Sumber foto: indozone
Namaku Fisa, aku memiliki dua sahabat Sarah dan Kartina. Selalu bersama sedari kecil membuatku paham betul akan berbagai hal soal mereka. Sarah merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, ayahnya seorang kepala dinas pendidikan dan ibunya berprofesi sebagai kepala sekolah. Sedangkan, Kartina merupakan anak tunggal dari juragan gabah yang terkenal di desa.
Aku bersyukur bisa memiliki sahabat seperti mereka, meskipun kedua sahabatku berasal dari keluarga yang berada, tetapi mereka tetap mau berteman dengan anak singkong sepertiku. Ayahku seorang buruh tani, ibuku setiap hari berjualan gado-gado di depan rumah. Dengan keadaan seperti ini tidak membuatku patah semangat untuk terus bersekolah, justru inilah yang menjadi motivasi untuk meraih cita-cita.
“Bapak hanya bisa menyekolahkanmu karena tidak bisa memberi harta yang berlimpah.”
“Sekolah yang pintar, Nak, agar kelak tidak seperti Bapak-Ibumu ini.”
Pesan yang selalu terlontar dari kedua orangtuaku adalah penguat agar aku bisa menjadi anak yang pintar terus sekolah dan memperbaiki keadaan keluarga.
Soal pendidikan, aku dan sahabatku punya cerita masing-masing. Setelah lulus dari SMA aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri idamanku. Sarah yang berasal dari keluarga berpendidikan tinggi dan disiplin sudah pasti pendidikannya terjamin, ia dikuliahkan di Australia dan tinggal di sana bersama kakak keduanya yang telah lama menetap di sana.
Sedangkan Kartina adalah orang yang bisa dibilang anti sekolah, bibit kemalasannya sudah terlihat sedari kecil. Hal ini dapat dilihat dari bertahannya dia selalu memperoleh peringkat nyaris terakhir selama bersekolah. Setelah lulus SMA, ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dan berdiam diri di rumah.
Sangat disayangkan memang orang seperti Kartina tidak mau melanjutkan pendidikan. Padahal jika dipikir, orangtuanya sangat mampu untuk menguliahkan Kartina. Sebagai sahabat, aku dan Sarah selalu membujuknya agar ia mau kuliah, namun percuma saja.
“Kuliah itu tidak ada gunanya guys, kalau di rumah enak nonton tivi sambil santai-santai, kenapa harus capek-capek mikir kuliah? Otak itu perlu istirahat.” Cetus Kartina setiap kali kami nasihati perihal perkuliahan.
Orangtua Kartina juga sudah berusaha membujuk agar Kartina mau berkuliah sama sepertiku dan Sarah, namun apa daya orangtuanya saja tidak berhasil membujuknya apalagi kami sebagai sahabat. Memang kedua orangtua Kartina tidak bisa terlalu keras, Kartina adalah anak kesayangan dan sangat di manja. Tak heran jika bersantai di rumah adalah pilihannya, maka orangtuanya tidak bisa menolak, selama itu bisa membuat Kartina bahagia mereka menerimanya.
Ketika masa perkuliahan telah tiba, kami bertiga sudah tidak pernah berkumpul bersama dan Sarah yang sudah di Australia jarang berkomunikasi melalui smartphone karena perbedaan waktu dan mahalnya biaya berkirim pesan. Namun, kita saling mendoakan satu sama lain. Kita dipisahkan sebentar untuk meraih masa depan masing-masing. Aku yang merantau ke luar kota untuk menuntut ilmu hanya bisa pulang ke kampung halaman minimal enam bulan sekali. Selama pulang kampung pun, aku jarang keluar rumah seperti dulu. Aku sibuk membantu ibu berjualan gado-gado sembari menyelesaikan tugas kuliah selama libur semester.
Tak jarang ibu bercerita bahwa terkadang Kartina sering mampir ke warung sekadar meminum es teh, makan gado-gado atau bahkan hanya mampir saja. Dia tak banyak bergaul dengan teman di kampung seusianya. Anak kampungku jika tidak melanjutkan sekolah biasanya mereka bekerja atau menikah dan memiliki anak. Namun, Kartina tidak bekerja dan belum menikah. Dirinya masih betah bersantai-santai di rumah karena tidak bekerja dan tidak menikahpun kebutuhannya selalu tercukupi.
