MBAH KARMAN

Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih itu sungguh keras kepala. Tidak ada yang bisa membuatnya mengubah sesuatu yang telah ia yakini. Tidak ada yang menganggapnya buruk, jika itu tidak mengenai sesuatu yang mengganggu orang lain. Kakek itu teguh pendirian dan sangat nasionalis. Ia selalu memasang bendera setiap hari-hari besar, itu tidaklah mengganggu. Berbeda dengan lagu nasional yang diputarnya setiap pagi dengan suara keras. Membuat sebagian orang, terutama tetangganya yang paling dekat.

Kakek itu bernama Karman. Ia seorang mantan tentara, meskipun dengan pangkat kecil. Itu menjelaskan kecintaannya yang begitu besar terhadap negara. Tinggal sendiri di rumah Joglo yang tidak terlalu luas. Jarang ada rumah bergaya seperti rumahnya zaman sekarang. Dulu ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Namun setelah istri dan anak-anaknya menikah, ia tinggal sendiri. Anak pertamanya adalah seorang perempuan, jadi ia ikut dengan suaminya. Sedangkan anak keduanya sudah mempunyai rumah yang jauh lebih bagus dan terlihat lebih modern. Anak-anaknya sudah mengajaknya untuk tinggal bersama namun tidak diindahkan oleh Mbah Karman, begitu orang tua itu dipanggil. Mbah Karman tetap ingin berada di rumah yang dibangunnya dengan keringatnya sendiri bersama Sang Istri.

Tetangga Mbah Karman yang paling dekat dengan rumahnya adalah sepasang suami-istri dengan seorang anak tunggal bernama Bagas. Bagas adalah pemuda berumur dua puluh tahun dan masih duduk di bangku perkuliahan. Dia nglaju menuju kampusnya yang hampir mencapai 30 KM dari rumahnya itu. Dia seperti kebanyakan pemuda yang lain di daerah tersebut. Nongkrong saat malam dan bangun siang jika tidak diganggu oleh suara dari radio tape milik Mbah Karman. Dialah yang paling sering menggerutu jika Mbah Karman sudah memutar lagu nasianal kebanggaannya keras-keras. Tak jarang ia membalasnya dengan memutar lagu pop, rock, bahkan dangdut tak kalah keras untuk membalas Mbah Karman. Namun omelan dari ibunya lah yang ia dapat.

Meski begitu, Bagas tidaklah membenci Mbah Karman. Mereka sering juga mengobrol bersama membahas apa saja. Maling ayam hingga koruptor, keperkasaan dan kebanggaan Mbah Karman saat masih menjadi tentara, sampai ke sindiran Mbah Karman atas tindakan pemuda yang tidak lagi produktif. Dari obrolan mereka, jika mengenai hal yang terakhir selalu mejadi sebuah perdebatan yang tak berujung. Mbah Karman yang selalu mempertanyakan apa yang sudah dilakukan para pemuda untuk Indonesia, dan Bagas yang merasa tersinggung berusaha untuk membela para pemuda dan dirinya sendiri. Hal itulah yang membuat Bagas selalu menghindari pembicaraan yang menyangkut hal tersebut.

Seperti hari ini, Bagas yang baru pulang dari kampus dengan motornya, menemukan Mbah Karman sedang tidur atau tertidur di kursi goyangnya yang sudah reot. Ada bunyi ‘kreet’ saat Mbah Karman menggoyangkannya ke depan dan ke belakang. Dia memutuskan untuk menyapa dari beranda rumahnya sebelum masuk ke dalam menaruh tasnya.

            “Hm, Bagas, to?” Mata tua itu terbuka. Keriputnya bertambah saat ia menyipitkan matanya memastikan siapa yang menyapanya.

“Siapa lagi, Mbah.” Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian ia kembali keluar dan menuju rumah Mbah Karman yang hanya berjarak lima meter dari rumahnya. Ia mendudukkan diri di kursi yang terbuat dari rotan di sebelah Mbah Karman.

“Sudah pulang kamu? Jam segini?” Mbah Karman beringsut, menegakkan tubuhnya.

