Resensi Novel Kerumunan Terakhir

Identitas buku
Judul               : Kerumunan Terakhir
Pengarang     : Okky Madasari
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utam
Tahun terbit  : 2016
Kota terbit      : Jakarta
Tebal halaman : 360 halaman
Harga               : Rp80.000-,

Sinopsis
Novel ini terdiri dari tiga bab: dunia pertama, dunia kedua, dan dua dunia bermuara.

Pada dunia pertama, menceritakan anak laki-laki bernama Jaya yang sangat benci terhadap ayahnya, Sukendar, seorang intelektual dan dosen di salah satu Universitas ternama. Sang ayah selalu menasihati anak-anaknya agar dapat bersekolah tinggi, mempunyai pekerjaan, dan berharap bisa seperti dirinya. Namun, semua itu berbanding terbalik dengan perilaku sang ayah dalam berumah tangga. Jaya kerap memergoki ayahnya membawa wanita lain ke dalam rumah tanpa sepengetahuan ibunya. Jaya semakin benci kepada ayahnya ketika sang ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah.

Selain itu, Jaya merupakan anak yang belum bisa menerima perkembangan teknologi. Baginya, hidup sewaktu kecil bersama Simbah di Samigaluh jauh lebih menyenangkan daripada tinggal di kota.

Dunia kedua, Jaya mulai memberontak. Putus kuliah, pengangguran, dan kabur ke Jakarta untuk menemui kekasihnya, Maera. Di sana, dia didesak oleh Maera untuk melamar pekerjaan melalui internet. Maera menginginkan Jaya meninggalkan masa lalunya dan menjadi orang baru yang hidup di Jakarta. Bagaimana kecanggihan digital mempertemukan Jaya kepada orang-orang seperti Akardewa, Kara, dan Nura. Bagaimana dunia maya membuat Jaya ingin mendapat perhatian, populer, dan diakui keberadaannya.

Jaya membangun dunia baru sebagai Matajaya, seorang fotografer yang tinggal di New York. Bualan Matajaya mengenai hidupnya yang penuh inspiratif dia sebarkan dan membius orang-orang untuk percaya. Sedangkan kenyataannya, Jaya adalah laki-laki pecundang.

Terakhir, bab dua dunia bermuara, Jaya sempat dipenjara lantaran terlibat beberapa kasus seperti menyebarkan fitnah ayahnya. Akhirnya Jaya sadar bahwa dia telah menimbulkan masalah di dunianya yang baru. Jaya memutuskan kembali ke kampung simbah dan menikahi Maera.

Novel ini sangat menarik. Okky Madasari mengkritisi bagaimana masalah manusia zaman sekarang yang tak jauh dari teknologi, berkerumun, dan mengikuti arus. Bagaimana orang-orang banyak membual di dunia ilusi demi mendapat perhatian, kebanggan, dan diakui. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Jaya yang memakai nama palsu Matajaya.

“Masa lalu dan masa yang baru kini sepenuhnya ada di tanganku. Aku bisa mengubah dan menata ulang semuanya semauku. Aku bisa membuang yang tak perlu dan menambahkan apa pun yang aku mau. Walau kadang-kadang ada serpihan masa lalu yang datang tiba-tiba, menyeruak di kontrolku.” (halaman 119).

Masa lalu yang dimaksud Jaya adalah dunia nyata, sedangkan masa baru adalah dunia maya. Namun, novel ini mempunyai kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya batasan cerita antara dunia nyata dan dunia maya. Contohnya seperti berikut.

Langkahku terhenti saat kulihat wajah belia yang begitu kukenal ada di antara wajah-wajah baru yang berlalu lalang. Aku melangkah mendekatinya. Melihat wajahnya dari depan, dari samping, membaca nama yang ditulisnya: Dyah Juwita. Tak salah lagi, dia adalah Juwi. Adik bungsuku yang masih SMP itu. Mau apa dia di sini?” (halaman 171).

Oleh karena itu, pembaca akan bingung mana yang memang terjadi di dunia nyata, mana yang terjadi di dunia maya.

 

******

Ditulis oleh Hanita Ayu, mahasiswa PBSI semester VI.

Leave a Reply