Cerpen : Kebisingan yang Mendadak Sunyi

Desaku bernama Rasanggaro adalah sebuah perkampungan yang amat ramai. Setiap hari pemuda yang seumuran dengan kakakku  berkumpul di sudut-sudut jalan bahkan di rumah, mereka selalu membicarakan tentang keseksian artis yang muncul di televisi, dari banyaknya pemuda yang berkumpul untuk menceritakan keseksian artis itu hanya kakakkulah yang tidak ada di sana karna  dia sendiri di anggap tuli oleh teman-temanya.

“Hei apa kalian tau kalau Imran itu tuli?.”

“Wah iya setiap kali aku menceritakan tentang perempuan yang sering muncul di televisi dia hanya diam saja tak merespon.”

“Berarti tak perlulah kita ajak dia untuk berkumpul apalagi untuk membicarakan kesemokan artis di televisi hahaha.”

Semua yang berkumpul sontak tertawa mendengar perkataan Adi teman kakaku, Adi dianggap seperti ketua dalam perkumpulan itu. Setiap harinya kebisikan dan keramain selalu terdengar di desaku berbeda dengan kampung sabelah, malam hari digunakan penduduk setempat untuk beristirahat, pagi hari sepi karna ibu-ibu rumah tangga berangkat ke pasar, dan para bapak-bapak sibuk mengantarkan istrinya ke pasar, para anak-anak dan remaja brangkat ke sekolah.

Ketika motor sudah di penuhi bau amis ikan dan sayur-sayuran segar barulah para bapak dan ibu pulang. Sepulangnya dari pasar ibu-ibu tersebut langsung memasak dan mengolah bahan-bahan yang dibelinya. Barulah setelah itu para bapak bisa melanjutkan untuk mencari nafkah.  Ibu-ibu yang pulang dari pasar kemudian melanjutkan untuk memasak bahan-bahan yang sudah di belinya. Kampung ini banyak disibukkan warganya untuk rutinitas warga pada umumnya. Hingga hampir tidak ada aktivitas sesama warga walaupun hanya sekedar bersanda gurau maupun bergosip.

Pagi itu di kampungku, ku terbangun dan melihat ke celah-celah jendela dengan mata yang setengah terbuka karna ngantuk masih mengeuasai. Ternyata matahari belumlah terlihat tapi suasana sudah terlihat terang. Bergegas aku langsung ke kamar mandi untuk  menyiramkan air ke badan ku, ku memulainya dari kepala sentuhan air pertama membuat bulu di sekitar badan berdiri di tambah lagi badan ikut bergemetaran karna dinginya air di pagi itu.

Ku lanjutkan untuk terus menyirami tubuhku sampai siraman yang ke sepuluh aku hentikan untuk memberikan kesempatan mengoleskan sabun ke semua badan setelah tubuh dipenuhi dengan busa aku lanjutkan lagi menyirami badanku kali ini hanya sampai lima siraman lalu menggosakan gigi dengan odol, mulutku tak bisa berkata karna di penuhi oleh busa lalu ku kumur-kumur sampai tiga kali dilanjutkan untuk menyiram badanku kali ini hanya sampai empat kali lalu ku bungkus badanku menggunakan handuk.

Cepat-cepat aku keluar dari kamar mandi dan berjalan ke kamar, di ruangan tamu ku lihat kakakku berjalan ke luar dari rumah dengan seragam putih abu dengan rapi. Di luar sudah ada ibu dan ayah menunggu kakakku berpamitan lalu pergi sekolah dengan berjalan kaki. Ku dengar dia mengucapkan salam lalu pergi karna memang rumah kami berdekatan dengan sekolahnya kakaku, aku lalu masuk ke kamar memakai seragam andalan ku putih biru, di luar sudah di tunggu oleh ibu dan ayah.

“Bu brangkat dulu.”

“Wahh bersih harum dan rapi yaa, kamu sudah makan roti dan susu yang ibu simpan di meja makan?.”