Lha wong sudah nggak ada jadwal kok, Mbah.” Gantian Bagas yang mengistirahatkan punggungnya di sandaran kursi.

“Sebagai anak muda, kamu tu mbok aktif sedikit gitu lho! Mau jadi apa kamu nanti!? Heran aku sama anak muda jaman sekarang.” Mbah Karman menyesap kopinya yang tinggal separuh cangkir itu.

“Aku ndak dibuatkan kopi, Mbah?” Bagas berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Bikin sendiri! Kopi saja minta dibikinin orang tua. Jangan jadi generasi manja!” Tertohok hati Bagas. Mbah Karman memang terkenal keras, bahkan kepada anaknya. Ia tidak suka anak manja, apalagi anak itu laki-laki. Semakin kena ia sama Mbah Karman.

“Oh ya, Mbah, pria sangar tadi pagi siapa?” Ia teringat beberapa orang berpenampilan macam preman mampir ke rumah Mbah Karman tadi pagi. Tidak mungkin kalau hanya untuk melabrak kakek tua itu karena menyetel lagu keras-keras, kan? Tadi pagi ia tidak sempat menanyakannya karena sudah hampir telat masuk kuliah.

“Bukan siapa-siapa. Hanya suruhan orang yang hendak menjual rumah ini.”

“Siapa yang mau menjual  rumah ini, Mbah? Rumah ini kan milik Mbah.”

“Itulah mengapa ia mengirim preman-preman itu.” Katanya dengan suara lirih sambil bersandar pada kursi goyangnya menimbulkan sedikit goyangan di kursinya.

Sejak hari itu, semakin sering preman-preman itu datang. Tidak hanya pagi, siang dan malam pun terkadang mereka datang. Preman-preman itu mungkin terlihat seram, namun mereka tidak menimbulkan kericuhan atau suara-suara khas orang ribut. Apalagi Mbah Karman tetap menjalani hari-harinya dengan normal seperti biasa dan tidak ada luka sedikit pun. Karena ketidaksesuaian kenyataan yang ada dengan imajinasinya itulah, Bagas menjadi penasaran. Bukankah seharusnya preman-preman itu mengancam dengan suara keras, menggebrak-gebrak meja, atau menendang dan memukul Mbah Karman, atau paling tidak Mbah Karman yang berteriak.

Sampai minggu kedua preman-preman itu tetap datang. Dan kali ini, sedikit mirip imajinasi Bagas. Setiap kali Bagas melihat preman-preman itu datang, tak lama setelah itu pasti Mbah Karman berteriak lantang untuk mengusir preman-preman itu. Preman-preman yang diusir hanya bisa menahan emosi mereka tanpa bermaksud melawan.

Akan tetapi berbeda dengan malam ini, saat Bagas menemani Mbah Karman begadang sambil minum kopi, anak kedua Mbah Karman datang. Sudah hampir tengah malam saat itu. Bagas segera pamit pulang. Namun di malam yang sunyi karena sebagian besar penduduk desa sudah lelap, suara pertengkaran ayah dan anak itu terdengar sampai ke telinga Bagas.

“Bapak keras kepala sekali! Jempolmu tidak akan membusuk hanya karena masuk tinta.”

“Siapa yang mengajarimu begitu!? Anak tidak tahu sopan santun!” Suara Mbah Karman tak kalah kerasnya. Mbah Karman memang tidak bisa diremehkan. Meski sudah tua dia tidak gentar sedikit pun.  Dan setelahnya tidak bisa didengar oleh Bagas.

Pagi menjelang siang hari saat Bagas hendak berangkat ke kampusnya, rumah Mbah Karman sudah sepi. Hanya terdengar suara lagu Garuda Pancasila dari tape tua milik Mbah Karman. Mbah Karman baru menyetelnya tadi sekitar jam 9 pagi. Itulah yang membuat tidur Bagas nyenyak lebih panjang dari biasanya. Hal itu menimbulkan pertanyaan di kepala Bagas.

