Meski embun belum sempat menguap, Suud dan Hindun—isterinya, telah menjejaki tiap tapak jalanan kampung. Masing-masing membawa satu karung ketela milik para tetangga untuk disetorkan kepada pengepul di pasar Tanjung. Jalan tanjakan curam di tebing Pegadaian tidak menjadi perkara bagi mereka. Pekerjaan ini mereka lakoni selama 40 tahun. Meskipun kulit telah kisut, tak ada yang kalah dengan hawa pagi yang memaksa merasuki tubuh. Dua karung ketela yang mereka hantarkan setiap pagi itu dihargai lima belas ribu rupiah. Cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Setelah menyetorkan kepada pengepul, mereka bergegas kembali ke rumah. Perjalanan ditemani oleh langit yang perlahan merekah jingga. Usia senja tidak menjadi sekat untuk berhenti saling memberi kasih. Selama bertahun-tahun melewati jalanan menuju rumah, tidak ada tangan yang terlepas tanpa genggam. Warga yang sedang membersihkan halaman rumah mereka dari daun akasia, menyapa dan beberapa melontarkan senyum melihat pasangan itu.
Setibanya di rumah, Suud langsung membersihkan halaman rumah mereka dari daun dan kembang yang telah mengering. Pekarangan rumah itu dipenuhi oleh berbagai macam jenis kembang. Setiap pagi dan sore Hindun rutin memberi minum kepada tanaman-tanaman itu. Hampir seminggu sekali ia menyemai bibit baru untuk ditanam lagi di halaman. Kegemaran mereka sesekali melepas daun layu dan merapihkan dahan kembang yang tumbuh terlalu berantakan. Pekarangan ini menjadi langganan bagi warga kampung untuk meminta kembang ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal dunia. Ada yang meminta secara cuma-cuma. Namun tak jarang juga mereka menukarnya dengan bahan pokok.
“Mari duduk. Nyarap dulu,” sapa Hindun yang mrletakan sepiring pisang goreng dan teh hangat di meja teras.
“Sebentar,” sahut Suud yang sibuk mengatur tumpukan daun kering. Ia membenarkan sedikit letak anggrek yang berdiam di pohon mangga kemudian menyandarkan sapunya pada tubuh pohon itu. Setetes keringat yang mengalir pada dahinya, ia basuh dengan punggung tangan. Dengan senyum teduh ia menghampiri Hindun yang sedang menyeruput teh hangat.
“Bagaimana jika kamu mati terlebih dahulu. Aku tidak mau hidup hanya bersama kembang-kembang itu.” Suud tersedak teh hangatnya mendengar Hindun yang membahas hal demikian.
“Siapa yang akan menemaniku mengantar ketela? Siapa yang akan menemaniku membersihkan daun kering kembang-kembang itu?” Lanjutnya sebelum Suud sempat memberi jawaban. Suud mengantarkan teh hangatnya di atas meja. Tatapan dalam menembus mata Hindun. Raut wajahnya turun menambah keteduhan di pagi itu.
“Berhentilah berbicara tentang kematian. Aku masih akan tetap ada di sini. Kita abadi. Kalaupun terpaksa memang tiba, hanya untukmu akan kubuatkan makam paling indah.” Hening suasana setelahnya.
***
Siang itu Suud membuatkan tongkat pukul bola kasti untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Tiga orang anak laki-laki duduk mengelilingi. Fokus melihat setiap gerakan tangannya yang telah keriput membentuk pahatan pada tongkat tersebut. Anak-anak ini telah terbiasa bermain di halaman rumah mereka. Sesekali mereka akan duduk di sana hingga menjelang magrib setelah kelelahan bermain dan dipanggang oleh sinar matahari.
Dari serambi rumah, terdengar langkah yang tergesa, “Kek Suud, bisa siapkan liang lahat untuk Nyi Ambiyah.” Pinta Pak Herman tanpa basa basi. Suud melepas segala pekerjaannya dan tatapan anak-anak tertuju pada Pak Herman.
