Apa itu Literasi?
Literasi secara umum dikenal sebagai gerakan membaca dan menulis saja. Atau paling tinggi dikenal sebagai konsep pemahaman dan pemanfaatan aksara atau bahasa. Walaupun sebenarnya kata literasi itu sendiri telah dibagi dalam berbagai bidang. Literasi menurut bidangnya masing-masing berarti memiliki pemahaman dan keahlian dalam pemanfaatan bidang tersebut.
Contoh bidang literasi: literasi baca tulis, literasi digital, literasi finansial, literasi informasi, literasi internet, literasi budaya, literasi media, literasi numeris, literasi sains, literasi teknologi, literasi visual, dll.
Konsep awal literasi adalah tentang aksara ataupun bahasa. Kata aksara sendiri yang berasal dari bahasa Sanskerta (‘a’ artinya tidak dan ‘kshara’ artinya ter musnahkan), sangat berkaitan dengan istilah tulisan tidak akan mati. Namun jika dilihat dari kata dasar literasi, yang diambil dari bahasa latin ‘literatus’ yang berarti orang yang belajar. Hal ini mengembangkan pemaknaan literasi itu sendiri, ada yang masih pada tingkat membaca dan menulis. Ada yang memahaminya sebagai sebuah kemampuan, pemahaman, dan menggunakan potensi dalam hidup.
“Literasi adalah membaca buku setiap pagi sebelum belajar (Siti Riska Apriliani, pelajar SMP 16 tahun)”
Apa itu keluarga?
Istilah keluarga sebagai tempat belajar pertama kali seorang manusia, tempat mengenyam pendidikan pertama kali secara non formal. Peran orang tua yang sangat berpengaruh kepada anaknya dalam mendidik perkembangannya. Sebelum seorang anak terjun ke masyarakat, sebelum ia menimba ilmu formal di sekolah, keluarga menjadi tempat yang baik untuk berkembang.
Rumah adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga mulai dari ayah, ibu, anak, dll. Beruntung jika sebuah rumah dihuni oleh banyak anggota keluarga besar. Itu artinya semakin besar kemungkinan pembelajaran Prasekolah bisa didapatkan. Dalam menggerakkan budaya literasi, salah satunya dapat menanamkan hobi membaca di keluarga. Bukankah kegiatan membaca bersama keluarga akan menyenangkan?
Kelemahan sistem keluarga adalah sikap menghargai yang lebih tua. Walaupun hal ini juga bisa disebut sebagai salah satu kelebihan. Namun dalam dunia pembelajaran agaknya kita boleh menuntut ilmu dari mana saja. Tak selalu yang tua harus mengajarkan yang muda, hal serupa harusnya dapat terjadi sebaliknya.
Istilah menghargai orang yang tua bukannya sebatas tradisi turun-temurun semata. Apalagi di negara Indonesia hal ini sangat mengakar di seluruh wilayah. Akibatnya mungkin pembelajaran dari keluarga akan selalu memiliki satu arah. Yang tua akan mengajarkan yang muda tapi tidak bisa sebaliknya, yang tua bisa mendapat ilmu dari yang muda.
Keluarga masih menjadi tempat terbaik untuk memperoleh ilmu. Bukan hanya karena menjadi yang gerbang yang pertama bagi manusia mendapatkan ilmu. Tetapi juga berkumpulnya orang-orang terdekat. Orang-orang terdekat itu yang memberi kita ilmu, tentunya proses tersebut akan terasa menyenangkan.
Literasi akhir-akhir ini disebut sebagai sebuah budaya yang gencar digerakkan oleh pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tak tanggung-tanggung penerapannya dimulai dari kurikulum seluruh sekolah di Indonesia. Penerapan ini dimulai sejak tahun 2015, bertahap hingga sekarang. Telah muncul beberapa gerakan kegiatan literasi dari Kemendikbud, antaranya adalah Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Gerakan Literasi Nasional merupakan upaya untuk memperkuat sinergi antar unit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuh kembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia. Gerakan ini akan dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, mulai dari ranah keluarga sampai ke sekolah dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah baik guru, peserta didik, orang tua/wali murid, dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan sehingga membutuhkan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca yang dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca. Guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati.
Literasi yang digembar-gemborkan pemerintah akhir-akhir ini tentu bukan tanpa alasan. Hal ini untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dengan negara maju. Salah satu ciri negara maju di dunia adalah angka tingkat melek huruf dan budaya literasi mereka yang sangat tinggi. Kesuksesan negara mereka tak bisa dilepaskan dari literasi. Dibandingkan dengan Indonesia yang pada saat ini memiliki peringkat literasi 60 dari 61 negara (tirto.id 2017).
Oleh karena itu, menurut pemerintah pelibatan publik dalam setiap kegiatan literasi menjadi sangat penting untuk memastikan dampak positif dari gerakan peningkatan daya saing bangsa. Dari berbagai ruang publik, salah satu target pemerintah adalah lingkungan keluarga. Direktoral Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas) pada 2015 menggerakkan literasi keluarga dalam rangka pemberdayaan keluarga meningkatkan minat baca anak.
