Di Jalanan Tak Ada Kemerdekaan

Aku telah lama sekali berpetualang, persis serupa seorang musafir yang terlahirkan hanya untuk menejelajah setiap jengkel jejak di muka bumi. Karena itu, ada banyak hal yang mulai aku ketahui di kehidupan, dan kuduga ada banyak yang disembunyikan orang di luar sana, yaitu mengenai hal yang dirahasiakan di kehidupan ini.

Ada yang menarik perhatianku ketika aku pernah tiba di suatu kota. Dan aku berharap, semoga saja saat itu mataku sedang keliru agar aku tak harus mencungkil mataku sendiri dan menafikan makna tulisan yang menggantung di sebuah papan kayu. Ketika itu, aku menyusuri setiap sudut di perkotaan, lalu mengenali kembali sejarah tentang penamaan jalan. Dan langkahku berhenti di suatu tempat, di sebuah kawasan yang terasa gersang bahkan di malam hari. Aku memastikan sesuatu yang nampak samar, karena cahaya yang menerpa memang sedikit remang. Aku mengusap-ngusap mataku saat itu, meyakinkan apa yang sedang kulihat bukanlah sebuah tulisan kebetulan.

“Jalan Kemerdekaan”. Tulisan itu menggantung di sebuah papan kayu yang nampak kusam. Dengan tiang penyangga yang makin layu, usia cahaya bulan bertambah tua dan tak lagi sanggup menerpanya, namun untuknya selalu ada pengecualian.

Betapa menggelitiknya tulisan yang kusaksikan. Aku merasa bahwa belum ada yang berubah sama sekali di kehidupan ini. Orang-orang bahkan tak tahu cara memberi nama. Aku khawatir jika suatu nanti akan banyak saja orang yang keliru menamai sebuah jalan. Dan aku mulai muak dengan penamaan jalan yang penuh tipuan. “Jalan Kemerdekaan?” Heh, omong kosong macam mana nama seperti itu? Apa ada jalan yang penuh dengan kemerdekan?

***

Disini penuh dengan kesedihan, semuanya terasa sendu di tempat ini. Kisah tragis Yakobus, kucing jalanan yang terbukti telah mati dan mayatnya baru bisa ditemukan hari ini, padahal berita kehilangannya sudah terdengar dua tahun lalu. Yakobus merupakan salah satu penghuni tetap di “Jalan Kemerdekaan” saat itu. Meskipun dia hanyalah kucing liar yang tak memiliki tempat tinggal, dia tetap merupakan bagian penting dari “Jalan Kemerdekaan”.

Semasa hidupnya, setiap hari Yakobus bangun pagi hanya untuk mendapat caci maki, bahkan tidak jarang pula mendapat siksaan setelah mencuri ikan di rumah-rumah tetangga penghuni Jalan Sebelah. Padahal ikan curian itu sama sekali bukan untuknya, melainkan untuk dibagikan kepada anak-anak kecil terlantar yang memegangi perut mereka untuk menahan lapar.

“Ini makanlah nak, tentu saja kalian pasti sangat lapar,” dengan wajah memar akibat habis dilempari batu, Yakobus memberikan ikan goreng yang baru saja dicurinya dengan senyum yang penuh perhatian.

“Wah terima kasih paman kucing, ikan ini sepertinya sangat enak. Kau baik hati sekali paman kucing,” bocah ingusan berkulit hitam yang menerima ikan curian itu, tanpa diperintah pun, dengan gerakan cepat mulai mencubit ikan dan membaginya menjadi beberapa bagian. Tentu saja, satu ekor ikan ini bukan untuk dia seorang, masih ada kawan-kawan lainnya yang harus diisi juga perutnya.

Yakobus memang aneh, meskipun seekor kucing jalanan, dia mampu untuk berbahasa manusia. Padahal tidak ada seseorang yang pernah mengajarinya. Orang-orang yang tinggal di “Jalan Kemerdekaan” tidak pernah juga ingin tahu dengan keahlian Yakobus ini. Mereka sama sekali tidak tertarik, mereka terlalu sibuk untuk mempertahankan hidup mereka masing-masing.

