Foto: buku bajakan milik penulis.
Siapa dari kita yang tidak pernah membeli buku bajakan? Membajak buku orang lain di fotokopian? Membajak karya orang lain?
Akun facebook Ronny Agustinus pemilik penerbit Marjin Kiri pada 25 Februari 2019 menggunggah status kegelisahannya tentang pembajakan buku milik penerbit Marjin Kiri dan penerbit lainnya. Buku-buku bajakan tersebut dijual oleh sebuah akun instagram berinisial BR. Akun BR menjual buku-buku bajakan dalam jumlah yang banyak, berkardus-kardus ke berbagai daerah di indonesia.
Pembajakan di negara kita ini ibarat duri dalam daging. Sakit dan bikin risih. Terkadang sampai membunuh si pemilik asli. Kesadaran masyarakat kita dalam menghargai usaha dan karya orang lain masih rendah.
Saya mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah kampus di kota Yogyakarta. Apakah saya pernah membeli buku bajakan? Jawabannya iya, saya mengakui pernah membeli novel bajakan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari seharga 35 ribu di Shopping Center pada awal kuliah.
Saya baru di Yogyakarta dan belum tahu toko-toko buku yang ada. Atas rekomendasi kakak tingkat, saya mencari buku di Shopping Center, pusat buku terbesar di kota pelajar. Yang ada dipikiran saya waktu itu adalah: bukunya murah, sesuai kantong!. Lantas setelah sampai di kosan, saat membuka kertas plastik pembungkus, saya kecewa. Kertasnya jelek minta ampun, tintanya burem dan saya pastikan tidak terbaca oleh mereka yang matanya minus, ada halaman yang hilang. Baru tiga hari saya baca, kertasnya sudah lepas, lemnya jelek.
Beberapa buku bajakan penunjang kuliah yang sering dibeli teman-teman sejurusan saya adalah karya Prof. Henry Guntur Tarigan dan buku-buku linguistik. Harga buku bajakan Prof. Tarigan yang tipis-tipis itu {(Membaca-Menyimak-Menulis) sebagai keterampilan berbahasa} dipatok 25 ribu. Bayangkan betapa kayanya pelaku dan penjual buku bajakan.
Sering saya alami, jika saya menanyakan sebuah buku, maka penjual di Shopping Center akan menyodorkan buku bajakan terlebih dahulu. Mereka akan mengeluarkan versi orisinal jika kita yang minta dan harganya cuma selisih 10-20 ribu. Padahal kualitasnya beda jauh. Buku-buku Prof. Tarigan memang sudah susah dicari versi orisinalnya. Tapi jika anda orang yang anti buku bajakan, pasti akan mendapatkan versi ori.
Selain buku-buku teori penunjang perkuliahan, tak jarang dosen menyuruh membeli dan membaca buku-buku sastra, puisi, cerpen, dan novel. Nah teman-teman seangkatan saya pasti ngacirnya ke Shopping Center yang menjual novel-novel bajakan karya penulis-penulis terkenal. Semisal Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Andrea Hirata, Tere Liye, Habiburrohman El Shiraziy, Asma Nadia. Novel-novel bajakan tersebut dijual kisaran harga 35 ribu hingga 45 ribu. Selisih berapa ribu saja dengan harga novel asli. Sedangkan penyair yang sering dibajak karyanya adalah Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono.
Alkisah suatu hari dosen memberi tugas pada mata kuliah Sastra Perbandingan untuk membandingkan dua karya. Karena saya pernah jualan buku, maka teman-teman di kelas menjadikan saya rujukan untuk mencari karya-karya yang akan mereka bandingkan. Beberapa orang mahasiswa minta tolong untuk dicarikan sebuah novel, harganya 60 ribu. Menurut mereka harga 60 ribu terlalu mahal, mereka agak keberatan.
“Gak bisa kurang ya harganya”
“Gak, itu harga asli bro, aku bantu kamu nyari, aku gak ambil untung”
“Mahal e, gak ada yang bajakan po?”
Dialog di atas sungguh-sungguh terjadi pada saya sidang pembaca yang budiman. Dari dialog di atas dapat kita berlakukan prinsip ekonomi dan kita simpulkan bahwa buku bajakan akan tetap ada sebab ada permintaan atau peminat. Industri busuk buku bajakan akan hilang dengan sendirinya jika masyarakat kita memiliki kesadaran untuk tidak membeli buku bajakan. Untuk menyadarkan mereka, segala pihak harus ikut mengampanyekan #stopbelibukubajakan. Tapi langkah kita tidaklah mudah.
Industri buku bajakan sebenarnya buntut dari masalah yang kompleks dan rumit. Misal, masih diberlakukannya pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap buku, kecuali buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama. Pajak ini tentu akan berdampak pada harga buku yang mahal. Belum lagi kertas, bahan utama mencetak buku harganya sering naik.
Harus kita akui bersama bahwa harga buku-buku yang beredar di pasaran lumayan mahal dan tidak terjangkau kalangan menengah ke bawah. Harga yang mahal itulah seringkali dijadikan peluang oleh pembajak dan si pembeli untuk berdalih membeli buku bajakan.
Dari dialog di atas juga dapat kita simpulkan bahwa mahasiswa yang katanya intelektual justru menjadi konsumen buku bajakan. Apalagi itu mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Harusnya ia tahu bagaimana alur buku diproduksi. Tahu bahwa masih diberlakukan pajak terhadap buku-buku sastra.
Sedikit banyaknya saya tahu betapa susahnya menghasilkan sebuah tulisan, termasuk tulisan ini. Betapa rapuhnya pelaku usaha penerbitan dan penerbit. Betapa sulitnya mengedit tulisan. Betapa ruwetnya menata letak tulisan. Betapa susahnya bikin kover buku. Betapa mahalnya biaya percetkan. Betapa kejamnya pajak yang mengancam penerbit dan penulis. Betapa sedikitnya minat baca di negara kita. Betapa kecilnya royalti yang diterima penulis.
Hal ini menjadi ironi mengingat para mahasiswa ini menghabiskan puluhan bahkan ratusan ribu dalam sebulan hanya untuk beli kuota internet guna main game online. Menghabiskan malam hari dengan nongkrong di kafe-kafe dan di mal-mal lantas mengunggahnya ke media sosial agar mereka dianggap gaul dan milenial. Tapi, untuk beli sebuah buku yang merupakan sumber gizi bagi otak mereka, sumber ilmu, dan sumber rujukan bagi tugas-tugas kuliah. Mereka sungkan merogoh kantong dan begitu perhitungan untuk beli buku, buku orisinal/asli. Dengan enteng dan tanpa rasa malu mereka membeli buku bajakan.
Mahasiswa harusnya menjadi garda terdepan dalam mengampanyekan #stopbelibukubajakan, garda terdepan menggiatkan literasi, garda terdepan dalam mengedukasi masyarakat. Lah ini malah ikut menyuburkan industri gelap buku bajakan. Pie thoo.
Opini oleh Jemi Ilham