Tanpa

“Kau yang mengajariku arti sabar; hingga akhirnya menemukan jalan datar. Kau yang mengajariku arti senyuman; hingga akhirnya merasa nyaman. Kau yang mengajariku arti marah; hingga akhirnya terluka parah. Kau, yang mengajariku arti jatuh; hingga akhirnya kembali utuh.”

Jarak

“Sesekali harus berpisah, karena keadaan memaksa diri untuk berubah.”

Bosan, ketika waktu berjalan tanpamu. Hampa, tanpa canda yang merobek sunyiku. Sepi datang menemani. Aku sendiri. Malam menjadi saksi, bahwa sedihku tak bertepi. Tanpamu, tiada
cerita.

Sengaja aku menghilang dari realita, karena dunia tak peduli dengan derita. Kau jauh terbentang di sana dan aku terpendam di sini. Kita sama-sama mencari, tapi bukan untuk kembali. Sesekali harus berpisah dan menghilang dari sejarah. Jika sendiri adalah luka parah, maka keadaan memaksa diri untuk berubah.

Tanpamu

“Tanpamu, aku hanyalah sebuah ranting yang tak berdaun.”

Pagi yang cerah untuk memulai hari tanpamu. Aku berkumpul bersama teman-teman dibalut keramaian. Serangkaian repetisi yang biasanya hanya denganmu, kini menjelma ramai yang menyelimuti suasana. Namun terasa ada yang mengganjal, seperti susunan puzzle yang tak lengkap. Hatiku kosong, tak lagi diberisikkan suara lembut yang bersenandung.

Tanpamu, aku hanyalah sebuah ranting yang tak berdaun. Menjadi sisa dari pepohonan yang rapuh. Patah dan jatuh ke dasar nestapa. Tanpa cahaya, tanpa air; redup, kering, dan tak berarti.

Kembali

“Langkahku terhenti, mataku terpejam, dan akalku mati. Seolah ada yang datang, lalu berkata, ‘kau harus kembali dan memperbaiki.’”

Masa lalu melintas ke dalam mimpi, melempar kenangan yang dibalut luka sedih. Kau datang dengan wajah kusut, memelas agar dibelai dengan lembut. Langkahku terhenti sejenak, memandangmu yang sudah tak mampu bergerak. Aku lemas, kau juga. Kita sama-sama lelah. Saling mengadu ego dan tak pernah mengalah.

Ketika jarak mulai berperan, di ujung jalan kau berteriak, “jangan tinggalkan aku, please, aku sendiri.” Saat ini tak ada waktu untuk berdrama. Kita jauh terbentang. Namun hatiku berkata
lebih baik kembali saja, lalu memelukmu dan menghangat bersama. Mataku terpejam dan akalku mati terbakar. Di tengah kesunyian, sesuatu melintas dan berbisik, “kau harus kembali dan memperbaiki.”

Utuh

“kau punya segalanya. Saat dunia membakar hatimu, kau hanya butuh kalimat sejuk.”

Pernahkah kau merasa senang? Senang dalam artian sesungguhnya. Bukan dengan sandiwara. Saat emosimu meledak dan menghamburkan kepingan sedih di mana-mana, kau seolah tak berdaya. Kemudian melintas sebuah harapan yang pernah sirna. Kau bangkit dan mencoba menarik paksa. Alam raya seolah terhisap dan kepingan yang hancur tersusun kembali.

Kau punya segalanya di dalam dirimu. Tak ada gunanya menyesali diri setelah semuanya terlanjur terjadi. Kau punya bintang harapan dan bulan yang terang. Saat dunia menghancurkan kepalamu, perlu kau sadari bahwa nikmatmu melebihi isinya. Mulailah bersyukur dan
bahagiamu kan tersusun utuh.

Sederhana

“Sesuatu yang paling indah adalah apa adanya. Di mana kita bisa menikmati dengan cara yang sederhana.”

Menarik bukan tentang bibir tebal; menawan bukan tentang mata lentik; merona bukan tentang pipi merah. Keindahan sebenarnya terletak di antara sikap. Kau tak perlu menghabiskan waktu hanya untuk melukis wajah. Bibirmu tetap merah, matamu tetap indah, dan pipimu tetap halus. Kau cantik apa adanya dengan setelan sederhana. Yang perlu dihias adalah sikap. Yang lain tak perlu kau ubah. Aku takkan bosan melihat wajah itu. Aku hanya ingin bersyukur dengan
kesederhanaanmu. Karena yang glowing sudah pasaran di mana-mana.

Titipan

“Semua bukan milik kita, bahkan diri sendiri. Jika kita punya hak, takkan ada yang kelaparan hari ini.”

Sepenggal cerita sebelum kehadiranmu. Saat sebelum pandemi menyerang dunia, aku berkeliling di kota kerajaan. Di persinggahan tempat wisata, aku bertemu dengan tukang parkir. Aku belajar banyak dengannya. Kau tahu? Ternyata tukang parkir itu orang yang hidupnya sangat tenang. Coba kau perhatikan, walaupun mobilnya sangat banyak dan motornya beraneka macam, ia tak pernah sombong. Meskipun mobilnya hilang satu persatu, bahkan sampai habis pun ia tak pernah sedih.

Kau tahu apa rahasianya? Tukang parkir tidak pernah merasa memiliki, tapi merasa dititipi. Siapa pun yang merasa memiliki, bersiaplah kehilangan. Dan itu menyakitkan.

Kau bukan milikku. Kau hanya titipan yang Tuhan percayakan padaku. Akan kujaga hingga tak ada yang tergores. Akan kurawat hingga tak ada yang terluka. Meskipun harus kehilangan, setidaknya kita telah bertemu dan melukiskan kisah cinta.

Harapan

“Cahaya terang bagaikan mentari. Gemerlap indah bagaikan bintang. Lampu yang cerah sepanjang jalan.”

Hidup ini seperti buku. Kau takkan tahu pembahasan selanjutnya jika terpaku di halaman yang sama. Bisa jadi kau memandang sebuah kata, namun anganmu melanglang buana. Jika demikian, kita sama-sama terjebak di dalam ruang yang sama. Ruang berkumpulnya teka-teki yang tak pernah terpecahkan. Kita butuh senjata untuk keluar.

Ada yang tajam tapi bukan pisau. Aku telah menemukan dan belum pernah
menggunakan. Kita akan keluar dengan cara yang sederhana. Mimpi yang buram akan terlihat jelas; hati yang keruh akan terasa bening. Bingkislah mimpi dengan harapan; balutlah hati dengan senyuman. Tanpa harapan, kita hanya mainan.

Doa

“Jarak hanya pembatas. Kita dekat dalam doa.”

Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Dunia seolah diam membeku. Mungkin aku hanya rindu, dan mengenangmu adalah obat. Saat sunyi merenggut ramai, duniaku tinggal sendiri. Aku hanya perlu menuangkan pemikiran semrawut. Aku hanya perlu menggelar kain dan menengadah. Aku hanya perlu mengarang kata untuk mengadukan keluh-kesah. Aku hanya perlu mencari makna yang tersirat di dalam wadah. Karena tak dapat kutemukan kata yang paling cinta, kupasrahkan saja dalam doa.

“Kau nyata di antara buram; kau bening di antara keruh; kau terang di antara gelap. Takkan kubiarkan sedih berlayar di matamu; takkan kubiarkan amarah berkobar di kepalamu; takkan kubiarkan gelisah bersarang di hatimu. Kita bersama.”

 

 

Ditulis oleh Yumna Nugraha, yang memiliki nama pena Yumin Hoo, mahasiswa PBSI UAD semester dua.

Leave a Reply