Di Jalan Kemerdekaan, tak ada rasa saling peduli sesama penghuni. Terutama saat keadaan lapar, selagi kebutuhan perut belum terpenuhi, tidak akan ada rasa kasih sayang yang terjalin. Sialnya semua ini terjadi  karena pengklaiman hak milik, sehingga sebagian penghuni harus khawatir ketika tidak memiliki kekuatan untuk mengklaim. Jika saja bukan karena ini, semua orang tua di Jalan Kemerdekaan seharusnya tak perlu lagi bertingkah seperti zombie, kehilangan kesadaran akal sehat, lalu menggila mencari anak-anak mereka sendiri untuk dimakan. Dan setelah perut merasa kenyang, mereka baru berteriak marah, melihat anak-anak yang mereka sayangi sudah tergeletak tak bernyawa dengan bau darah yang masih segar.

“Siapa yang telah membunuh anak-anakku?” teriak mereka begitu marah, setelah melihat anak-anaknya sudah bergeliat di tanah seperti ayam yang baru disembelih.

Perkara kelaparan memang begitu aneh, tak perlu menghitung banyak waktu untuk membuat orang berubah dan menjadi kerasukan. Hal kelaparan seperti ini, bisa dengan seketika menjadikan orang kehilangan kemanusiannya.

Tetapi pernah suatu waktu, ada masalah menggemparkan yang terjadi di Jalan Kemerdekaan. Hal ini terjadi ketika terdengar berita akan adanya penggusuran besar-besaran bagi rumah-rumah gelap. Setiap rumah yang tidak bercahaya saat malam akan dibongkar bahkan digusur, karena tak memberi terang terhadap dunia dan dianggap melanggar ketentuan negara sebagai pancaran keadilan. Dan hal ini tentu saja menunujukan bahwa semua rumah yang ada di Jalan Kemerdekaan akan terkena pembongkaran. Karena tak ada satu pun rumah di sana yang memiliki arus listrik. Sejauh ini, mataharilah yang menjadi sumber penerangan.

Tetapi anehnya, sebagian penghuni yang rumahnya terancam dibongkar, justru merasa tenang-tenang saja. Mereka merasa ini bukanlah masalah, dan menganggap akan baik-baik saja. Mungkin sesaat setelah mendengar janji dari seorang mafia berwajah tikus yang memakai jas rapi dengan kacamata tebal, mereka mulai bersikap tenang seperti itu.

“Kalian semua tenang saja, berikan saja aku waktu satu bulan. Akan kubangun rumah yang modern di jalan ini, biar kalian tidak perlu merasakan gelap lagi saat malam. Dan tentu kalian tidak perlu lagi merasa kepanasan dan kedinginan kalau hujan datang. Tetapi aku punya permintaan yang harus kalian penuhi,” dengan memasang muka lugu yang penuh tipuan, mafia berwajah tikus itu mencoba meyakinkan para penghuni. Tetapi sesaat ingin melanjutkan kalimatnya yang sempat dijeda, ada sesuatu yang mengganggunya.

“Jangan percaya ucapannya! Kalian semua akan ditipu,” suara teriakan dari arah kejauhan memecah percakapan. Yakobus dengan tampang yang paling menawan berteriak seru untuk mengingatkan.

“Kami sama sekali tidak melakukan kesalahan. Tetapi kenapa kami harus merelakan tempat tinggal kami?” Yakobus bertanya dengan nada yang sangat tegas kepada mafia berwajah tikus. Sebenarnya dia hanya ingin menyadarkan semua penghuni yang tinggal di Jalan Kemerdekaan.

“Kenapa kita harus percaya pada ucapannya? Heh, persetan dengan cahaya. Kalian semua jangan sampai percaya pada ucapannya. Gelap bukanlah kesalahan kami, kami semua hanya terlahir dengan keadaan kurang beruntung. Jangan salahkan kami yang tak mampu membayar listrik, dan membuat dunia ini makin gelap ketika di malam hari.”

