Sastra Populer Dalam Wacana Produksi Kesusastraan Indonesia

Sastra populer dan produksi novel-novel populer saat ini sangat masif dan banyak bak jamur di musim hujan. Novel-novel populer saat ini juga mendominasi cuaca perbukuan di Indonesia dengan lahirnya karya-karya yang sampai di filmkan, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, Assalamualaikum Beijing karya Asma Nadia dan serentetan film lainnya yang diangkat dari novel-novel populer tersebut.

Dalam perkembangan sastra populer telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan, misalnya sastra populer era 60-an genrenya banyak mengangkat tema seks, sedangkan tahun 70, 80, 90-an mengangkat tema romance percintaan remaja kota. Nah, untuk kurun waktu 2000-an sampai sekarang banyak mengangkat tema fiksi pop Islami dan travel writing baik berlatar timur tengah dengan hadirnya novel Ayat-ayat Cinta, berlatar Asia Timur (Korea, Jepang, China) contohnya Assalamualaikum Beijing, berlatar Eropa dan Amerika contohnya 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika. Novel-novel dengan formula fiksi pop Islami dan travel writing. Walaupun saat ini di dominasi oleh novel-novel pop Islami dan travel writing, tema romance percintaan remaja juga masih punya pasar besar dan massa pembaca yang banyak di Indonesia terbukti dengan besarnya nama Tere Liye dan Boy Chandra.

Islam dalam produksi sastra saat ini menampilkan Islam yang pop. Ayat-ayat Cinta menjadi pelopor fiksi populer Islami yang mewakili Islam untuk mengenalkan syariat serta ikon-ikon Islam dalam fiksi yang populer. Dengan berpijak pada genre romance bergradasi dengan unsur-unsur Islam yang terbentuk dari formula-formula genre. Menurut Cawelti (1976) formula tidak berbeda dengan definisi unsur, di dalamnya memuat kombinasi kultural. Dalam genre romance pop Islami, formula cenderung terpola adalah; adanya hidayah, ideal dengan hijab, dominasi tokoh keturunan Arab, latar Timur Tengah, tokoh-tokoh Islam yang dijadikan teladan, dan sebagainya. Hal yang paling penting adalah hadir-hadirnya tokoh-tokoh non-muslim, khususnya Eropa dan Amerika. Dengan demikian, Nampak bagaimana fiksi populer hadir di tengah-tengah budaya yang plural dan cair agar bisa diterima semua pembaca.

Hadirnya wacana-wacana fundamental seperti agama, kultur, bahkan isu politis dalam karya sastra populer membuka peluang bagi pembaca dan juga penulis untuk membuka pengetahuan yang luas melalui bacaan-bacaan yang diterbitkan secara massal. Hal ini kemudian mencairkan sastra populer yang selama ini dianggap tidak berkualitas dan menjadi eskapisme belaka, menuju pada kesamaran definisi.

Kriteria sastra populer sebagai sebuah media yang diproduksi massal berdasar pada aspek-aspek konsumsi dan produksinya. Peran penerbitan yang kini menjamur mengakibatkan perubahan strategi marketing untuk melancarkan produksi rela berubah haluan idealisme. Penerbit Mizan yang dikenal sebagai penerbit Islam mencair menjadi penerbit Islam yang modernis dan penerbit Gramedia yang dikenal dengan teenlit dan cheklit-nya, kini juga mencetak buku-buku bertemakan keislaman.

Produksi novel-novel popular yang berserakan saat ini di toko-toko buku tidak akan semulus menerbitkannya jika melihat dua puluh tahun ke belakang. Saat ini semua individu bisa menerbitkan karya, dengan tujuan apapun. Bourdieu pernah menyinggung mengenai modal sosial, dan di era ini sastra telah menjadi bagian dari alat dalam modal sosial tersebut. menjalin reaksi sosial dengan menggunakan tokoh-tokoh publik lain sebagai testimoni. Dengan tujuan-tujuan tertentu, seseorang bisa dengan mudah menulis dan berharap pembaca mampu mengerti dan perlahan ter-ideologi, ini yang dimaksud oleh Pierre Macherey sebagai proyek ideologis. Menanamkan wacana-wacana secara halus untuk tujuan tertentu, dan hal ini yang terbungkam, tidak terbaca dalam teks namun nampak dalam konteks sastra diterbitkan.

Fiksi atau sastra popular juga diproduksi untuk tujuan lain yaitu sebagai pengalih isu, sebagai alat propaganda yang perlahan dikonsumsi, hingga pada akhirnya pembaca melupakan apa-apa yang nyata. Dengan kata lain, sebagai alat politis yang kini banyak digunakan untuk melunturkan citra, menaikkan popularitas, bahkan mengubur wacana lain dengan wacana populer.

Sastra populer juga berperan penting terhadap peningkatan budaya literasi bagi kaum muda yang ‘kurang suka’ membaca sastra serius dan sastra populer dengan karya novel-novel populernya dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya-karya sastra.

Penulis: Jemi Ilham
Catatan: tulisan pernah dimuat di situs Pocer.co pada tanggal 27 November 2017, telah mengalami revisi.

Leave a Reply