Seyogianya
perlahan aku mulai tau
bahwa kau
mengajakku makan
hanya untuk menunjukkan
muka dan rambut barumu
setiap setelah selesai rapat
tentang imbauan
aku selalu mengatakan
“imbauan akan terlaksana
jika diiringi iming-iming
menu makan empat sehat lima sempurna”
dan
kau selalu menjawab
“untuk menuju
empat sehat lima sempurna
imbauan takkan
terlaksana jika
tak diiringi pembalauan
sekaligus agar tersaji
menu makan selanjutnya:
muka dan rambut
baru kita”
****
Pertemuan
Berpuluh-puluh juta
rupiah
Beribu-ribu juta
detik
Beratus-ratus juta
kilometer
adalah modalnya
untuk menuju gudang piala
untuk memandang gedung prestasi
termasuk
untuk halau pemberontakan
dari pergerakan penuntut
pemenggalan ketidaktahuan
atas segala macam ilmu,
dipimpin otak.
Sesampainya di depan gudang
ia mendengar orang-orang pintar
berdiskusi asik tanpa rokok
tentang batas bercumbu dengan tempat parkir dan wifi
Di dalam gedung
ia melihat orang-orang keminter
menggerutu, karena sumbangan pembinaan pendidikan
melambung gerilya
dan sebelum pergi
ia menyaksikan beberapa buku-buku telantar
****
Seperti Udara
hasil menghirup
dirimu dan mereka
ditambah
kalian dan dirinya,
menjadikanku seolah utuh
sebagai kepala kursi
ketika pengutuhan berjalan
mengitari kedelapan mata angin
lalu menyinggahinya
dan mencarikanku
angin sepoi-sepoi
dengan mengutus
keberingasan puting beliung
demi menerbangkanku
menuju ruangan
di lantai tujuh
di bawah kursi putar
yang hitam kulitnya
menyelimuti busa, dan
di pesan khusus
pakai uang sumbangan
untuk membuat
diriku tak lagi
kurang menjadi manusia berkepala kursi
hampir seharian bersamamu
terima kasih. kau pernah bersamaku, sebanyak: terhitung jari.
aku bersamamu hari ini:
atas penggiringanmu menyembah prestasi agar piala menjadi penanda berpikir serta membantu menampakkan dirimu, yang hanya sebatas ilusi
agar aku tiru
agar mereka ikut meniru: agar kau utuh.
kita tak pernah bersama. kau membersamaiku demi dirimu.
aku membersamaimu demi mencipta ruang.
kau candu dipuja sebagai pencerah
tanda-tanda muncul
perlahan tapi rutin, melalui
sepotong fiksi yang terbuat
atas rangkaian huruf paling belakangmu (di ruang kelas)
dan kesamaran masa depan yang kau jadikan dongeng
(di ruang kelas)
azan terdengar: aku tak beranjak
(ku sempatkan bertanya kepada kedua belah otakku tentangmu)
aku masih belum beranjak: iqomah terdengar
(apakah aku atau kau yang akan ditanya Tuhan pertama kali
atas ketidakberanjakanku)
****
Keempat puisi di atas ditulis oleh Dzaki Pong.
Dzaki Pong berproses kreatif di Teater Jaringan Anak Bahasa (Teater JAB) sejak pertama kali menempuh pendidikannya di Universitas Ahmad Dahlan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) tahun 2016.