Resensi Novel Gadis Pantai

Judul buku   : Gadis Pantai
Penulis          : Pramoedya Ananta Toer
Tebal buku   : 270 halaman
Penerbit        : Lentera Di Pantara
Tahun terbit : 2011

Pramoedya Ananta Toer biasa dipanggil Pram/ Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. Ia pernah belajar di Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta. Pram putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.  Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial sering membuatnya keluar-masuk penjara. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang paling legendaris Bumi Manusia, Aru Balik, Jejak Langkah, Arok Dedes, Larasati,

Novel Gadis Pantai menceritakan seorang gadis pantai yang masih berumur empat belas tahun. Kehidupan sehari-harinya menumbuk udang, dan membenahi jala untuk mencari ikan di laut. Suatu ketika, ada seorang utusan menemui ayah Gadis Pantai karena diutus untuk meminta anaknya dinikahkan dengan Bendoro. Ayah gadis pantai menyetujuinya. Gadis pantai dinikahkan dengan keris karena Bendoro berhalangan hadir. Hari berikutnya, Gadis Pantai diajak ke istana di daerah Jepara dengan pakaian kebaya dan kalung tipis menghiasi lehernya. Gadis Pantai terlihat sangat anggun. Bersama keluarga, lurah kampung, dan sanak saudara, mengendarai dokar yang telah dipesan oleh Bendoro. Setiba di istana, hanya lurah kampung yang diizinkan masuk untuk menemui Bendoro. Setelah keluar, ia meninggalkan Gadis Pantai di istana. Gadis pantai diantarkan ke kamarnya, sedang ayah pulang keesokan hari dan ibunya tinggal beberapa hari.

Ketika berada di istana, Gadis Pantai ditemani oleh bujang paruh baya. Setiap hari ia diajari macam-macam pekerjaan. Ia juga ceritakan dongeng, dan diajari berdandan. Gadis pantai dipanggil dengan sebutan Mas Nganten. Ia mulai terbiasa dengan suasana istana yang sepi dan hanya melakukan kegiatan mengaji, mengecek keadaan dapur, berdandan dan melayani Bendoro ketika pulang. Bujang yang biasa menemaninya harus pergi meninggalkan istana akibat ada suatu kejadian di istana. Mas Nganten merasa sedih, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Bendoro. Pengganti bujang adalah Mardinah, dipilih oleh Bendoro karena mereka masih memiliki hubungan kekerabatan. Mas nganten diberi izin oleh bendoro untuk menjenguk keluarganya yang berada dipinggir pantai. Ia diantar menggunakan dokar ditemani oleh Mardinah. Setiba di rumah, Mas Nganten disambut dengan  meriah oleh warga. Mereka makan bersama menggunakan bahan-bahan yang telah dibawa oleh Mas Nganten.

Mardinah merasa tidak suka berada di rumah Mas Nganten. Mereka akhirnya pulang. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba ada seseorang yang mencoba untuk membunuh Mas Nganten. Orang itu tertangkap. Adalah Mardikun, pria asal Demak sama seperti Mardinah. Warga pinggir pantai n menaruh curiga atas Mardinah. Hari berikutya, Mardinah bersama empat bujang di istana datang dengan membawa surat yang menyuruh Mas Nganten supaya pulang. Warga tidak langsung percaya. Mereka menyelidiki dan diusut Mardinah hingga ia mengaku bahwa ia sebenarnya diutus untuk membunuh Mas Nganten agar Bendoro segera menikah dengan putri kerajaan Demak. Jika Mardinah berhasil  membunuh Mas Nganten, ia akan dinikahi oleh raja Demak untuk dijadikan istri kelimanya. Warga tidak terima atas apa yang dikatakan Mardinah. Ayah Mas Nganten merasa terkejut dan menyesal karena telah menikahkan putrinya dengan Bendoro. Sebagai hukuman, warga mempertemukan Mardinah dengan si Dul Pendongeng. Tak lama kemudian, Mardinah diperistri oleh si Dul. Setelah menikah, si Dul tak mau lagi unuk mendongeng.

Hari selanjutnya, Mas Nganten diantar pulang dengan dokar ke istana. Ia mulai melakukan kegiatan seperti biasanya. Mas Nganten akhirnya hamil. Ia merasa senang karena telah memberikan keturunan kepada Bendoro. Ia melahirkan anak perempuan yang cantik. Namun, beberapa minggu setelahnya, diutus oleh Bendoro untuk datang ke istana. Ayah Mas Nganten terkejut dan senang melihat putrinya telah melahirkan cucunya. Tak disangka, ternyata kehadiran sang ayah di istana untuk membawa Mas Nganten pulang. Mereka diberi pesangon uang dan barang-barang yang telah diberikan Bendoro kepada Mas Nganten. Mas nganten memohon kepada Bendoro agar diizinkan membaya putrinya. Tentu saja Bendoro menomam. Ditemani ayahnya, Mas Nganten pulang menggunkan dokar yang telah disiapkan. Sang ayah memberinya menenangkan anaknya supaya tidak bersedih. Belum sampai rumah, Gadis Pantai memohon pamit kepada ayahnya untuk pergi ke Blora, menemui bujangnya yang dulu pernah diusir dari istana. Ia merasa malu jika harus kembali ke kampung halamannya. Hari-hari terlewati, Gadis Pantai hanya bisa melihat istana dari kejauhan.

Kelebihan buku ini adalah bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti dan memberikan ilmu bahwa dulu, seorang priyayi dapat menikah terlebih dahulu dengan  wanita-wanita yang tidak sederajat. Kekurangan novel ini ialah kalimat yang digunakan terlalu monoton dan membuat pembaca merasa kantuk saat membacanya. (Luluk)

Leave a Reply