Memaknai Bulan Bahasa dan Sastra

Waktu seakan terus berlari berpacu setiap hari. Tidak terasa kita sudah sampai di bulan ke sepuluh yaitu bulan Oktober.  Sebagaimana bulan-bulan yang lain ia mempunyai hari-hari penting. Hari Surat-Menyurat Internasional, Hari Kesaktian Pancasila, dan Hari Pos Dunia ialah beberapa contohnya. Selain itu, ada pula hari bersejarah yang juga kita peringati pada bulan ini, yaitu Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini merupakan peringatan Sumpah Pemuda yang ke-93 sejak para pemuda telah mengikrarkan sumpahnya bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa Bangsa Indonesia. Namun nyatanya masih banyak pemuda penerus bangsa ini yang tidak tahu bahkan terlihat acuh bahwa bulan Oktober merupakan Bulan Bahasa, bahkan apa latar belakangnya, meski sejatinya mereka mengetahui hari Sumpah Pemuda.

Bulan Bahasa dan Sastra sendiri sudah berjalan sangat lama. Acara yang bertujuan untuk meningkatkan upaya pemasyarakatan bahasa dan sastra di Indonesia itu diadakan tiap bulan Oktober sejak 1980 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kala itu namanya hanya Bulan Bahasa. Barulah pada 1989 Bulan Bahasa diubah menjadi Bulan Bahasa dan Sastra. Itu berarti nama Bulan Bahasa danSastra sudah digunakan selama 32 tahun. Meskipun demikian, sepertinya kita lebih akrab dengan nama pendeknya saja yakni Bulan Bahasa. Terlebih, beberapa kampus atau sekolah masih menggunakan nama Bulan Bahasa, alih-alih Bulan Bahasa dan Sastra, sebagai sebuah acara akbar. Namun, itu bukan menjadi suatu masalah.

Alasan mereka tidak mengetahui mengenai Bulan Bahasa dan Sastra karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang bulan ini. Satu sisi hal ini memang benar adanya, karena pemerintah sering kali hanya melakukan peringatan secara seremonial pada 28 Oktober berupa upacara bendera di lapangan.

Upacara bukanlah metode yang tepat karena upacara hanyalah sekedar baris yang terjemur di bawah terik matahari dan sering kali tidak diminati para pesertanya. Padahal nilai dan esensi dari Sumpah Pemudalah yang harusnya diresapi dan dijadikan bahan sebagai refleksi kita bersama

Lantas, kita pun bertanya, apa makna dari kegiatan yang sudah berusia 93 tahun itu untuk masa kini? Untuk bias menjawabnya kita sama-sama perlu sedikit menengok situasi kebahasaan dan kesastraan yang terjadi, setidaknya di sekitar kita. Di sekitar tempat tinggal saya sendiri, aktivitas berbahasa dan bersastra sekilas tampak baik-baik saja. Orang-orang memang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan sewajarnya. Namun, pada beberapa kesempatan, saya menemukan problem yang dihadapi sebagian orang, yakni berbicara, khususnya di depan umum. Kata-kata mereka sering kali terjeda. Bukan hanya sekali dua kali. Dalam jeda itu, seperti bentuk filler (em, eh, dsb.) mengisi dengan nada yang tidak pasti. Akhirnya pesan yang ingin disampaikan menjadi kurang baik.

Permasalahan utama dari ketidaktahuan masyarakat mengenai peringatan Bulan Bahasa dan Sastra adalah masih kurangnya acara televisi edukatif maupun rekreatif tentang Bulan Bahasa. Acara seremonial seperti upacara tidaklah efektif, seharusnya pemerintah sadar dan segera bertindak mencari cara lain. Salah satu caranya adalah mengadakan lomba-lomba yang memeringati Bulan Bahasa dan Sastra, misalnya lomba puisi atau cerpen.

Di masa pandemi covid-19 sekarang ini sangat menjamur berbagai lomba guna untuk memperingati Bulan Bahasa dan Sastra. Lomba musikalisasi puisi, menulis cerpen, menulis berita dan menulis puisi bebas adalah beberapa contoh lomba yang bias diikuti oleh mahasiswa maupun masyarakat umum. Bermacam-macam yang mengadakan mulai dari berbagai universitas sampai kedinasan. Tinggal pilih dan tuangkan ide kita pada sebuah tulisan. Ini menurut saya sebagai salah satu wujud merayakan bulan bahasa dan sastra. Tidak hanya itu, kita juga bias untuk turut berpartisipasi untuk melestarikan Bahasa Indonesia sebagai wujud dari bahasa persatuan.

Lalu, ada pula yang memiliki problem dalam membaca atau menulis. Seorang kawan, misalnya, pernah mengeluh kesulitan untuk mengembangkan ide tulisan dan menentukan sambungan antar paragraf. Merasa bingung apa yang akan ditulis setelah paragraph selanjutnya.

Atas permasalahan tersebut, Bulan Bahasa dan Sastra seharusnya dapat menjadi momen yang tepat bagi kita untuk mengembangkan keterampilan bahasa dan memperkaya pengetahuan akan sastra. Kita dapat memulainya dengan menyisihkan waktu lebih lama untuk membaca. Novel-novel Indonesia yang begitu beragam dan menarik sudah siap untuk dijelajahi. Selain itu, kita pun dapat menantang diri sendiri untuk menulis semacam tulisan singkat mengenai bulan bahasa dan sastra di Instagram, Facebook, atau Twitter selama bulan ini. Meskipun sederhana, hal itu akan membuat kita jauh terampil untuk menyajikan suatu topik dalam tiga bagian: pembuka, isi, dan penutup. Dibandingkan hanya berdiam diri dan tidak mau ikut berkontribusi serta berpartisipasi.

Kita juga dapat mengikuti berbagai webinar, seminar bahkan pelatihan untuk melatih kemampuan menyimak, menulis dan membaca. Jika ada kesempatan, kemampuan berbicara juga dapat diasah di sana melalui penyampaian pertanyaan atau pendapat. Di sisi lain, secara pasif, kita bias mempelajari berbagai teknik berbicara melalui video-video yang berkaitan di YouTube.

Pada intinya, Bulan Bahasa dan Sastra tidak boleh hanya dijadikan sebagai “angin lalu”. Yang datang dan diperingati setiap tahun namun, kita tidak paham akan esensi dari bulan bahasa dan sastra itu sendiri. Ini menjadi tugas kita bersama, bukan tugas pemerintah sepenuhnya. Inilah waktu yang tepat untuk menempa diri agar kita dapat mengolah bahasa dengan lebih luwes lagi. Kalau bukan sekarang kapan lagi?. Kalau bukan kita, siapa lagi?

 

Catur Rohmiasih

Terbit di Kedaulatan Rakyat pada Kamis, 28 Oktober 2021

Leave a Reply