Dimanjakan sedari kecil dengan berbagai kemudahan membuatnya susah untuk berpikir dewasa dan menghadapi tantangan kehidupan. Hari-hari Kartina hanya di habiskan untuk bermain game dan menonton televisi. Sungguh pola hidup yang membosankan. Sebagai anak gadis tidak sepantasnya hanya bermalas-malasan di rumah. Dan kemalasan Kartika sangat trend dibicaraan oleh kalangan ibu-ibu di kampung. Dan aku sangat prihatin oleh keadaan sahabatku ini, namun tak banyak yang bisa aku perbuat untuknya.
Selama 3,5 tahun berkuliah, akhirnya aku lulus dengan predikat cumlaude lalu aku diterima bekerja di salah satu penerbitan buku yang cukup populer, dan tempat itu tidak jauh dari rumah sehingga aku bisa langsung pulang ke rumah. Uang hasil kerja aku tabung sedikit demi sedikit untuk bisa membantu keperluan rumah.
Suatu hari, sepulang kerja pada sore hari aku dikagetkan dengan isi pesan whatsapp dari Kartina yang mengatakan bahwa, “Fi, aku mau kuliah.” Pesan singkat yang mengejutkan itu berhasil membuatku sangat penasaran penyebab Kartina mengatakan itu, padahal sudah beberapa tahun ini kita kita tidak berkomunikasi, berkumpul bahkan bertemu.
Setelah meminta izin ibuku bahwa aku akan pergi ke rumah Kartina, aku langsung bergegas menuju rumahnya untuk mengobati rasa penasaran. Sesampainya di sana aku di sambut ibunya dan mempersilahkan langsung masuk saja kekamar Kartina. Di sana ada Kartina kaget melihat kedatanganku. Tanpa basa-basi langsung saja ku tanyakan mengenai pesan whatapp-nya.
“Tin, maksudmu apa tiba-tiba ingin kuliah?” Kataku heran.
“Sudah kuduga, pasti kau kemari hanya ingin menanyakan itu. Begini, Fi, aku ingin menjadi istrinya mas Kartono.”
“Hah? Kartono cinta pertamamu anak Pak Kades yang jadi dokter itu?”
“Iya Fi, aku serius ingin menjadi istrinya.”
“Bentar, bentar. Lah, terus hubungannya istri dengan ingin kuliah apa?”
“Begini, Fi, sejujurnya selama ini banyak orang tidak tahu walaupun aku terlihat pengganguran di rumah, tetapi aku di rumah kupergunakan untuk membaca buku-buku, Fi. Sudah banyak buku yang kubeli dan kubaca dan banyak buku pula yang membuka pikiranku. Game, televisi sudah lama kutinggalkan dan aku juga sangat jarang memainkan smartphone karena aku sadar setelah lulus SMA, teman-teman sudah mempunyai kesibukan masing-masing.” Kartina menghirup napas sejenak.
“Jadi, untuk apa aku memiliki smartphone jika tidak penting. Aku pernah membaca bahwa semua laki-laki mengidamkan perempuan yang pintar, begitupun dengan Kartono, pastilah ia mencari wanita pintar untuk mendampingi hidupnya. Dan adapula buku yang mengatakan bahwa kecerdasan anak itu warisan dari ibunya, ibuku memang bukan anak sekolahan dan aku sangat bodoh dulu di sekolah, tapi aku tidak mau anak ku kelak bodoh sepertiku,” jelas Kartina Panjang lebar. Spontan kulihat isi kamar Kartina kini, memang banyak buku yang tersusun rapi di rak.
“Benar, Tin, sekolah untuk menjadikan pintar. Tetapi, tolong luruskan lagi niatmu, jika kau ingin kuliah hanya untuk menjadi istri Kartono itu salah. Tidak ada yang tau jodoh kita kelak. Sekolah itu untuk kebaikanmu kelak”, kataku menasihati Kartina.
“Kartono itu salah satu alasanku berkuliah, alasan utamannya karena jasa ibu kita Kartini, Fi, aku sudah tamat membaca bukunya, mulia sekali perjuangannya untuk kaum wanita. Berkat dia sekarang sekolah tidak harus untuk orang kaya, berkat dia sekarang sekolah gratis, perempuan bisa bersekolah dan bekerja setara dengan laki-laki. Bodohnya aku dengan kemudahan ini malah dulu malas-malasan sekolah, aku menyesal Fi.”
“Aku bahagia, Tin, akhirnya kamu sadar dengan sendirinya tentang pentingnya bersekolah, walaupun kesadaranmu ini perlu waktu yang lama, namun tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu Tin, kamu harus semangat Sarah kalau tahu hal ini pasti akan bahagia jika kamu mau berkuliah.”
“Iya Fi, terima kasih maafkan aku dulu egois merasa pilihanku paling benar saja.”
“Haha, tidak apa Tin, aku memaklumimu karena dulu masih labil.”