“Keluarga adalah awal dimulainya aktifitas membaca (Siti Durotun K., wiraswasta 40 tahun)”
Lalu sejauh mana masyarakat sadar bergerak di bidang literasi? setidaknya untuk lingkungan keluarga mereka. Menurut Eri Adi Susanto, hobi membaca harusnya dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua harus memberi contoh pada seluruh anggota keluarga dalam membaca. Wiraswasta 32 tahun ini mengupayakan dan membiasakan membaca setiap hari. Setiap akhir pekan atau liburannya diisi dengan berjualan di Alun-alun Kidul, Yogyakarta sambil membaca berita via internet.
Sebagai kepala keluarga, Eri merasa memiliki kewajiban dalam menyediakan bahan bacaan di rumah. Menurutnya minimal setiap rumah memiliki 10 buku. Dia berpendapat, internet menjadi pisau yang bermata dua, bisa bermanfaat dalam kegiatan membaca atau malah sebaliknya. Dia sendiri dan juga keluarganya lebih sering memanfaatkan internet sebagai sumber bacaan dibanding dengan media cetak.
Gerakan literasi yang mulai berkembang di Indonesia saat ini menurutnya kurang berjalan dengan baik. Eri berpendapat bahwa generasi muda sekarang lebih suka bermain gim dari pada membaca. Inilah salah satu efek negatif dari penggunaan internet. Memang membaca bukanlah hobi yang mudah bagi banyak orang, idealnya kegiatan ini ditanamkan sejak dini.
Eri resah kepada orang tua yang sering membiarkan anak-anaknya bermain gim dibanding menanamkan hobi membaca. Padahal kita bisa memperoleh banyak manfaat dari membaca. Menurutnya ketika orang suka membaca, maka pengetahuannya akan lebih banyak. Biasanya juga dia akan lebih pandai menulis dan mengkritik.
Dari pandangan kepala keluarga seperti Eri tersebut, saya mencoba mewawancarai salah satu generasi muda. Raden Bimasakti A. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini ketika ditemui di Alun-alun Kidul, Yogyakarta sedang membaca koran sendirian. Dia mengaku membaca koran sambil beristirahat setelah bersepeda di hari libur.
Raden baru berusia 18 tahun dan masih duduk di bangku kuliah semester satu. Menurutnya budaya literasi di Indonesia masih kurang, salah satu cirinya masih banyak orang yang berdebat di media sosial oleh hal yang belum tentu benar. Keluarga perlu untuk menggunakan wawasan literatur dalam membenarkan berita yang ada di media sosial.
Sebagai pemuda, Raden sendiri tidak terlalu hobi membaca, begitu pula dengan keluarganya. Menurutnya jumlah buku idealnya setiap rumah punya 20 buku. Walaupun begitu jumlah buku di rumahnya lebih banyak dari itu. Namun hal ini karena kebanyakan bukunya adalah buku-buku kuliah, orang tuanya sering mengajaknya mendalami buku literatur mata kuliah dan membaca koran.
Pengaruh orang tua memang penting untuk menumbuhkan minat baca pada anak. Triyan Indriyanti, seorang staf administrasi di sebuah perusahaan di Yogyakarta. Ibu 29 tahun yang hobi membaca ini berpendapat membaca sangat penting bagi keluarganya untuk mencari informasi dan perkembangan zaman. Saat ini anaknya masih berusia 14 bulan, sehingga ia merasa jika membaca maka akan ketinggalan informasi, ilmu, dll. Keluar rumah untuk mencari wawasan seperti kajian, perkumpulan, pameran, dll. tidak sesering dulu lagi.
Bagi Triyan, literasi adalah gerakan membaca. Untuk bergerak dalam bidang literasi menurutnya bisa dimulai dari keluarga. Salah satunya dengan sering membaca dan membacakan buku cerita pada anak. Waktu membaca yang paling tepat baginya saat sore atau malam hari. Untuk kebutuhan diri sendiri, disela-sela waktu bekerja dan mengurus rumah, dia menyempatkan membaca selesai beres-beres rumah dan ketika anak sedang tidur.
Tidak bisa dipungkiri peran keluarga dalam membentuk perilaku membaca bagi anggota keluarga lain begitu besar. Walaupun kebanyakan selalu yang tua (orang tua) yang menanamkan hobi baca. Tak jarang anak muda yang ingin keluarganya memiliki hobi membaca. Mungkin hal ini juga karena pengenalan budaya literasi di sekolah, sehingga memancingnya untuk menerapkannya di lingkungan keluarganya.
Kemajuan zaman memang mempermudah segala urusan manusia lewat internet. Gerakan literasi mungkin terbantu lewat teknologi ini. Kegiatan membaca semakin mudah dilakukan hanya dengan mengakses berita atau e-books di internet. Namun peran keluarga dalam menyediakan bahan bacaan di rumahnya masih diperlukan. Bahan bacaan cetak membuat semua anggota keluarga bisa saja mengakses bacaan tersebut dengan mudah.
(WIL)