Di siang yang begitu terik, beberapa oknum Satpol PP merasa dikejutkan dengan aksi yang dilakukan Yakobus ini, tak ada yang menduga seekor kucing liar akan berani menentang pembongkaran rumah-rumah yang terjadi. Tetapi sebagian orang saat itu justru merasa terpana, saat menyaksikan kucing yang penuh dengan bekas luka di sekujur tubuhnya itu, mampu berdiri tegak dan bersuara paling lantang menolak pembongkaran.

Para penghuni Jalan Kemerdekaan masih merasa bingung, tak tahu apa yang mesti diperbuat, sementara Yakobus masih belum berhenti melakukan aksi. Terakhir, Yakobus mulai memanjat tiang lsitrik dan membacakan sebuah puisi yang tidak diketahui siapa penciptanya.

Jika suat waktu kalian terbangun

Karena panas yang makin membakar

Kalian semua berlarian

Meraba-raba tubuh kalian sendiri

Tetap merasa tidak ada yang hilang

Kalian semua menjadi pecundang yang hilang nyali

Memilih berbohong

Nasib takut ditelanjangi lidah kaum pemilik

Aku mulai bersuara

Apa salahnya jika  tak berpunya?

Siapa pula yang ingin nasib tak berpunya?

Mengapa harus tunduk pada perkataan orang yang beruntung?

Semua mulut terkunci rapat, kepala tunduk mengangguk-ngangguk, mata-mata tertuju pada kucing liar yang semangatnya begitu menyala terbakar. Puisi belum selesai, dari arah yang cukup dekat terdengar teriakan “Merdeka! Jalan kemerdekaan Merdeka!” Bocah-bocah yang biasa merasa lapar, berteriak menyuarakan semangatnya. Para oknum Satpol PP mulai panik, dan mafia berwajah tikus itu juga mulai ikut panik. Dan akhirnya pembongkaran tidak jadi dilakukan, karena semua penghuni juga merasa keberatan.

***

Yakobus adalah pejuang, tapi tak ada satu pun yang mengakuinya seperti itu. Sekarang, namanya hanya bersisakan cerita kepahlawanan. Sebelum kematian menghampirinya, beberapa penghuni Jalan Kemerdekaan sebenarnya sudah tahu apa yang telah terjadi. Yakobus telah menghilang hening tanpa ucap setelah kejadian pemberontakan yang dilakukannya. Tetapi malang sekali nasibnya, tak ada satu pun yang peduli padanya. Bahkan beberapa orang yang mengetahui dia telah menghilang dari Jalan kemerdekaan, justru tak acuh menanggapinya, apalagi ingin mencarinya, rasanya itu cukup mustahil. Padahal dulunya dia merupakan pejuang keamanan, pejuang yang memikirkan nasib orang-orang terlantar.

Kudengar dari gosip-gosip yang beredar, Yakobus sebenarnya kalah dalam perkelahian melawan tikus-tikus berpakaian rapi setelah berebut jatah makanan. Dan gigi depannya rontok semua, hingga dia tidak bisa lagi mengunyah dan mati dalam keadaan penyakit mag.

Tidak ada upacara pemakaman untuk Yakobus. Sesaat setelah terbukti kematiannya, mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja sejak magrib tadi. Orang-orang hanya berdatangan di ujung jalan, sekedar untuk memastikan, apakah ia betul-betul telah mati atau tidak. Bahkan setelah kematian Yakobus, ada yang diam-diam mengendap mencuri mayatnya setelah ditinggalkan. Mayatnya dikuliti lalu dipotong-potong untuk menafkahkan keluarga. Ini bukan aneh, perjuangan demi kebutuhan perut kadang melelahkan. Apa mungkin memang benar, tentang kemerdekaan haruslah seperti ini? Sayangnya Yakbous telah mati, barangkali jika dia masih hidup, dia akan bercerita tentang apa itu ‘Kemerdekaan’ dan tak lupa menjelaskan hakikat nama ‘Jalan Kemerdekaan’. Sebab dialah yang menamakannya.

 

Yogyakarta, September 2017

 

Naskah ini pernah memenangkan lomba PERSIKMINAS PTM (Pekan Seni Mahasiswa) UAD pada 24 Maret 2019.

 

Penulis: Miftahul Sidik, mahasiswa semester 4 PBSI UAD.

Leave a Reply