Sore setelah Bagas pulang, Mbah Karman seperti biasa sedang minum kopi sambil bersantai di kursi goyangnya. Segera setelah menaruh tasnya, Bagas menghampiri Mbah Karman. Kedatangannya membuat mata tua itu terbuka dengan perlahan.  Dilanjutkan dengan obrolan ringan, namun Mbah Karman selalu menghindari perbincangan tentang masalah dengan anaknya.

Sejak datangnya anak bungsu Mbah Karman itu, preman-preman itu tidak lagi datang. Dan hari-hari berjalan dengan normal kembali kecuali Mbah Karman yang masih menghindari pembicaraan tentang anaknya. Dia selalu menyuruh Bagas melupakannya. Tidak ada yang bisa mengubah Mbah Karman. Jadilah Bagas hanya bisa menuruti Mbah Karman untuk tidak mengungkit masalah anaknya itu.

Suatu hari, Bagas bangun tanpa dibangunkan oleh lagu dari tape milik Mbah Karman. Hal itu membuatnya terlambat karena hari sudah hampir siang. Cepat-cepat Bagas mengeluarkan motornya. Namun di depan rumahnya ia menemukan beberapa orang datang ke rumah Mbah Karman menggunakan mobil. Mereka mengetuk pintu. Namun tidak ada jawaban. Mbah Karman tidak mungkin kesiangan. Apa Mbah Karman menghindari orang-orang ini? Siapa orang-orang ini? Itulah yang dipikirkan Bagas. Bagas tidak lagi peduli setelah teringat dengan kuliahnya. Sekarang ia benar-benar terlambat.

Malam hari, Bagas baru pulang dari kampusnya. Ia masih menemukan orang-orang tadi siang datang kembali ke rumah Mbah Karman. Rumah Mbah Karman masih Nampak tertutup. Dia benar-benar menghindari orang-orang ini. Jadilah Bagas membiarkan orang-orang itu sampai pergi sendiri.

Keesokan harinya, Bagas bangun masih tanpa lagu dari tape Mbah Karman. Untunglah hari ini hari libur. Jadi ia tidak harus terburu-buru seperti kemarin. Selesai mandi, ia langsung ke rumah Mbah Karman. Ia mau bertanya banyak kenapa ia tidak menyetel lagu kebanggaannya? Siapa orang-orang yang ke rumah Mbah Karman kemarin? Dan kenapa Mbah Karman menghindari mereka? Bahkan hari ini rumah Mbah Karman belum di buka meski hari sudah hampir siang.

Di depan rumah Mbah Karman Bagas bertemu dengan pengantar makanan yang biasa dibayar Mbah karman. Ia mengetuk pinu beberapa kali. Tetapi karena tetap tidak ada tanda-tanda akan dibuka dan pengantar makanan itu sudah panik, takut kalau Mbah Karman kenapa-kenapa, akhirnya pintu itu didobrak juga. Lampu masih menyala. Bagas mencari Mbah Karman ke kamarnya namun tidak ada. Dia hendak mencari ke kamar lain tetapi suara teriakan menginterupsinya. Itu suara si pengantar makanan.

Mbah Karman ditemukan tewas dengan nadinya yang teriris dan jempol kanan putus. Darah yang mengalir sudah tidak segar lagi. Bagas tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia shock. Beberapa saat kemudian banyak orang berdatangan. Dihari itu juga, pemakaman dilakukan.

Di hari ke tujuh kematian Mbah Karman, Bagas melihat orang-orang yang datang mencari Mbah Karman sedang berbicara serius dengan anak bungsu Mbah Karman. Mereka seperti sedang berdebat tentang sesuatu. Entah apa, tapi pada akhirnya anak bungsu Mbah Karman mengacak rambutnya frustasi. Bagas juga mendengar seseorang di belakangnya membicarakan mereka.

“Sudah pasti mereka tidak mau membeli rumah yang dibuat bunuh diri.”

“Rasakan si Norman itu! Dia sudah tidak bisa mengambil keuntungan dari menjual rumah bapaknya.”

***

Karya: Eva Fitriana S

Leave a Reply