“Apa benar itu bu?”, tanyaku heran.
Duduk seorang wanita tua renta berlapis mukena putih polos diatas lipan yang rapuh, air mata itu turun tak tahu kapan ia berhenti. Aku yang hanya memandangi Ibu dengan wajah keheranan dan berharap pertanyaan itu akan dijawabnya. Tapi hanya air mata yang terus menerus memahat lipan sembari ia hapus dengan tangan keriputnya.
“Mengapa ayah begitu pada Ibu, atau ayah memang tidak sayang lagi pada kita?” Aku tahu pertanyaan itu berat untuk Ibu jawab tetapi rasa ingin tahuku tentang perlakuan ayah selama ini yang tidakku ketahui saat itu mengisi setiap sudut otakku. Aku harus tahu apa yang dialami Ibu selama ini saat aku sedang tidak bersamanya.
Saatku sodori berbagai pertanyaan yang tak lazim ditanyakan anak usia 9 tahun saat itu pada Ibunya. Ibu hanya berucap kalimat yang sampai saat ini masih terngiang di kepalaku.
“Diana, ayah telah bahagia bersama wanita pilihannya, Diana sama Ibu saja ya”, jawab ibu sambil mengusap pipiku yang telah berlumuran air mata.
10 tahun berlalu, aku yang telah beranjak dewasa dan didewasakan oleh keadaan dimana keluarga yang awalnya harmonis, tak ada kegaduhan hampir 8 tahun lamanya, kini berubah 180 derajat menjadi sebuah keluarga tidak sehat, teriakan dan tangisan Ibu hampir setiap hari memenuhi telingaku karena seorang laki-laki kasar yang pulang hanya ingin meminta uang untuk berjudi, jika keinginannya tidak dipenuhi segala peralatan dapur habis menjadi pelampiasannya. Apa ia masih layak aku panggil ayah?
Tiba pada saat hari bahagiaku bersama Dhimas, ya kami akan menikah. Hari yang kutunggu-tunggu bersamanya telah tiba, lelaki tinggi gagah yang sebentar lagi akan berdiri di depanku setiap salat, lelaki yang sangat kuharapkan tidak akan seperti ayahku. Ah sudahlah ku sangat membencinya dan akan selalu membencinya.
“Undangannya sudah kusebar semua”, ucapku dilapisi senyum tipis sambil memegangi tangannya.
“Kamu yakin sudah semua?”, balasnya sambil menyodori sebuah undangan rapi terbungkus plastik bening.
Wajahku yang tadinya tersenyum dengan mata berbinar berubah menjadi terheran-heran dengan mengerutkan dahi siapa nama yang dituju untuk undangan pernikahan kita.
“Ayah, kamu gila ya, aku tidak akan mengundangnya apalagi bertatap muka dengannya”, protesku.
“Diana, dia tetap ayahmu, walaupun selama ini ia jahat dan tidak memperdulikanmu dan ibumu dia tetaplah ayahmu, siapa yang akan mewalikanmu besok kalau bukan ayahmu Dia?”, tuturnya yang berusaha meyakinkanmu sembari memegang erat tanganku.
“Pokoknya aku tetap gamau, om ku bisa mewakiliku dan dia tidak ada masalah. Aku tidak ingin melihat wajahnya walau hanya sedetikpun”, jawabku dengan air mata yang tertahan untuk jatuh.
“Hhhmmm“, Dhimas menghela nafas dengan melepaskan genggamannya.
Hari terus berganti dan terus mendekati hari pernikahanku, aku masih memikirkan perintah Dhimas untuk mengundang ayahku, bimbang diselimuti perasaan takut jika aku mengundangnya apakah pernikahanku akan berjalan lancar atau tidak. Dengan memilih solusi untukku serahkan semua pada Tuhan dengan bersujud disepertiga malam ku memohon diberikan jalan terang atas segala kebimbanganku ini.
Langit cerah dihiasi awan-awan kecil yang dibarengi dengan angin semilir memberikan kepastian bahwa hari ini akan berjalan lancar sampai prosesi resepsi selesai.
Wanita yang telah berdanda cantik dengan kebaya kuning keemasannya memandangiku dengan tatapan penuh kasih sayang.
