Di dalam buku antologi puisi Oranye, kita kembali diajak mengulang masalalu dan kembali pada muasal.
Judul : Oranye
Penulis : Aditya Dwi Yoga, dkk
Penerbit : Masyarakat Poetika Indonesia (MPI) bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Tahun Terbit : 2015
Cetakan : Pertama
Dimensi Buku : 15×19 cm+130 halaman
Harga Buku : Rp30.000,00
ISBN : 978-602-229-523-5
Menggali sejarah, asal muasal, dan masalalu tidak akan pernah ada habisnya. Seberapa kuat ingatan yang dimiliki seseorang pastinya akan berbeda dengan orang lain. Dalam buku antologi puisi Oranye ini, seperti diiberi sajian bumbu rempah-rampah. Boleh suka, boleh juga tidak. Wangi yang semerbak dari puisi dalam buku ini hampir sama dengan wangi campuran bumbu-rempah-rempah. Manakala bumbu tersebut diolah dengan racikan yang pas maka akan keluar wangi yang menggairahkan.
Begitu pula dengan puisi, ia sama dengan rempah-rempah. Ketika puisi diracik dengan komposisi dan takaran yang pas maka bukan tidak mungkin wanginya akan semerbak. Di dalam buku puisi ini para penulis kembali “menapak pada tanah” . Hampir keseluruhan puisi mengangkat tentang permasalahan kultur. Para penulis sengaja menuliskan apa yang ada di dekat mereka sebagai bahan penulisan. Hal itu lebih mudah dilakukan, bukan berarti penulis meninggalkan perkembangan sastra Indonesia. Tetapi bukan tidak mungkin penulis merasa jenuh dengan perpuisian Indonesia yang “seperti itu saja”, lebih mementingkan kata daripada isi.
Berangkat dari fenomena tersebut, puisi di dalam buku Oranye secara tidak langsung menggambarkan kesadaran penulis tentang betapa pentingnya lokalitas. Sekalipun pemikiran yang diangkat banyak menggunakan diksi berbau kedaerahan, tetapi tetap tidak mengurangi unsur estetik dari puisi sendiri. Dalam hal ini pembaca benar-benar disuguhkan hal yang baru. Seperti pada bait puisi berikut:
Fragmen Tanah Lahir
………..
Tapi sepagi ini tak ada lagi
Gelinjang belut
Atau nyanyi katak
Berkelindan pada garu dan wluku
Menyambut matahariSawah tak lagi menjadi
Tempat asah wasilah
Karena nasib kini enggan lagi berjudi
Dengan benih dan musim
…………
Pada kutipan tersebut diceritakan tentang suasana di pedesaan. Suasana yang sangat lekat dengan persawahan dan cocok tanam. Penulis merasa ada hal yang janggal dengan persawahan dan cocok tanam dewasa ini. Sudah jarang belut bergelinjang dan katak yang bernyanyi. Sawah, benih, dan musim sudah tidak ada kejelasan nasibnya.
Bisa jadi penulis merasa ada yang berubah dengan pola cocok tanam di nusantara akibat adanya efek rumah kaca. Selain itu sawah-sawah sekarang banyak yang dijadikan sebagai perumahan dan kehilangan ruang hijau serta habitat koloni binatang. Hal seperti ini merupakan permasalahan yang dekat dengan penulis, dan bisa ikut dirasakan oleh khalayak umum karena mayoritas masyarakat nusantara mata pencahariannya adalah bercocok tanam.
Cerita tentang kehidupan sosio-kultural juga banyak disajikan dalam buku ini. Kepekaan penulis terhadap masalah sekitar, khususnya di daerah asal. Banyak sekali orang yang melupakan hal tersebut. Melalui puisi di dalam buku ini, kita diajak kembali untuk mengingat sejarah, untuk tidak melupakan asal, dan untuk mengenang masalalu. (Ard)