terputus Setelah sebuah bus jurusan Surabaya melintas, kami naik juga pria yang ku ajak berbincang awal pertama aku duduk dikursi terminal. Kami duduk bersebelahan, aku memilih sebelah jendela, dan Aldo mempersilahkanku, ia tersenyum seraya berkata,

”Masih senang duduk di samping jendela, ‘kan?”

Aku hanya tersenyum dan bergumam dalam hati, Aldo masih tau kebiasaanku.
Aku baru tahu ibu parah lebih dari apa yang kubayangkan. Aku yang menaruh kekecewaan padanya karna ia tega melepasknaku dan memisahkan aku dengan Aldo.

“Ibu sakit parah, Kak …,” omongan Aldo terpotong sejenak. Aku menoleh ke arahnya, ia masih saja diam. “Ibu menyuruh ku mencari kabar kakak, namun hasilnya nihil, aku sudah mendatangi alamat seperti yang ibu tuliskan, namun hasilnya kakak sudah lama pindah, apa kakak tak pernah mencari kami?” Ia sperti menyembunyikan kesal di hati.

“ aku memang salah, Al. Aku berpikir, setelah saat itu ibu membenciku. Mungkin kamu juga begitu, hingga aku harus dipisahkan, dan ibu lebih memilih kamu, aku terlalu egois ….”

“Lalu, apa maksud kakak datang ke Surabaya?”

“Dua puluh tahun berpisah dengan seorang wanita yang mengandungku juga adik yang menjadi sandaranku, bukanlah hal mudah, apapun yang telah terjadi selama ini sujujurnya telah lama menghantui, tak bisa dipungkiri memang, kebencianku harusnya bisa ku redam dengan lebih mengerti keadaan saat itu, aku ke sini mencari kalian, aku tak bisa bohong dengan perasaan ini”

“Bagaimana dengan ayah?” Ia menanyakannya walau dalam raut wajahnya tak terlalu antusias.

“Ayah pergi ke luar kota beberapa bulan setelah kita berpisah, dan entahlah hingga saat ini aku kehilangan kabarnya, hanya sepucuk surat yang ku terima sebulan setelah kepergiannya, dan aku diasuh oleh seorang wanita yang menemukanku di halte, saat menunggu ayah, yang juga kebetulan ia tak dikaruniai anak.”

Sebuah linangan yang tak bisa terbendung lagi, aku menangis deras.

“Setiap hari aku menunggu ayah, namun ayah tak pernah pulang. Harapanku semakain memudar. Kebencianku semakin memuncak tatkala aku mengingatkau bersama ibu, dan aku berpikir kau mendapatkan seperuh cinta orang tua, sedang aku tak memilikinya sedikitpun.” Tangannya mengelus punggungku, ia menenangkanku.

“Maafkan aku, kak. “

“Aku juga ….”

Kilatan petir sesekali masih menyambar, sisa-sisa hujan masih terlihat jelas, genangan genangan di bibir jalan hampir memenuhi setiap jalan yang kususuri. Hari sudah sore, adzan ashar terdengar saut sautan di surau atau masjid masjid. Bus berhenti di pemberhentian, seorang kondektur mempersilahkan penumpang utuk sholat atau istirahat sejenak, aku turun disusul Aldo di belakangku, kami sholat berjamaah, lalu membeli dua botol minuman untukku dan Aldo, lalu kembali ke bus meneruskan perjalanan, terdengar teriakan kondektur yang mempersilahkan kami masuk kembali, aku memilih diam, rupanya Aldo juga begitu, setengah jam perjalanan berlalu, kami hanya saling memandangi, atau berbalasan senyum.

“Kakak masih ingat di sini?” Aldo sepertinya ingin membuka percakapan baru.

Aku masih diam, sedang memutar balik dan menangkap maksud yang ia tuju.

“Waktu kakak nangis minta dibelikan boneka beruang, tapi ibu bilang, ‘nanti ya, nak.'”

Ia membuka jalur ingatanku, aku hanya tersenyum, tersipu malu oleh masa laluku.

“Kok kamu malah ngingetin kakak sama hal itu sih?” Aku mencoba tak bernostalgia.

Sedih rasanya merasakan kembali hal yang hilang dari kehidupanku, mengingat hal itu hanya membuatku tercekik oleh perasaan bersalahku.

“Mengapa?”

“Mengapa?”

“Mengapa aku kalah dengan egoku dulu, mungkin bila tidak, aku akan lebih banyak merasakan kasih sayang ibu.” Perasaan bersalahku serta merta menghujamku diam diam.

“Kak ….” Aku menoleh ke arah Aldo
“Andai, ya, kakak menemui ibu jauh lebih awal dari hari ini.”

“Cukup, Aldo. Pernyataanmu hanya akan membunuh perasaanku.”

Aku melihat raut muka kegelisahan si wajahnya, Aldo, maafkan kakak …, lirihku dalam diam. Aku memijit tombol telephon, melihat jam sekarang menunjukan pukul 16.30, aku semakin cemas.

Sebuah dering telephon berbunyi dari hand phone Aldo, aku melirik ke arahnya, sebuah nama tertera di layar telepon.

