Hidup (kadang) Begitu Buruk dan Kita Tak Boleh Terpuruk

Ilustrasi dari Wildan Ghufron

 

Orang-orang Aceh yang Luar Biasa salah satu judul bab dalam sehimpun reportase Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam tulisan Rusdi Mathari. Bab itu berisi catatan reportase Rusdi Mathari mengunjungi Aceh setelah dilanda gempa.

Tiga anak lelakinya yang berusia 10, 8, dan 5 tahun, hilang ditelan ombak tsunami. Petaka yang sempat membuat Dina dan suaminya hilang harapan. (hlm 185)

Saya juga menjumpai Husaini yang tinggal di Lamteungoh, Aceh Besar. Sarjana pertanian itu sempat putus asa, karena kehilangan semua orang-orang yang dicintai dan mencintainya: ibu, tiga saudara laki-laki, istri dan anaknya yang baru berusia 2 tahun. (hlm 187)

Di Meuraxa, Banda Aceh, Firman menjumpai saya dengan senyum. Dia baru kelas dua SMU dan sudah tidak memiliki siapapun: semua saudaranya, dan kedua orang tuanya hilang ditelan air, di depan matanya. Dia kini aktif berlatih musik bersama teman-temannya di Meuraxa, tapi Firman tak tahu siapa yang akan membiayai hidupnya. (hml 189)

Tiga penggal kisah di atas yang dikutip menggambarkan penderitaan paling paripurna manusia. Bisa kita bayangkan bersama, betapa mengerikannya kehilangan orang-orang yang kita cintai. Kehilangan semua anak-anak yang masih lucu-lucu, kehilangan orang tua dan saudara yang disayangi. Orang-orang itu lenyap disapu ombak tanpa pernah ditemukan jasadnya. Mereka yang kehilangan dan ditinggalkan, jatuh pada keputusasaan yang dalam.

Husaini misalnya, hampir tiga bulan tidak melakukan pekerjaan apapun termasuk membangun kembali rumahnya. Setelah itu ia bangkit lagi dengan orang-orang bernasib sama. Dina mengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah. Firman, meskipun masa depannya gamang tanpa orang tua, tetap giat berlatih musik.
Kelas tiga SMA, seorang teman laki-laki meninggal dunia karena kecelakaan motor. Saat melayat ke rumah, ibunya tak henti-henti menangis dan memeluk saya. Ia begitu kehilangan putranya yang sedang gagah dan disayang. Tapi apa daya, tangan maut menggenggamnya lebih erat. Setelah putranya dimakamkan, beberapa bulan si ibu sering melamun, tubuhnya yang semula tambun lambat laun kurus.
Kadang nasib buruk datang begitu cepat dan melahap tanpa sisa. Menjelma apa saja, juga api. Seorang teman semasa kuliah terkena musibah kebakaran. Rumah serta harta benda ludes dilalap jago merah. Rumah yang selama ini menjadi tempat bernaung dari panas, berlindung dari hujan, tempat bercengkerama hangat dengan kerabat, tinggal arang dan kenangan.

Nasib buruk kadang menyapa dengan rupa lain, penyakit. Mendiang Rusdi Mathari misalnya, didera tumor yang bersemayam di punggung dan lehernya. Sebelum kematian menjabat tangannya, hampir tiga bulan ia menghabiskan waktu di rumah sakit. Meskipun menahan nyeri yang luar biasa pasca operasi, Cak Rusdi, panggilan akrabnya tetap menulis untuk bertahan hidup dan menafkahi keluarganya. Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik, ungkapnya di buku Seperti Roda Berputar, Catatan di Rumah Sakit (2018).

Kisah-kisah yang (lebih) buruk banyak berserakan di luar sana, di belahan dunia yang lain, mereka yang dilanda perang dan bencana. Hal tersebut kadang terjadi di sekitar kita, kadang menimpa kita sendiri. Mengutuki nasib (mungkin) bukanlah tindakan yang arif, sebab itu tidak mengubah keadaan sedikit pun. Pasrah tanpa melakukan apapun juga bukan tindakan bijaksana. Bangkit lagi, mengikhlaskan yang pergi dan hilang, serta mensyukuri apa yang masih tersisa. Karena hidup (kadang) begitu buruk dan kita tak boleh terpuruk.

Jemi Ilham, bukan anggota DPR.
Kotagede, 10-8-2019, 02.00 dini hari.

Leave a Reply