“Tidak aku makan bu tapi sudah ku bungkus dan ku masukan ke dalam tas untuk di makan di sekolah.”

“Pasti takut telat lagi kan?.”

“Iya bu soalnya ini sudah jam enam lewat empat  puluh menit.”

“Kamu harus bisa mencontohi kakak mu.”

“Kakak ku yang tuli itu.”

“Kamu jangan ngomong begitu sama kakak mu Dit!.”

“Iya kata teman-temanya begitu bu kalau mas Imran itu tuli.”

“Ayah sebenarnya yang membuat Imran itu tuli?.” (ucap ayah di sela aku dan ibu berbicara).

“Sudah pak antarkan Adit ke sekolah nanti dia gak jadi lagi berangkat sekolah.” (Lanjut Ibu).

Aku sangat kaget mendengar ucapan itu dari ayah mungkin ayah sudah melakukan tindakan ke kerasan pada mas Imran. Setelah berucap seperti itu dengan enteng ayah bangun dari duduknya dan menyimpan koran di atas meja samping kursi di tempatnya duduk. Sudah menjadi kebiasaan ayah membaca koran pagi-pagi di teras rumah di temani kopi buatan ibu.

Syukurnya ayah tidak suka merokok karna menurutnya merokok itu dapat merusak jantung, akupun dan mas Imran di nasehatinya setiap hari dan setiam malam untuk tidak merokok. Terek tek te tek tek bunyi motor bebek punya ayah rupanya ayah sudah mengeluarkan motor dari rumah dan memanaskan mesinya beberapa saat akupun di panggilnya.

“Adit ayo.”

“Iya pak.”

Kami lalu berangkat, sekolah ku agak jauh dari rumah dan butuh waktu lima belas menit untuk sampai di tempatku sekolah. Ayah mulai menepikan motor pertanda kalau kami sudah berada di depan gerbang sekolah lalu ku turun dari motor dan mencium tangan ayah dan langsung masuk ke sekolah.

Kegiatan di sekolah seperti pada biasanya guru masuk tepat pada waktunya dan langsung memulai mata pelajaran dengan rumus-rumus yang paling banyak di benci sama siswa di kelas ku.  Jarum pendek jam dindin yang di pajang di samping kanan papan tulis sudah berada pada angka  satu, bel panjang di sekolahpun terdengar hingga ke sudut-sudut sekolah itu berarti pertanda waktu untuk pulang, semua siswapun keluar kelas untuk pulang dan aku di ajak oleh dua teman ku yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku utuk pulang jalan kaki dan aku setuju, di rumah-rumah wargapun kembali terdengar keramain dan itu pasti adi dan romobonganya yang sedang asik bergosip.

“Adit!! Adit!!.” (Mas Adi memanggilku).

Lalu ku hampiri mas Adi dan teman-temanya.

“Ada apa mas?.” (tanyaku perlahan, menghoramati orang yang lebih tua).

“Kami mau bertanya, sebenarnya apa yang membuat imran menjadi tuli?.”

“Itu karna perbuatan ayahku.”

“Maksudmu ayahmu itu telah berbuat kekerasan pada Imran?.”

“Iya mungkin saja seperti itu.”

Rombongan mas Adi langsung mengubah topik untuk sementara dari yang biasanya membicarakan tentang artis kini mereka membicarakan tindakan kekerasan yang di lakukakn oleh ayah dan mulai menyebarkan informasi kalau ayahku telah melakukan tindakan kekerasan dan berniat untuk mendatangi rumah ku bersama dengan warga karna tuduhan ayahku yang sudah melanggar HAM, aku dan dua temanku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dua temanku mulai merasa iba pada mas Imran dan takut sewaktu-waktu kalau kejadian itu akan terjadi pada ku.

