Sumber gambar:
Saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) dulu, saya punya guru favorit. Namanya Pak Suyatna, guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dari namanya, pasti pembaca budiman bisa menebak beliau berasal dari mana? Ya, beliau berasal dari salah satu daerah di Jawa Barat. Nama Suyatna berakhiran huruf a, bukan o (Suyatno) menandakan bahwa beliau itu orang Sunda atau urang Sunda.
Dari segi penampilan, Pak Suyatna bisa dibilang guru yang biasa-biasa saja. Beliau berkacamata agak tebal. Berkemeja lengan pendek dan bercelana panjang kain yang rapi. Dan, ini yang saya suka dari beliau, selalu membawa buku teks pelajaran. Itu tanda bahwa beliau tipe guru yang rajin belajar. Kalau istilah sekarang, Pak Suyatna ini merupakan guru yang berliterasi tinggi. Karena itulah, saya menjadi beliau sebagai guru favorit saya. Bahkan, saat itu, saya pun bercita-cita berkuliah di Program Studi PPKn.
Suatu waktu, saya lupa hari apa dan pukul berapa, saya sempat bertemu dengan Pak Suyatna di sekolah, setelah selesai melaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas; kini bernama Ujian Nasional) tahun 2000. Saya bilang, “Pak, saya ingin kuliah di Yogyakarta agar bisa jadi guru PPKn. Mohon doanya ya, Pak.” Beliau menjawab, “Bagus itu, Dar. Tapi, Bapak sarankan ya, kalau jam mengajar guru PPKn sedikit di sekolah. Kalau guru Bahasa Indonesia punya jam mengajar banyak. Jadi, lebih baik itu saja.” Saya menimpalinya, “Oh, begitu, baik. Terima kasih atas sarannya, Pak.” “Sama-sama, Dar,” begitu jawabnya, ringkas.
Kata-kata Pak Suyatna itu hingga kini masih terngiang-ngiang di telinga saya. Dan betul, seperti saran Pak Suyatna, saya memilih kuliah S-1 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta pada TA 2000/2001. Alhamdulillah, enam tahun kemudian saya berhasil meraih gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Dan, tiga tahun setelahnya, tahun 2009, saya pun melanjutkan ke jenjang S-2 di kampus yang sama.
Saya tidak tahu, apakah saat ini Pak Suyatna masih mengajar di SMAN 1 Tambun, almamater saya atau sudah pensiun? Yang pasti, lewat tulisan ini, saya ingin sampaikan kata-kata berikut, Pak Suyatna, terima kasih atas jerih payah Bapak selama ini. Mohon maaf apabila saya bersalah selama menjadi siswa Bapak di SMA dulu. Alhamdulillah, saat ini saya berhasil menjadi gurunya guru Bahasa Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta—seperti saran dari Bapak dulu. Saya betul-betul menjadi insan yang merdeka saat menekuni bidang Bahasa Indonesia; jauh dari bayangan saya sebelumnya.”
Pak Suyatna, kata orang Barat, time flies so fast, waktu berlalu begitu cepat. Dua puluh tahun yang lalu saya baru menjadi alumnus SMA; baru melepas seragam putih abu-abu. Dan kini, dua puluh tahun kemudian, saya sudah meniti karier dan hidup berbahagia bersama istri dan anak saya di Yogyakarta. Terima kasih, Pak Suyatna, atas saran Bapak yang berharga bagi hidup saya.
Ponowaren, 5 Juni 2020
_________
Esai ditulis oleh Sudaryanto, M.Pd. salah satu dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD)