Asa

“Untukmu, cahaya indah yang bernyawa, izinkanlah aku menulis untukmu, tentangmu; meski kutahu takkan sampai di pelukan jemarimu, atau bahkan mengendap di dalam awan, sinarmu takkan lenyap ditelan waktu.” Yumin Hoo

Tentangmu

“Seberkas kisah yang dibungkus dengan rekat, terurai lembut dihempas sinar yang hangat. Tentangmu, cahaya yang tak mampu kuraih dengan tangan, akan kupeluk dalam angan.”

Kehidupanku adalah serangkaian repetisi yang dipenuhi kebosanan. Kisahku tertulis monoton dalam catatan harian. Tak ada yang istimewa, tak ada yang menarik. Hari-hariku yang
sebenarnya adalah kepalsuan. Dan aku terjerumus di dalam kesepian.

Ada yang kurang dari catatan yang sebenarnya. Seolah kepingan puzzle tidak tersusun rapi di dalamnya. Aku mulai mencari dan menemukan hal yang ganjal; aku menemukanmu. Kepingan yang berantakan memanggilku untuk menyusunnya. Hingga terbentuklah mata, bibir, dan wajahmu yang utuh.

Kini, waktuku tak lagi dipenuhi kesunyian. Ada senyummu yang bersinar di hatiku; ada namamu yang mengalir bersama nadiku.

Bertemu

“Desir debu berhamburan, menutup pandangan di hadapan. Angin riuh di hamparan, menemukanmu di pelataran.”

Datang dan pergi seolah hal yang wajar. Namun, takkan kubiarkan temu yang berakhir dengan pisah. Entahlah, kenapa pertemuan yang sederhana begitu menyenangkan. Tak pernah pudar disapu lupa; tak pernah hilang dihempas ramai. Hati dan pikiran yang biasa bertengkar, kini sependapat memilih, bahwa kaulah orangnya.

Takdir sengaja menyamar. Pertemuan bukanlah serangkaian kebetulan. Ada tangan yang mencatat, ada kita yang terjerat. Jika kasmaran adalah penyakit, maka kaulah yang telah menaburkan bibit. Jika harapan adalah penjahat, maka kaulah yang telah menyayat. Pergimu membunuhku.

Tantangan

“Api adalah aku. Sementara kau, cahaya. Kita memiliki persamaan yang mampu
menerangi kegelapan.”

Tidak mudah untuk sekadar menyapamu. Ada jarak yang membentang, ada tembok yang menghadang. Kau seolah bayangan, yang mampu dilihat dan tak dapat disentuh. Percuma mengejarmu yang tak berhenti berlari. Sekali berhenti, tubuhku terasa kaku. Tak mampu mendekat dan bibirku terkatup membisu. Meskipun sulit, mataku tetap tak henti bersyukur
menatapmu dari kejauhan. Karena aroma dan senyumanmu, melekat di kalbu.

Dunia tercipta untuk sesuatu yang berdampingan. Nahasnya, kau adalah awan yang terlalu sulit untuk disejajarkan dengan tanah sepertiku. Kau terbuat dari cahaya kebaikan,
sementara diriku api keburukan. Namun bukan berarti aku tak bisa sepertimu. Bukankah api juga mampu bersinar di kala gelap? Dan tantanganku hanyalah menjadi terang tanpa harus membuat
panas. Aku ingin menjadi baik. Berdampingan denganmu dan menerangi hidup bersama.

Nelangsa

“Jatuh cinta benar-benar membuat buta. Indahnya terasa, namun nelangsa.”

Buku. Kau seperti buku yang selalu ditulis, dibaca, dan tak pernah menjawab. Segalanya tertuang deras di dalam kertas. Deritaku bersarang di sana bersama pilu yang menari. Perih, saat dunia tak pernah sepakat dengan kesempatan. Sakit, saat kasmaran dibalas dengan kebencian. Seolah menjadi manusia tersial di dunia; mencintaimu adalah nelangsa.

Tidak Mengapa

“Menjadi wadah sama saja seperti alas, takkan pernah kubalas meski luka tampak membekas.”

Tidak mengapa seisi dunia menaruh derita; tidak mengapa panasnya egomu membakar hati; tidak mengapa tajamnya durimu membuat perih. Aku takkan membalas. Karena toh, aku tidaklah penting.

Seolah menjadi wadah, menampung derita adalah jatah. Kukira hanya perasaanku yang terluka. Ternyata seluruh tubuh berkata kecewa. Sebagai perwakilan mereka, aku turut berduka; mengasihani diri sendiri. Takkan ada rasa bersalah bila tidak mengenalmu, kataku kini. Namun, aku tetap akan bersyukur karena telah menemukanmu, mengenalmu, dan memahamimu secara utuh. Akan selalu kucari seribu satu alasan untuk membenarkan sikap burukmu kepadaku. Dan aku akan selalu merasa baik-baik saja selama membayangkanmu tersenyum.

Menepi

“Kuharap hatimu benar-benar tempat melabuh untuk jiwa lelahku.”

Ketika pandangan mulai melebur, angan mulai berlayar untuk mencarimu. Di ujung batas aku menepi, menemukanmu yang tengah dirundung sepi. Kita saling menyapa dan melempar senyuman. Hatiku benar-benar dimabuk oleh bibir yang melengkung.

Bahagia, memandangmu berada di depan mata. Meski kutahu, hadirmu hanya sebatas lamunan. Dan membelaimu di alam imajinasi adalah cara sederhana untuk menepis kesunyian. Kita duduk bersama, mengobrol dunia yang tak ada habisnya. Hingga di penghujung malam, aku
terlelap di pundakmu. Sungguh, indah.

 

*****

Yumin Hoo

Leave a Reply