Cerpen: Senyum yang Sempat Hilang

Namaku Rain, aku terlahir di keluarga sederhana, penuh dengan serba kecukupan. Namun meskipun begitu aku bahagia karena masih dapat melihat senyum manis kedua orang tuaku.

Malam ini seperti biasa aku melihat ibu dan ayah tertawa gembira di depan televisi. Aku menelan ludah, rasa takut tiba-tiba menghampiriku, pikiran-pikiran negatif terus melayang dalam otakku, seketika itu aku pun ragu untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku mencoba menepis semua itu, berhasil. Aku berjalan menghampiri mereka yang masih sibuk dengan tontonannya.

“Ibu, ayah”, sapaku sembari melemparkan senyum termanisku.

“Ya, kenapa sayang?”, tanya wanita paruh baya yang duduk di sebelahku. Dia adalah ibuku.

“Teman-temanku memakai motor ke sekolah bu, ada juga yang diantar ayahnya pakai mobil.”

Seketika itu ayah melirikku sebentar lalu fokus lagi melihat televisi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kami.

“Wajarlah nak, teman-temanmu kan anak kaya. Kamu jangan menyamakan mereka dengan kita”, jawab ayah.

Ucapan ayah benar, level antara aku dan mereka jauh berbeda. Mereka anak berada dan aku kebalikan dari mereka.

***

Sore ini aku pulang sekolah dengan muka lesu, lebih lesu dari biasanya. Rasa iri dalam diriku benar-benar sudah membuat hidupku tidak tenang. Bagaimana aku tidak iri, murid yang rumahnya dekat saja memakai motor ke sekolah sedangkan aku yang rumahnya jauh jalan kaki.

Aku mencari sepasang suami istri pemilik rumah kecil yang hanya bisa ditempati tiga orang, siapa lagi jika bukan ibu dan ayahku. Aku melihatnya sedang membuat adonan kue di dapur.

“Rain ayo kemari bantu ibu!”, perintah ibu begitu menyadari keberadaanku. Aku menghela nafas berat, mengikuti suruhannya.

“Ibu aku mau dibelikan motor”, pintaku. Kedua orang yang sedang membuat adonan itu syok mendengar perkataanku.

“Nak, ibu tidak punya uang belasan juta buat belikan kamu motor, syukur saja kita bisa makan.”

“Bu, aku tuh capek jalan kaki tiap hari. Aku harus ke sekolah pagi-pagi biar tidak telat. Aku tidak pernah sarapan karena hal itu, jadi aku tiap hari belajar dengan perut kosong bu.”

“Nak, ayah ada sedikit tabungan, tapi tidak cukup buat beli motor. Bagaimana kalau sepeda saja?”, balas ayah. Dia menatapku dengan penuh harapan dan aku menghancurkan harapannya itu.

“Ayah, jalan kaki sama naik sepeda itu sama saja. Lebih baik tidak usah, aku juga akan tetap capek.”

“Nak, kamu tahu kan ayah sama ibu mati-matian cari uang buat menyekolahkanmu, belum makan, belum uang jajanmu. Kamu tidak memikirkan itu?.”

“Aku tahu, aku tahu ayah, tapi ayah juga harus mengerti dengan kebutuhan Rain. Jika ayah sama ibu mengerti sama kebutuhan Rain, ayah sama ibu pasti akan lebih giat kerjanya buat memenuhi kebutuhan Rain.”

“Nak kamu tidak boleh memikirkan diri kamu sendiri. Bukannya ibu dan ayah tidak peduli dengan kebutuhan kamu, tetapi mau gimana lagi?.”

“Aaah, terserah deh. Kalian tidak pernah mengerti perasaanku”, sambarku memotong ucapan ibu dan beranjak pergi meninggalkan sepasang suami istri yang terlihat seperti orang yang sudah lama mengkhawatirkan hal itu.

***

Seperti biasanya, aku selalu mengeluh setiap kali aku pulang sekolah. Aku ingin mereka mengerti betapa lelahnya jalan di bawah sinar matahari, aku ingin ibu tahu bagaimana perasaanku. Begitulah caraku agar mereka mengusahakan untuk membelikan ku motor. Aku menuntut semuanya tanpa memikirkan perasaan mereka juga.

Seminggu pun berlalu, aku jarang bertemu dengan ibu dan ayah, seperti yang aku dengar dari tetangga-tetanggaku orang tuaku bekerja sampai larut malam. Mereka benar-benar bekerja sangat giat demi memenuhi kebutuhanku. Hal tersebut telah mengubah segalanya. Yang dulunya setiap kali pulang sekolah orang tuaku selalu menyambutku dengan senyum manisnya. Rumahku yang dulunya hangat dengan canda tawa kini sepi seperti tidak berpenghuni, dan aku jarang bercerita panjang lebar seperti biasanya.

Aku telah merenggut senyum kedua orang tuaku. Aku menyesal telah meminta benda yang harganya belasan juta itu.

Malam ini aku berniat tidur bersama ibu dan ayah. Aku membuka gagang pintu kamar ibu, ku dapati mereka baru saja ingin memejamkan mata.

“Aku tidak bisa tidur”, ucapku. Lalu tanpa diperintahkan aku tidur di tengah-tengah mereka.

“Ibu ayah Rain minta maaf telah memaksa kalian buat belikan Rain motor. Rain tidak mau motor lagi yah, Rain mau yang lain.”

Ibu dan ayah serempak melihatku.

“Rain mau sepeda”, lanjutku.

“Kenapa? Bukannya kemarin kamu bilang tidak mau sepeda?”, tanya ayah.

“Itu kan kemarin, sekarang aku mau sepeda yah. Memakai sepeda aku bisa menikmati segarnya udara di pagi hari dan itu pastinya sangat menyenangkan. Terus motor juga tidak bisa masuk gang kecil sedangkan sepeda bisa. Lewat jalan raya kan banyak lampu merah, kalau pakai sepeda bisa lewat gang dan lebih cepat sampai sekolah. Makanya aku mau sepeda”, jelasku panjang lebar menjadi menutup obrolan kami malam ini.

***

Keesokan harinya aku dikejutkan dengan sebuah sepeda dengan desain sangat sederhana namun cantik, terdapat keranjang di bagian depannya, dihias dua pasang rem Alloy V-brake. Aku tercengang melihat sepeda berwarna oranye yang terparkir di halaman rumah. Aku menemukan secarik kertas bertulisan “Selamat ulang tahun Raina Novira, semoga menjadi anak yang berbakti ya sayang”. Aku sangat terharu membaca isi tulisan itu.

Aku sadar, memiliki segalanya tidak akan berarti tanpa cinta orang tua terhadap anaknya. Jika harta bisa dibeli, lalu kebahagiaan dapat kita cari dengan hal-hal sederhana.

Penulis: Menila Ayu S. (mahasiswa semester 2 PBSI UAD)

Leave a Reply