Elegi yang Memudar

Tuan Di Sana yang Bisu

Diantara belokkan jalan
Duka yang diwartakan sayu
Papan nama menjelang fajar bermuka
Bisu lihatnya, tak merasa
Tuan yang di sana

Menjelang kuning kemerahan
Burung berelegi saling bersahutan
Deru melunak lapuk
Diantara pagar dan bata
Tuan di sana

Setelah belokkan jalan
Langkah lurus sayung tak tentu
Kalbu bertirakat tak jemu
Tuan dahulu perintis muka tanah ini
Bisu kekalnya potret semesta

 

***

 

Doa yang Rancu

Tuan yang datang dari kampung seberang
Tuan berandai sebongkah gemerlap
Dipasang kerikil-kerikil suram
Ia angkat tangannya pejamlah mata

Datang dari semak yang menyesat
Memelas kunci yang senantiasa didamba
Ia tunduk di atas rumput-rumput benalu
Ia serahkan pada roh-roh kerancuan

Berdoalah ia sesudah senja berkobar
Ia masih berandai
Ia terlelap pada bising kuasi
Tuan terpenjara

 

 

***

 

Peradaban Berduka

Daun menabur diperkakas oleh kelana layangan
Berpesta riuh membusur yang terpejam
Dari angka satu hingga sepuluh
Masing-masing menjelma lenyap
“Siapa yang akan tertangkap?”

Lain lagi kisah benua seberang
Dipadunya merah, kuning, dan hijau
Lompat sampai tanduk
“Hore!”
Soraknya takala dititik mampai

“Tembak! Tembak!”
Peluru yang ia basahi
Dibeduk dengan kepala bambu
“Tup!”
Bunyinya selepas dihunuskan

Jika ku dengar gema-gema si ujang
Terbirit-birit takala empunya bersua
Tak hendak pulang ketika dirasuk lembayung

Selepas pergantian masa
Daun tak jatuh
Menjelma tak perlu melenyap
Ujang yang bergemuruh dirakus media layar
Senyap ku dengar jalan
Suara induk meminta tuk pulang samar-samar
Peradaban berduka
Kaki tanahnya kian merindu

 

***

 

Puisi oleh Annisa Maulida Ramadhani, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), semester 3.

Leave a Reply