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Baik, Pak. Saya segera berangkat menuju TPU.” Jawab Suud sigap. Pak Herman kemudian pamit menuju mushola kampung untuk menyampaikan meninggalnya Nyi Ambiyah. Sedangkan anak-anak kecil yang tadi melingkari Suud hanya bersungut sebab tongkat yang mereka tunggu-tunggu tidak dapat selesai sore itu. Suud menjanjikan bahwa besok ia akan menyelesaikannya untuk mereka. Ia paham, belumlah dimengerti oleh anak-anak ini akan suasana kematian dan ditinggal oleh seseorang.
Hindun dan beberapa tetangga bergegas menuju ke rumah duka. Dengan membawa beberapa bahan pangan dan sembako untuk dimasak dan dijadikan hidangan untuk para pelayat di rumah duka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun di kampung mereka.
Setelah selesai semua prosesi lengkap dengan adat dan budayanya, mayat Nyi Ambiyah di bawa ke tempat pemakaman. Hindun menghampiri Suud yang sedang mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tak sekuat dulu. Kaki dan celananya kotor dibalut tanah merah bercampur dengan liat. Keringat bercucuran mengalir melewati dahinya. Hindun menuangkan air yang ia bawa dalam botol untuk mencuci tangan suaminya. Setelah bersih, ia keluarkan handuk kecil untuk menyapu keringat yang bercucuran itu. Suud menenggak minumnya, “Merdekalah ia dalam pikirannya.”
Suud sudah menjadi langganan sebagai orang yang akan dicari untuk dimintai tolong menggali kubur ketika ada warga yang meninggal dunia. Tidak pernah ia meminta bayaran sepeserpun dari sanak keluarga yang ditinggalkan. Kenapa harus meminta bayaran bahkan kepada orang yang sudah meninggal, pikirnya. Meskipun demikian, beberapa tetangga biasanya akan membayar dengan hasil kebun.
Perlahan orang-orang mulai meninggalkan pemakaman, setelah doa dan kalimat-kalimat baik diucapkan. Suasana haru membiru telah usai terjadi di pemakaman tapi tidak begitu saja dengan pihak keluarga yang ditinggalkan.
***
Esok paginya, tugas mengantar ketela berulang seperti biasa. Bedanya pagi ini mereka tidak langsung kembali ke rumah. Hindun meminta untuk membeli beberapa bahan masakan di pasar, “Sesekali. Perasaan saya hari ini ingin memasak sesuatu untukmu yang berbeda dari biasanya,” ucapnya. Suud menerima permintaan isterinya. Dengan uang hasil penjualan ketela tadi, Hindun membeli dua potong dada ayam yang berukuran cukup besar dan beberapa macam jenis sayuran untuk membuat sup. Tanpa bertele-tele, pagi itu Hindun bergegas hanya ingin cepat tiba di rumah, “Tak sabar ingin segera memasak semua bahan-bahan ini.”
Sembari menunggu Hindun memasak, Suud menyelesaikan tongkat pemukul kasti yang ia janjikan pada anak-anak kemarin. Hari ini adalah Minggu, tentu saja anak-anak itu sebentar lagi akan tiba di rumah ini untuk menagih apa yang sudah dijanjikan.
“Kek, apa tidak capek merawat tanaman dan kembang sebanyak ini?” Tanya Aldi sambil memperhatikan halaman rumah itu.
“Iya, Kek. Setiap pagi dan sore harus menyiram semuanya,” tambah Paras sambil menggosok bekas luka pada lututnya.
“Kakek merawat semua ini seperti merawat kehidupan,” sahut Suud sambil tersenyum menggoda kepada anak-anak itu. Mereka yang sesungguhnya tidak beigtu mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Suud, hanya turut tertawa dan menggodanya. Mereka segera membawa tongkat pemukul kasti yang sudah jadi itu ke lapangan. Sebentar saja mereka telah lenyap dari rumah itu. Suud masuk ke dalam rumah. Siap untuk menyambut masakan yang aromanya telah sampai ke halaman.
“Mari, makan. Karena sampai kapan bisa meneruskan kebiasaan ini aku tidak pernah tahu,” uap Hindun sambil menuangkan nasi untuk Suud. Suaminya itu lagi-lagi hanya bisa mengalihkan pembicaraan. Setiap hari apapun yang disediakan oleh Hindun selalu menjadi sesuatu yang spesial. Namun hari ini semuanya terasa lebih spesial. Mereka bak pasangan moderen yang pertama kali makan bersama sembari dimabuk asmara.