Beberapa saat kamipun sampai dan aku mulai masuk ke rumah dan dua teman ku berlalu melanjutkan sisa langkahnya untuk sampai di rumahnya, ku lepas semua seragam sekolah di kamarku dan mengganti dengan pakaian rumah, dan ku rebahkan badan di Kasur untuk mengistrahatkan badan, di luar terdengar bunyi klakson motor yang membangunkan istrahatku, ku lihat jam yang sudah menunjukan jam empat sore ternyata aku sudah tertidur selama dua jam ku intip lewat jendela siapa orang yang membunyikan klakson motor itu ternyata itu adalah ayah yang pulang dari sekolah tempat ia mengajar.

Aku langsung keluar dari kamar dan menghapirinya untuk menanyakan apa yang di lakukan ayah pada mas Imran, sebelum kutanyakan hal itu aku mencium dulu tangan ayah karna itu sudah di ajarkan oleh ayah pada aku dan mas Imran sedari kecil.

“Pak, Adit ingin mengetahui apa yang sudah di lakukan bapak ke mas Imran.”

“Melakukan apa Adit?.”

“Adit mau bertanya, maksud perbuatan bapak yang bapak lakukan kepada mas Imran, bapak pasti memukul mas Imran tepat di telinganya kan sehingga mas Imran menjadi tuli.”

Bapak hanya tersenyum mendengar pertanyaanku dan memberitahuku apa yang di lakukannya pada mas Imran.      Mendengar jawaban dari ayahku aku langsung senang dan bersukur yang ternyata perkiraan ku itu salah yaitu mengira kalau ayah sudah memukul mas Imran.

“Tetapi pak, mas Adi temanya mas Imran akan ke sini bersama teman-temanya dan warga lainya untuk menindak lanjuti perbuatan ayah yang sudah melanggar HAM.”                                                                                                                “Tidak apa-apa kalau mereka mau kesini.” (Ayahku menjawabnya dengan santai).

Keesokan harinya di jam yang sudah menunjukan jam empat sore adi datang bersama warga lainya untuk menindak lanjuti perbuatan yang sudah di lakukan ayah pada mas Imran, di dalam rumah, aku, ibu, ayah,dan mas Imran bertanya-tanya suara keramaian apa yang sedang terjadi di halaman rumah ayahpun keluar mendahului aku,ibu dan mas Imran untuk mengecek apa yang sedang terjadi di luar rumah ternyata itu mas Adi dan teman-temanya beserta warga.

“Pak Budi anda kami laporkan ke polisi kalau anda sudah melakukan tindakan kekersan pada Imran.” (Suara mas Adi dengan kerasnya).

“Kekerasan apa yang saya lakukan ke Imran?” (Tanya ayahku).

“Bapak telah memukul Imran sehingga dia menjadi tuli.” (Lanjut mas Adi).

“Saya tidak tuli.”  (Jawab Mas Imran). Serontak langsung membuat gegerkan warga dan teman-temanya mas Adi. Mas Adi langsung berbisik-bisik dengan temanya.

“Kok Imran bisa mendengar suaraku.” (Tanya mas Adi pada temanya yang ternyata bisikan itu di dengar oleh ayahku, ayah langsung menjelaskan semuanya).

“Anak saya Imran tidaklah tuli. Saya membuatnya tuli untuk tidak mendengarkan cerita kalian yang mebicarakan tentang keseksian wanita yang sering kalian tonton di televise. Saya tidak mau anak saya Imran terjun ke dunia yang negatif yang pada akhirnya akan merusak pikiran ke solehannya. Kalau di dunia dia hanya mengisi hidup dengan dosa-dosa lalu apa yang akan di dapatknya di kehidapan selanjutnya setelah dia meninggal dunia.”

Mas Adi, warga dan teman-temanya menunduk setelah mendengarkan kesaksian ayahku, hingga hari itu di kampug ku tidaklah ramai seperti biasanya semuanya menjadi sunyi.

 

Penulis : M.Wian Arifana., mahasiswa semester 4 PBSI UAD.

 

 

Leave a Reply