Teng-Teng, Kelon-Kelon

“Kelonteng-kelonteng”
Nada itulah yang selalu membagunkanku di pagi hari. Setidaknya dari kecil, sebelum tahu kapan waktu sekolah, hingga tahu jika bunyi itu selalu muncul tiap jam enam pagi. Waktu di mana suara dari penjual susu sapi menjajakan minuman sehat untuk anak sekolah.

“Kelonteng-kelonteng”
Barangkali nada itu terdengar lebih keras dibanding nada yang sama dibunyikan sapi milik tetanggaku. Setiap kali mendengarnya di pagi hari, aku akan segera bangun dan mandi untuk berangkat sekolah. Berbeda dengan waktu sore hari ketika aku bermain dengan kawan-kawan ke kandang sapi tetangga. Walaupun jarak kandang jauh dari rumah namun, jika kudekati hingga menyentuh tanduk sapi pun baru terdengar suara itu. Dan masih tetap saja lebih lirih dibanding suara penjual susu.

“Kelonteng-kelonteng”
Apakah Pak Sabar bisa membunyikannya lebih keras atau bagaimana? Dari dalam kamarku, bunyi itu selalu membangunkan. Atau jangan-jangan karena bahan lonceng yang dipakainya? Atau ukurannya? Rasanya tak mungkin, karena sepandang penglihatanku ukuran dan warnanya sama saja.

“Kelonteng-kelonteng”
Rasa penasaranku terhadap bunyi itu tumbuh setelah aku cinta terhadap bunyinya. Aku tak bisa menanyai Pak Sabar, aku terlalu malu dengan perasaan bodoh ini. Serupa malu terhadap perasaan cinta bodoh orang dewasa. Pasti malu menanyakannya secara langsung. Tetapi, aku rasa hanya mencintai bunyinya saja, aku sendiri jarang membeli susu sapi Pak Sabar.

“Kelonteng-kelonteng”

Jika terdengar bunyi seperti itu, ibu jarang sekali membeli susu sapinya Pak Sabar. Karena aku sendiri tak suka dengan rasa susu sapi murni. Rasanya membuat aku mual dan pusing. Aku lebih suka dengan rasa susu kental manis. Lagi pula, ibu juga tak punya banyak uang untuk membelikan susu setiap hari untuk anak-anaknya. Walaupun katanya susu bisa membuat cerdas, tapi rasanya peringkatku dan kakak-kakakku baik-baik saja. Tiap kali ada uang lebih dan ibu membeli susu sapi, aku hanya akan meminumnya sedikit saja, kemudian sisanya dihabiskan oleh kakakku yang punya jatah tersendiri.

Kata ibu, cukup disayangkan aku tak begitu menyukai susu sapi, dahulu hingga sekarang. Padahal anak Pak Sabar cantik sekali. Keluarga kami biasa membuat gurauan jika menyukai makanan tertentu maka nikahi saja pedagangnya atau salah satu keluarganya. Biar tak perlu repot lagi jika mau minta makan enak-enak, katanya. Yah, begitulah yang terjadi pada ibu ketika menikahi bapak sang pembuat kerupuk, hahaha. Tapi bapak sendiri menikahi ibu, aku tidak tahu.

Hingga aku besar pun aku tak berani menanyakan masalah percintaan kedua orang tuaku. Rasanya apa yang mereka sering ceritakan sendiri sudah cukup. Termasuk masalah menyuruhku mencari pasangan yang sesuai makanan kesukaanku. Padahal maksud mereka adalah memaksaku supaya suka minum susu sapi dengan tujuan menikahi anak Pak Sabar.

Tanpa orang tuaku suruh untuk suka susu sapi saja, sebenarnya aku sudah suka juga terhadap anak Pak Sabar. Wajahnya memang cantik dibanding gadis desa lain. Namun, aku tumbuh jadi pemuda pemalu. Jangankan berbicara dengan anak gadisnya, berbicara dengan bapaknya untuk menanyakan hal yang paling aku cintai sejak kecil saja, aku tidak pernah bisa. Lonceng-lonceng itu menjadi pembangun mimpiku sewaktu kecil. Ketika aku besar, lonceng-lonceng Pak Sabar mengingatkanku kepada anak gadisnya pula.

“Teng-teng”
Itulah bunyi dari peronda setiap kali pukul dua dini hari. Kalau tidak malas, aku akan bangun dan salat malam. Peronda biasanya memukul tiang listrik sebanyak pukul jam yang dimaksud. Tetapi, ada juga bunyi “teng-teng” lain yang dibuat seseorang. Dia adalah seprang perjaka tua yang tak kawin-kawin. Umurnya mungkin sudah 30-an sejak aku masih SD. Hingga aku bekerja, dia belum juga kawin.

“Teng-teng”
Perjaka tua itu hobi sekali membunyikan tiang listrik setelah para peronda pulang setelah pukul dua dini hari. Rasanya, dia tak perlu khawatir esok pagi tak bangun karena diriya sendiri pengangguran. Pekerjaannya hanyalah pembersih mushola, dan diberi makan oleh Pak RT atau remaja masjid. Dari kenalannya remaja masjid itu, sudah sejak lama dia akan dijodohkan dengan sembarang gadis dari mana. Namun, dia selalu menolaknya, atau belum sanggup membiayai nikahnya sendiri. Padahal jika mau, dia tinggal menikah di mushola yang biasa dia bersihkan.
Setelah aku dewasa dan rajin berkumpul dengan remaja masjid. Baru aku tahu sebuah gosip tentang perjaka tua itu, kenapa dia tak mau kawin. Katanya, dia sangat menyukai makanan tape singkong. Ibuku dahulu pernah berdagang tape singkong sebelum menikah dengan bapak, dan menjadi ibu rumah tangga biasa yang membersihkan rumah. Benar saja, perjaka itu suka pada ibu karena dia menyukai tape singkong.

“Teng-teng”
Bunyi tiang listrik yang dibunyikannya pada dini hari. Katanya untuk mengganggu perkelonan orang tuaku. Aku heran dan kaget, mengapa para remaja masjid ini sampai punya pemikiran seperti itu?

Cerpen oleh Wildan Ghufron, Mahasiswa PBSI UAD angkatan 2017.

Leave a Reply