Rumah Penyair 5, Setelah Itu Apa?

Antologi Rumah Penyair sudah eksis di PBSI UAD semenjak tahun 2013. Rumah Penyair lahir dari mata kuliah Apresiasi Puisi dan Kajian Puisi yang diampu oleh Abdul Wachid B.S. Antologi Rumah Penyair pertama kali terbit tahun 2013 dipelopori kelas C dan D angkatan 2011, kemudian dilanjutkan dengan Teras sastra (2014), Rumah Penyair 2 (2014), Rumah Penyair 3 (2015), Kritik Puisi Indonesia di Mata Mahasaiwa PBSI UAD (2016), Rumah Penyair 4 (2017), hingga Rumah Penyair 5 (2018).

Penyusunan antologi Rumah Penyair lima merupakan proses yang bisa dikatakan berat, karena mahasiswa diharuskan membuat kurang lebih sepuluh puisi. Kemudian, puisi-puisi tersebut diharuskan mendapat persetujuan dari asesor. Jika belum lulus penilaian, mahasiswa mau tidak mau membuat ulang atau memperbaiki puisinya hingga dapat diterima dalam waktu satu semester. Asesor puisi ini biasanya berasal dari mahasiswa yang memiliki kelebihan pada bidang puisi. Setelah melalui proses persetujuan, puisi-puisi kemudian disaring menjadi tiga atau empat terbaik untuk diikutsertakan dalam buku Rumah Penyair.

Antologi Rumah Penyair memiliki dampak pada beberapa perspektif. Dampak bagi mahasiswa adalah jangka panjang dalam kompetensinya sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Guru bahasa dan sastra indonesia dituntut untuk minimal mengetahui proses membuat puisi dan pernah menulis puisi yang dibukukan. Tidak semua mahasiswa berkesempatan menulis dan dicetak dalam antologi. Selain itu kemauan mahasiswa juga menunjang proses dalam pembuatan puisi.

Prodi PBSI patut berbangga terhadap salah satu karya mahasiswa ini. Sebagai karya penunjang tridharma perguruan tinggi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 pasal 1 disebutkan bahwa Tridharma adalah kewajiban perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan dukungan positif terhadap perkembangan budaya menulis di PBSI.

Dari sisi pendanaan, mahasiswa secara mandiri iuran sebanyak seratus dua puluh lima ribu. Penulisan puisi Rumah Penyair lima diikuti oleh 102 mahasiswa angkatan 2015 terdiri atas: 33 mahasiswa kelas B, 32 mahasiswa kelas C dan 37 mahasiswa kelas D. Dengan dana Rp12.750000,00 ditargetkan masing-masing mahasiswa mendapatkan tiga eksemplar buku cetak, ditambah buku-buku untuk disebarkan ke perpustakaan kampus maupun luar kampus UAD, jadi totalnya sekitar 400 buku berukuran 14,5×21 cm berisi 336 lembar.

Peluncuran Rumah Penyair 5 yang Haru

Minggu, 16 Desember 2018, pukul 15.15-19.30, bertempat di Jejak Kopi, Prenggan Selatan, Kotagede saya menjadi salah satu saksi haru peluncuran Rumah Penyair 5 yang diulas oleh Ilham Rabbani dan Bisri Mustofa. Jauh dari hingar bingar Milad prodi PBSI ke-37 yang telah usai siang. Rumah Penyair 5 sepi seperti tanpa penghuni. Hanya dihadiri oleh beberapa penulis yang namanya termaktub dan beberapa handai taulan yang peduli.

Rumah penyair 5 dicetak pada bulan April dan kini sudah bulan Desember. Kurang lebih 9 bulan kemudian baru diluncurkan. Sungguh sangat terlambat, sudah hampir 1 tahun. Namun banyak hal yang perlu dimaklumi. Pertama, pendanaan penerbitan dan peluncuran antologi ini murni dari mahasiswa. Sebab pendanaanlah yang menjadi masalah ia diluncurkan (seadanya). Tapi kita perlu mengapresiasi kawan-kawan yang terlibat dalam antologi maupun peluncurannya ini. Sebab mereka masih punya semangat dan api keyakinan. Bahwa karya ini tidaklah pernah sia-sia.

Rumah Penyair 5, Setelah Itu Apa?

Setelah Rumah Penyair 5, apakah masih ada rumah-rumah selanjutnya? Atau ini rumah yang terakhir?. Kegelisahan saya bukan tanpa sebab. Pertama, mahasiswa PBSI angkatan 2016 gagal membangun rumah penyair 6. Abdul Wachid B.S dalam curhatannya mengatakan bahwa angkatan kali ini ogah-ogahan dalam proses pembuatan ataupun pengumpulan puisi. Namun ia tidak mampu berbuat banyak, toh katanya itu soal selera dan kesadaran mahasiswa sendiri. Sebagai salah satu orang yang ditunjuk Abdul Wachid B.S untuk membantu, saya mengamini apa yang ia rasakan. Dalam pengumpulan dan Acc puisi, mahasiswa membuat puisi hanya menggugurkan kewajiban tugas dan presensi saja. Tapi begitulah sastra kita, sepi peminat.

Kedua, sosok Abdul Wachid B.S tidak ada lagi di PBSI. Ia merupakan motor penggerak rumah penyair selama ini yang telah menghasilkan 7 buku dan melahirkan penulis seperti Iqbal H. Saputra, Angga Trio Sanjaya, Ardy Priyantoko, R. Ari Nugroho, Ilham Rabbani, dll.

Pertanyaan-pertanyaan ini selalu terngiang; Rumah Penyair 5, setelah itu apa? Masihkah ada yang peduli baik mahasiswa maupun prodi? (JI)

Leave a Reply