“Lalu kau akan berencana kuliah dimana dan mengambil jurusan apa?.”
“Beberapa waktu terakhir aku sudah menentukan pilihan jurusan dan tempat kuliah Fi, dua bulan lagi aku akan kuliah di jurusan pendidikan bareng dengan sepupuku.”
“Bagus Tin, aku dukung.”
Hari sudah hampir Magrib setelah lama mengobrol akhirnya aku pamit ke Kartina untuk pulang ke rumah. Sungguh sore yang sangat menggembirakan bagiku melihat sahabatku sudah berubah dan semangat berkuliah.
Waktu terus berjalan tahun pertama, Kartina berkuliah aku menikah dengan Bos tempat aku bekerja di percetakan. Kedua sahabatku tidak ada yang bisa hadir, Sarah sudah sibuk mengurus bisnisnya di Australia dan Kartina masih sibuk berkuliah di luar kota. Tak apa mereka tak bisa datang, aku memahami mereka karena mereka sibuk untuk menggapai masa depan.
Semangat berkuliah Kartina memang terlihat, selama kuliah ia melakukan banyak gebrakan perubahan terutama di bidang pendidikan. Di beberapa kampung ia bersama rekan-rekan kuliahnya mendirikan sekolah alam dan rumah literasi. Tujuannya untuk mengenalkan anak-anak mengenai pentingnya menjaga alam sekitar dan pentingnya membaca. Kartina belajar dari pengalamannya yang kelam, dan ia ingin menyelamatkan anak-anak agar tidak sepertinya, rajin belajar, meraih prestasi, mengharumkan bangsa dan menggunakan waktu muda dengan sebaik-baiknya.
Setelah lulus dari kuliah, Kartina melanjutkan kuliahnya pada jenjang strata dua (S2) melalui program beasiswa LPDP di Singapura. Dua tahun berkuliah di sana aku jarang berkomuniaksi lagi dengan Kartina karena kesibukkan kita masing-masing. Setelah lulus S2 aku mendengar bahwa Kartina akan di angkat menjadi duta pendidikan. Orangtua Kartina pasti sangat bangga dan sebagai sahabat aku sangat senang mendengar kabar itu.
Selain menjadi duta pendidikan Kartina juga mengajar sebagai dosen di salah satu Universitas di daerahku. 2,5 tahun menjadi dosen, Kartina akan menikah dengan Kartono anak pak kades yang sekarang menjadi dokter spesialis mata itu. Bertepatan dengan hal itu, aku mendapatkan surel dari sahabatku Sarah yang mengatakan bahwa akan liburan dan pulang ke Indonesia. Sarah kini sukses mendirikan bisnis makanan Indonesia di sana dan kini ia telah di karunia dua anak yang lucu-lucu hasil pernikahannya dari pria blasteran Surabaya-Australia yang tinggal di Austalia.
“Ku tunggu kepulanganmu. Aku dan Kartina sangat merindukanmu. Sekarang Kartina sudah sukses dan sebentar lagi akan menikah dengan Kartono.” Begitulah balasan surel ku untuk Sarah.
Hari yang ditunggu telah tiba, aku dan Sarah melihat Kartina cantik dan Kartono begitu tampan di hari pernikahannya yang elegan. Aura bahagia menyelimuti dirinya, aku dan Sarah sangat terharu menyaksikan pernikahannya. Bagaimana tidak Kartina sahabat kami yang paling pemalas dan anti sekolah itu kini telah sukses menjadi duta pendidikan dan dinikahi oleh seorang dokter yang sukses pula. Sungguh, kalau bukan karena buku R.A Kartini dan Mas Kartono yang dicintainya mungkin dia tidak akan seperti ini.
Aku sejenak merenung, menjadi wanita karier memang begitu menyenangkan. Bagi perempuan mementingkan pendidikan memang banyak sekali manfaat. Sekolah tinggi bukan untuk menggungguli laki-laki tapi untuk meningkatkan kualitas diri. Tanpa jasa Ibu Kartini, mungkin kita semua para wanita karier yang menjadi istri, mengurus anak dan rumah tangga, tidak akan setangguh ini. Dan tanpa beliau mungkin juga Maudy Ayunda tidak akan menjadi rebutan Harvard University dan Stanford University.
Terima kasih, Ibu Kartini, kami sangat bangga Indonesia memilikimu, kami menyayangimu selalu. Selamat hari Kartini.
Sebuah cerpen oleh Riska Usna Nurfiah mahasiswa PBSI. Cerpen ini pernah menjadi cerpen terfavorit dalam lomba yang diadakan @adamaricreative di Instagram pada April 2019