“Aku akan menanam bibit yang minggu lalu sudah kusemai.” Hindun lagi-lagi memulai pembiaraan. Pemberitahuan itu dibalas senyuman oleh Suud. Ia juga berkata pada Hindun bahwa ia tidak dapat membantu sebab ia dimintai tolong oleh salah satu tetangga untuk membantu menebas kebun yang baru ingin dibuat menjadi kebun katis.
“Tak apa. Akan kutunjukkan padamu setelah kembangnya selesai ku pindahkan ke tanah di halaman,” tanggap Hindun tenang.
***
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Telah berpulang ke rahmatullah, Hindun binti Win pada Minggu, 24 November 2002, pukul 16.10 WIB.” Sore itu terdengar pengumuman dari mushola kampung yang disampaikan oleh Pak Herman. Hari hampir pukul setengah enam sore. Suud yang setengah kelelahan dalam perjalanan pulang ke rumah mendadak lututnya lemas sebab mendengar pengumuman itu menggema memenuhi kampung. Ia terseok dan lututnya menghempas tanah. Air kembang keluar dari matanya. Beberapa warga yang melihatnya berbondong membantunya untuk bangun dan menuntunnya menuju rumah. Tidak dipedulikan apa yang orang bisikkan ditelinganya. Ia hanya ingin segera tiba di rumah. Apakah ini sekadar isi kepalanya yang sedang berteriak.
“Hindun meninggal dipatuk ukar weling saat ia sedang menanam kembang di halaman rumahnya,” ucap salah seorang tetangg yang belum menyadari kedatangan Suud. Ia masuk menerabas kerumunan tetangga yang memenuhi isi rumahnya. Air matanya telah kering, tidak ada yang keluar. Kerut wajahnya semakin tampak dan tatapan mata yang kosong pada wajahnya cukup menjelaskan betapa ia terpukul akan kepergian Hindun.
“Jangan kuburkan malam ini.”
“Akan kubuatkan makam paling indah untuk tempat peristirahatannya.”
Hanya itu pesan yang disampaikan Suud. Malam itu juga ia berangkat ketempat pemakaman dengan memanggul pacul yang biasa ia gunakan. Tetanga yang telah berusaha keras untuk menahan kepergiannya tidak dapat melakukan apa-apa. Malam itu Suud menggali sendiri liang lahat untuk istrinya.
Bersama kegelapan dan kesunyian hati malam itu ia kembali ke rumahnya unutk menemui sang istri. Hindun telah terbaring di ruang tengah dan dikelilingi oleh beberapa tetangga yang membacakan surat yasin. Rumah itu tidak sepi sebab ada tetangga yang menginap karena tau mereka tidak memiliki sanak saudara di kampung ini. Malam itu Suud tidur di sebelah isterinya. Banyak cerita yang ia sampaikan pada Hindun. Tidak satupun tetangga yang paham apa yang diucapkan oleh Suud.
Tepat setelah subuh, Suud telah berada di halaman rumahnya. Ia memetik semua kembang yang mekar. Dipetik semuanya. Lebih dari cukup. Melimpah ruah. “Hindun senang menuai, maka kupetik kembang-kembang ini untuknya. Aku berikan kembali kebahagiaan itu untuknya,” lantur Suud sambil memetik kembang.
Hindun dimakamkan pagi ini. Ramai jalan warga kampung mengantar mayat Hindun menuju lahatnya. Gundukan makam Hindun bak kebun bunga. Harum semerbak aroma kembang memenuhi pemakaman.
Setibanya di rumah, dengan sebilah parang ditangannya, Suud menebas semua tanaman yang ada di halaman rumah mereka. Halaman yang awalnya rimbun dan sejuk kini terlihat sekilas hanya seperti gundukan belukar. Ranting dan daun berbelit patah-mematah terbiarkan begitu saja. Semua tanaman itu mati.
“Lepas! Lepaskan aku dari pasungan ini! Harus kutebas semua yang tumbuh pada pekarangna itu! Tidak ada lagi tanaman kebahagian, kematian itu telah nyata menjemput!”
Cerpen oleh Dini Ferdianti, mahasiswa PBSI Semester 5 yang memenangkan juara 3 pada Lomba Cerpen Milad PBSI 22 Desember 2019.