Berdikari Atas Intuisi
Sekiranya jagat mampu memalingkan rotasi waktu
Andaikata semesta sanggup mencekal jarak menuju lampau
Dan jikalau buana tak mahir merekonstruksi takdir
Segugus puan pasti memeram seonggok getir
Serangkai nyonya berserah di bawah titik nadir
Berdesir napas mereka dalam terungku
Berdegup jiwa diselimuti ragu
Hidup senantiasa terbalut pekatnya gulita
Buramnya aksara kian merabun dalam netra
Segala binar angan tersekat hingga sirna
Jatuh, gugur, lipur, luruh, runtuh, lesap, tumpas menuju binasa
Tak lagi menyisa secercah cita-cita
Hingga di suatu titik masa kartini tiba
Wujud rupa sahutan dari doa semesta
Berderas peluh dalam menuntun garis hidup baru
Berderai gerimis tangis dalam menyulut sukma yang layu
Berpayah meleburkan gejolaknya ombak stigma
Berpenat menepikan nasib dari pusaran prahara
Dan wanita merdeka atas segenap atma
Independensi benar layak dikantongi
Kedaulatan ialah harta segenap sanubari
Berdikarilah atas intuisi
Sebab gelora mesti tanpa sempadan
Kebebasan mesti tak bertuan
Kini wanita bebas selapangnya mengudara di antariksa
Leluasa berlari mengarungi jagat raya
*
Untuk segala nyala bintang di tengah temaram yang tetap tegar berpendar tak meredup walau dihembus topan. Untuk segala jiwa seteguh gugus karang yang tetap kukuh tak runtuh walau dihempas gelombang. Untuk segala hati penimbun ketulusan yang tetap tersenyum tabah walau dihujani tangisan. Untuk mereka, seluruh wanita dan segenap kekuatannya.
Juara 1 lomba Cipta Puisi oleh Hilda Anggita Ekawati
*
Simfoni Buana
Terpetik alunan dalamangan
Bersiul lirih menitih hantaman
Menjelma pias merona nan terpapar
Tercengkram marcapada terbinar
Selarik kelopak memandang
Terhampar sabana nan menari-nari
Membisiki sukma tuk berdendang
Merambahkan melodi ke sanubari
Tatkala dimensi membungkam
Angan pandir manusia menikam
Meriap jago merah nan menghujam
Memupus pukau jenggala tersihir muram
Kepulan membumbung pekat
Berliku-liku empang hitam berjingkat
Kerak pertiwi bergontai berkarat
Pembidikan marga dengan menjerat
Sarwa terdenting pesat
Permadani berdesir gulana
Pada suatu negara
Digenggam oleh seorang pundi
Menorehkan kanun yang ponggah
Menggelegarkan rakyat tukbergelora
Tergulirlah deaknesasi praja ini
Duhai sang buana
Sampai kapan kau abadi dikoyak
Mendemtumkan sukma dan cakrawala
Meriapkan kesumat nan menyeruak
Mari
Berkelana buihkan marcapada ini
Tiuplah sari sekar dengan anila
Bersemilembayungmerona
Huyungkan perkusi bermelodi
Marcapada teruntai kemabli
Yang kusingsing dalam romanintuis
Juara 2 lomba Cipta Puisi, oleh Achmad Rizky Surya Karim
***
Apa Kabar Proletar
Air mata habis tak terbayar
Perut mengering bak tanah tandus
Kerongkongan yang terhambat jeritan
Paru-paru hitam kelam
Sampah sebagai asupan
Nyawa sebagai taruhan
Itukah ciri dikau?
Tertindas adalah adat
Dan terhina adalah budaya
Masihkah itu ciri dikau?
Merayap di atas pijakan
Menjilat dasar mencari peran
Tertusuk-tusuk hingga hati terasa hambar
Sekali lagi! masihkah itu ciri dikau?
Oh doku
Sang tokoh utama dibalik musakat ini
Oh penguasa
Sang penggerak selembar kertas
Pejabat atau penjahat?
Gempa benak hati sudah terasa
Bertindak dipelototi
Tak bergerak maka tusukan semakin dalam
Jahanam!
Kunantikan dirimu!
Mata tersayat tak melihat bawah
Mulut terjahit mendusta sumpahnya
Perut terkoyak mengandung aliran haram
Jari teriris pancalongok rakyat
Mereka tertawa oleh angannya
Ulah doku?
Bukan! dia hanya sebatas benda
Lalu?
Merekalah yang bernyawa
Hanya terdiam senyum
Memaknai hikmah dan pasrah pada Sang Kuasa
Menanti bumi ke dua
Yang kekal dan abadi
Juara 3 lomba Cipta Puisi, oleh Muhammad Isa Asa Salasa