“Diana, anak Ibu satu-satunya, anak kecil yang dulu selalu meminta boneka kalau Ibu pulang kerja, anak kecil yang selalu menolak untuk minum obat, anak Ibu sudah besar sekarang, Ibu bahagia sekali kamu akan menikah”, ucapnya dengan mata berkaca-kaca mengusap pipiku dengan begitu lembut. Usapan ini yang sangat kurindukan dari seorang Ibu. Dengan tersenyum manja menikmati usapan yang begitu menenangkan caraku membalas ucapan Ibu.
Kebaya putih bersih dengan wajah penuh polesan makeup dan rambut disanggul dilengkapi sepatu hak tinggi berlapis kaca aku berjalan tapak demi tapak disandingkan dengan dua orang wanita sebagai pendamping memasuki pelataran masjid yang nantinya menjadi saksi bisu hari bahagia ini. Dengan senyum lebar berjalan membelah para tamu mengisyaratkan akulah permaisuri sehari pada saat itu. Dari kejauhan mata ini disuguhkan seorang pria tampan beebalut jas dan celana putih dibarengi peci memahkotai kepalanya dengan melati mengalungi lehernya duduk bersila ia menyambutku. Wajahku yang membalas sambutan darinya berganti dengan wajah terheran dengan rasa kesal tak tertahankan melihat siapa yang duduk di depannya.
“Ayah?”, tanyaku heran dalam hati yang berkecamuk dengan rasa kesal karena teringat perlakuannya dulu.
Mau tidak mau aku harus terus berjalan mendekatinya dan duduk di depannya. Ahh kesal rasanya hari pernikahanku menjadi tidak sempurna akan kehadirannya. Aku yang hanya terdiam memandangi pria dihadapanku dengan tatapan penuh kekecewaan yang sebentar lagi akan menyebut namaku dalam ucapnya sebagai waliku. Saat mendengar kembali suaranya yang telah lama menghilang dari hidupku hatiku hancur berkeping-keping tak kuat ku menahan air mata ini. Pria yang dengan lantang mengucapkan kalimat saya nikahkan anda dengan putri saya tersebut membuat dadaku nyeri hebat serasa jantung yang diiris oleh pisau berkarat mengisyaratakan perasaanku saat itu, inginku memeluknya erat menghilangkan ingatan bahwa ialah penyebab keluargaku berantakan. Aku baru tersadar bahwa ia tetaplah ayahku, darah dagingnya mengalir disetiap darahku.
“Sah?”, seorang saksi bertanya dan mengisyaratkan bahwa ijab qabul berjalan lancar.
“Saaahhh“, semua tamu undangan lantang menyebutnya dilanjutkan dengan pelafalan Al-Fatihah.
Air mataku jatuh tak tertahankan bergegas ku bangkit dari posisiku menuju ayah yang sedarj tadi tak berani menatap mataku, kupeluk tubuhnya erat yang besar dan gagah, kuingin melepas rinduku selama 10 taun lebih ini tidak bertemu apalagi memeluknya seerat ini.
“Maafkan ayah Diana, maafkan ayahh”, dengan berbisik dan nada yang tersengguk-sengguk ia membalas pelukanku saat itu.
Seorang pria yang selalu ku cap sebagai pria biadab, kerjaannya hanya berjudi dan mabuk-mabukkan, yang selalu menjadi sebab gambaran tangan di pipi Ibu dan hampir membunuhnya dengan tangan kosongnya, segala perlakuan itu luntur sudah dengan kewajibannya untuk mewakilkan di hari pernikahan anaknya. Ialah seorang ayah dengan segala dosanya ia tetap ingin menghadiri hari bahagiaku. Dengan menoleh ke sudut kiri dimana korban atas kejahatannya selama ini tersenyum manis dengan mata yang tak dapat berbohong bahwa masih ada cinta di dalam dirinya.
Sekejap ayah menghampiri ibu dan langsung bersujud di hadapannya. Tumpahlah segala air mata yang tak terbendungkan selama ini, kesakitan, cacian, tuduhan dan amarah yang selalu ditimpakan padanya gugur sudah saat ayah mengucapkan kata maaf beribu-ribu kali.
“Saya telah memaafkanmu mas”, jawab Ibu dengan suara lirih tapi begitu menusuk hati.
Penulis: Ayu Hildiawati G., mahasiswi semester 2 PBSI UAD