“Kakak mau ngomong?” Ia menyodorkan hand phone nya kepadaku.

“Tudak, terima kasih. Aku belum siap.”

Ia mengerasakan volume handphone nya, terdengar suara diujung sana, namun aku tidak mengenalinya.

“Maaf, Mas Aldo, aku Ani. Ibu, mas, ibu ….” Suaranya terdengar tergesa-gesa eperti sedang terjadi sesuatu.

“kenapa sama ibu, Ani? Kenapa ibu?” Aldo tak kalah hawatirnya.

“Ibu masuk rumah sakit, ibu kumat, tadi mendadak pingsan.”

“Rumah sakit mana? Aku akan segera kesana.”

“Rumah sakit Suroyo.”

“Oh ya, makasih An, secepatnya aku kesana, sedang dalam perjalanan”
Kecemasan sekarang melanda wajah kami berdua.

“Sejak kapan ibu sakit?” Memberanikan diri bertanya padanya.

“Sejak Ayah dan kakak pergi, sejak itulah ibu mulai sakit sakitan.”

Muka cemas bercampur kecewa menjadi satu, aku tak tau harus bekata apa apa lagi.

Kami telah tiba didepan rumah sakit tempat ibu dirawat. Langkahku terasa gontai, cemas, haru, bahagia, entahlah apa yang sebenarnya ku rasa.
Kami menuju bagian informasi, menanyakan kamar ibu, dan bergegas kesana.

Ibu masih dalam pemeriksaan Dokter, ia bahkan belum sadarkan diri,
Aku hanya bisa menunggu, berdoa, dan berharap sebuah kehidupan baru akan dimulai.

Aldo masih berbincang dengan seorang wanita, mungkin itu wanita tadi yang berbicara di handphone. Dokter keluar, aku menghampirinya.

“Ibu Anda perlu isirahat untuk sementara ini, mungkin dengan istirahat yang baik akan cepat memulihkannya. Sekarang anda boleh masuk.”

“Iya Dok, terima kasih.”

Aku dan Aldo masuk, disusul wanita itu, wajah yang samar samar berubah, terlihat lebih banyak lipatan keriput di raut wajahnya yang masih sama.
Wanita yang 20 tahun lalu masih mendekapku, membuatkanku susu hangat, menceritakanku dongeng dongeng penghantar tidur.

Sekarang ia di depanku, sedang berjuang melawan sakitnya, aku yang sekarang memeluknya, membisikan cerita, memegang tangannya seraya berharap ia merasakan kedekatan seperti yang hatiku rasakan. Perlahan matanya terbuka, butiran air mata mengalir, aku mengusapnya pelan.

“Jangan, nak, jangan usap air mata ini, ini tanda kebahagiaanku menemukanmu yang telah lama pergi. Ibu mendengar bisikanmu.”

Semuanya terasa hening, tak ada yang berbicara, hanya isak yang sesekali terdengar.

“Ibu rindu kamu, Khalisa Putri Ayunda. Kamu telah tumbuh menjadi wanita dewasa.kamu sangat cantik, nak.” Peganganku semakin erat pada tangan ibu, aku tak ingin terlepas sepertihalnya dua puluh tahun lalu.

“Ibu senang kamu di sini. Dengar, Ayu, Aldo lah yang akan menjadi pahlawanmu kelak. Kamu ingat kata-kata ibu, saat ibu menasihatimu karena kamu bertengkar dengan Aldo?” Suaranya terdengar samar, pelan dan sangat menghanyutkan.

Entah air mata apa yang sebenarnya mengalir deras dipipiku, namun aku sangat ingin saat saat seperti ini lama kurasakan, mungkin sampai kapanpun.
Aku hanya mendengarnya, hanya ingin lebih banyak menengar nasehat nasehatnya yang lama kurindukan.
kumandang adzan maghrib terdengar jelas, seperti halnya kasih sayang ibu yang sangat jelas terasa saat ini.

Akupun salat, bermunajat pada sang Rabb….mengharap kesehatan ibu membaik, namun, nyatanya ….
Ibu memanggilku, suaranya parau jauh dari sebelumnya, dadanya terlihat sesak, aku meminta Aldo memanggil Dokter, dan saat saat inilah saat yang tak ingin kurasakan untuk kedua kalinya, kehilangan ibu ….

Aku memegangi tangan ibu. Ia memintaku menuntunnya mengucap kalimat syahadat. Tangisku membuncah, persis seperti dua puluh tahun lalu.

“Jaga dirimu dan adikmu. Jadilah anak sholeh dan sholihah.”

Aku hanya mengangguk, dengan wajah penuh tangis. Aldo dan seorang dokter datang. Ibu menolak untuk diperiksa.
Kami sama-sama berpelukan, saling memegang erat tangan.

“Ikhlaskan ibu.”

Kami mengangguk, tenggelamdalm tangis, perlahan mata ibu terpejam, nafasnya terengah dan perlahan hilang.
Aku memegang nadinya, sudah tak ada denyutan.

“Rabb, aku ikhlas. Berikanlah ibu tempat di sisi-MU, dalam surga-MU ….”

****

 

Cerpen oleh Selvi Rosianingsih, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), semester 5.

Leave a Reply