Bincang-Bincang Sastra Edisi 160: Yogyakarta Ibunda Tercinta

Membuka gelaran Bincang-Bincang Sastra pada tahun 2019, Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menyajikan acara bertajuk Yogyakarta Ibunda Tercinta. Acara Bincang-Bincang Sastra yang digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra secara rutin setiap bulan sekali sejak Oktober 2005 hingga Januari 2019 ini telah sampai pada edisi 160. Menandai perjalanan panjang tersebut, Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para pembicara yang sudah tidak asing lagi dalam kancah kesusastraan Yogyakarta dan Indonesia, yakni Prof. Faruk (Guru Besar Sastra UGM), Edi A.H. Iyubenu (Penulis, CEO Diva Press Grup), dan Indrian Koto (Sastrawan, Pengelola jualbukusastra.com), yang akan dipandu oleh Cucum Cantini. Acara akan digelar pada Sabtu, 26 Januari 2019 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, terbuka untuk umum dan gratis.

Acara ini turut menampilkan pertunjukan sastra berupa pembacaan puisi, pembacaan cerpen, dan pembacaan esai sastra oleh Shofia Yurida, Rizki Ramdhani, dan Kurniaji Satoto. Yang menarik adalah keterlibatan mahasiswa dan alumni Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada acara tersebut. Ketiga penampil yang akan mengisi di acara tersebut semuanya berasal dari UAD. Shofia Yurida merupakan mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan 2015, yang tahun lalu mendapatkan juara 2 dalam Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) 2018 tangkai lomba baca puisi. Rizki Ramdhani merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2015, yang saat ini juga aktif di Teater Jaringan Anak bahasa (JAB). Tahun lalu Rizki juga mendapatkan juara 3 dalam ajang Peksimida 2018 tangkai lomba monolog. Sedangkan Kurniaji Satoto juga merupakan alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga pernah menjadi ketua di Teater JAB.

Keterlibatan mahasiswa dan alumni UAD dengan dunia sastra, teater, seni, dan kebudayaan di Yogyakarta akan menjadi sangat penting untuk membangun hubungan baik dengan dunia luar (UAD) dan tentu saja akam membawa nama baik kampus itu sendiri. Hal semacam ini juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya di luar kampus, dengan bergiat dan bergulat dengan dunia di luar kampus akan menambah pengalaman mahasiswa dan kemampuan nonakademis khususnya sastra, teater, seni, dan kebudayaan. Hal semacam ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh pihak kampus, melihat UAD merupakan salah satu kampus swasta yang cukup berpengaruh di Yogyakarta dalam perkembangan seni dan budaya.

“Tajuk Yogyakarta Ibunda Tercinta merupakan perwujudan atas kesadaran bahwa dari rahim Yogyakarta telah, tengah, dan akan lahir kembali manusia-manusia baru setiap waktu, tak terkecuali para sastrawan. Manusia-manusia baru itu terus tumbuh, berkembang, dan berjuang sebagai ksatria di gelanggang. Daerah istimewa ini telah menjadi kampung halaman bagi siapa saja yang sedia memulai langkah dari titik nol perjalanannya dalam menempuh alur kehidupan hingga menemukan jati diri. Tiada berhenti, terus-menerus generasi muda dari berbagai penjuru daerah di Indonesia bertandang, datang, dan tinggal menetap di Yogyakarta. Proses pasrawungan segala kemungkinan, baik yang ada di dalam maupun yang datang dari luar pun terjadi. Penduduk asli dan para pendatang hidup berdampingan tanpa curiga dan gemeremang prasangka. Nuansa tradisi masa lalu dan zaman kontemporer dapat berjalan beriring menjalin keberlangsungan hidup bersama. Hasilnya, ilmu pengetahuan dan kreativitas masyarakat di Yogyakarta tumbuh berkembang nut jaman kelakone (mengikuti zamannya). Kehidupan bersastra di Yogyakarta bergulir tiada henti mengikuti alur perkembangan Yogyakarta ke arah maju” ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

Yogyakarta merupakan daerah yang lekat dengan budaya dan tradisi Jawa. Yogyakarta yang terbuka membuat siapa saja dapat dengan gampang diterima menjadi wong Yogyakarta. Dialektika kultural bolak-balik menjadikan Yogyakarta benar-benar menjadi hunian yang nyaman. Sehingga tidak sulit bagi para sastrawan yang berasal dari luar Jawa bisa menyesuaikan diri di Yogyakarta dan kemudian menjadi Jawa. Walhasil, Yogyakarta menjadi ladang bagi tumbuh kembang kesenian tradisi dan kesenian modern secara berdampingan ditopang adanya sekolah, kampus, sanggar seni, dan komunitas-komunitas yang menjamur di punggung kota ini.

Malioboro terus berhias menjadi pusat perhatian lengkap dengan bangku-bangku malas. Warung-warung kopi melahirkan penyair-penyair yang gelisah. Jalanan yang macet dijejali bus-bus pariwisata, andong, becak motor, dan ojek online. Perubahan dunia di era golbalisasi dengan kecanggihan zaman yang menuntut segalanya serba instan. Hal ini tentu berpengaruh pada kedalaman dan kedangkalan karya sastra yang lahir dari para sastrawan generasi kiwari.

Melihat kenyataan itu, apakah Yogyakarta masih menjadi rumah yang nyaman? Bagaimana Prof. Faruk yang telah memasuki pintu rumah Yogyakarta sejak tahun 1976 berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya tentang kehidupan bersastra di Yogyakarta? Bagaimana Pak Edi A.H. Iyubenu berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya hidup bersastra di Yogyakarta sejak dekade 1990-an hingga kini di Yogyakarta mengingat tidak sedikit penerusnya yang berasal dari Madura juga merintis proses kreatif sebagai penulis di kota ini? Bagaimana Bung Indrian Koto yang mewakili generasi 2000-an akan mengisahkan proses kreatifnya di dunia ambang perpindahan media cetak ke media daring, proses komunialitas sastrawan di kampus dan komunitas, juga pengalaman menggelar lapak buku sastra di kota buku ini? Mari hadir dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 160 ini. Semoga memberikan manfaat yang berarti dan bernilai.

Bayu Aji Setiawan, koordinator acara

Leave a Reply