Abstrak
Bahasa (dari bahasa sansekerta भाषा, bhāṣā) adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan (ensiklopedia bebas).
Manusia sejak lahir telah dikarunia oleh sang pencipta dengan bahasa. Bayi punya bahasanya sendiri yang tidak dipahami oleh manusia dewasa tapi ibu mampu menangkap dengan naluri keibuan bahasa si bayi.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni (ensiklopedia bebas).
Disetiap wilayah mempunyai budaya tersendiri. Indonesia mempunyai 1340 suku menurut sensus bps tahun 2010 (ensiklopedia bebas).
Bahasa dan budaya mempunyai hubungan yang kuat keduanya merupakan syarat mutlak suatu bangsa. Menurut ensiklopedia bebas di dunia ini terdiri dari 6000-7000 ragam bahasa. Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau dan beraneka macam suku adat, dan ditiap-tiap suku tersebut mempunyai bahasa daerah tersendiri, dengan kondisi seperti itu dalam interaksi antar suku maka di situlah peran bahasa Indonesia untuk menyatukan anak-anak bangsa dari Sabang sampai ke Merauke, dari Pulau Rote sampai Pulau Nias, kesemuanya merupakan suatu tatanan nilai kehidupan warisan dari leluhur yang menjadi tanggung jawab kita untuk melestarikannya karena itulah warna kita, identitas manusia nusantara.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Dengan populasi Hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018.
Proporsi populasi jumlah suku bangsa di Indonesia menurut sensus 2010 sebagai berikut:
(sumber: Ensiklopedia bebas/Google)
Dari data di atas mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai bahasa dan budaya berbeda-beda di tiap daerah, namun semuanya menyatu dalam wadah NKRI dari segi bahasa mereka berbaur dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara sementara budaya diikat oleh slogan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Penjelasan
Di era digital dewasa ini jendela dunia ada di genggaman kita, sebuah percepatan peradaban yang sangat drastis, pra dan pasca kemerdekaan “Buku adalah jendela dunia” para kaum terdidik meng-amini kalimat tersebut, namun kalimat itu seperti kehilangan ‘roh’ nya ketika smartphone sudah ada di tangan kita semua. Cukup mengakses fitur-fitur yang sesuai kebutuhan kita maka semua akan muncul di layar ponsel kita dengan mudah, sebuah lompatan keilmuan yang begitu cepat dan mampu merubah tatanan masyarakat kearah serba instan, dalam memenuhi kebutuhan dan menjalani rutinitas hariannya.
Bukan tidak mungkin melahirkan sebuah masalah baru jika tidak mengontrol kebutuhan-kebutuhan kita, menempatkan dunia digital itu sebagai kebutuhan primer adalah suatu sikap yang tidak bijak menurutku dikarenakan kita bisa tertarik oleh magnet ketergantungan yang berimbas ke kehidupan sosial kita, sebagai mahluk sosial manusia butuh interaksi secara nyata dengan mahluk lain di alam nyata, mahluk yang saya maksudkan dalam hal ini adalah manusia, tumbuhan, hewan, dan semesta ini, kita membutuhkan mereka dalam interaksi di kehidupan ini dalam lingkaran simbiosis-mutualisme.
Penulis mencoba mengajak teman-teman untuk bernostalgia Di masa-masa kemerdekaan, bagaimana rasa patriotis, persaudaraan, jiwa sosial, dan nilai-nilai kearifan lokal begitu kental dalam tatanan kemasyarakatan kita, terbentuk begitu saja, karena ada desakan dari keadaan yang terjajah, berangkat dari nasib yang sama itu, tali persaudaraan terajut dengan kuat, bahasa di tiap-tiap daerah tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Indonesia dalam berinteraksi, ketika melakukan komunikasi antar daerah atau pulau mereka menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia bahasa daerah mereka gunakan ketika berada dalam masyarakat kampung dan pelosok, sementara mereka yang melakukan rutinitas di perkotaan menggunakan bahasa Indonesia dikarenakan berbagai suku yang berbaur di dalamnya, seperti Kota Samarinda sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, masyarakat disana menyebutnya sebagai miniaturnya Indonesia mengingat hampir semua suku ada di sana, baik yang tinggal secara permanen maupun yang sementara karena pekerjaan.
Dari segi budaya, “Bhinneka Tunggal Ika” adalah semboyan yang digenggam oleh burung garuda sebagai lambang negara yang artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” kalimat ini diambil dari bahasa Jawa Kuno pada kitab Sutasoma karya Mpu Tantular di masa kerajaan Majapahit yang berfungsi sebagai perekat budaya-budaya ditiap-tiap daerah di Indonesia, dengan adanya semboyan itu rasa toleransi antar budaya, agama, dan kepercayaan.
Namun kenyataan yang harus kita hadapi sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat akibat dari paradigma dunia digital, sehingga sifat individualistik menonjol, apatisme pun menyebar bagai virus merambah kepolosok desa, smarthphone bagai momok yang menakutkan, jika pemuda-pemudi suatu kampung memiliki smarthphone maka bisa terindikasi jiwa individualisnya menonjol, mereka akan larut dalam dunia masing-masing menyelami alam maya, tersenyum, tertawa, sedih, menangis, dan berbagai gejala psikologis lainnya akan menghinggapi orang tersebut tanpa harus bersentuhan dengan orang lain, mereka larut dalam dunia yang mereka ciptakan di dunia maya nya.
Kedua fenomena yang berbeda masa di atas tersatukan oleh bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia, dimana bahasa menjadi syarat yang bersifat fundamental dalam sebuah interaksi sosial kemasyarakatan.
Lahirnya sebuah budaya baru tentu dikarenakan adanya kesamaan sudut pandang dalam menyikapi kehidupan secara kolektif di masyarakat, penulis mencoba mengangkat dua buah budaya yang saling bertolak belakang dengan masa waktu yang berbeda di atas yakni budaya di era tahun 1945-an dan di era digital sekarang ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan tatanan nilai budaya ketimuran yang kental tentu ini menjadi identitas kita sebagai regenerasi dan menjadi beban bersama, kita sebagai warisan luhur dari para pendahulu merupakan aset yang sangat berharga dalam melestarikan tatanan nilai yang dibuat oleh leluhur kita tanpa harus terjebak oleh budaya urban yang berusaha meng-absurdkan identitas kita sebagai masyrakat nusantara, masyarakat yang beradab dan toleran. Seperti hal nya di Makassar budaya (siri’ na pacce) artinya harga diri dan solidaritas yang tinggi.
Merupakan identitas orang Makassar namun belakang ini harus ternodai ketika maraknya tindak asusila, pembegalan, dan tindak kriminal lainnya di Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini, sangat ironis memang, karena pemicunya adalah hilangnya marwah identitas orang Makassar, budaya saling tolong menolong, tenggang rasa, empati, dan rasa malu ketika berbuat amoral yang akan menodai harga dirinya, apatisme, dan individualistik menjadi penyakit sosial yang menakutkan dewasa ini mampu melumpuhkan tatanan nilai yang diwariskan oleh leluhur kita.
Adapun langkah positif dari pemerintah dalam menyikapi paradigma ini, dalam hal ini pemerintah daerah Sulawesi Selatan melakukan suatu gebrakan dengan membuat kongres budaya di Hotel Sahid baru-baru ini dengan rumusan sebagai berikut:
- Pendaftaran budaya benda dan tak benda.
- Pendaftaran HAKI dan untuk karya seni dan budaya.
- Peranan masyarakat dalam kebudayaan harus ditingkatkan dengan berbaggai cara dalam menanggapi zaman teknologi informasi.
- Penguatan peraturan gubernur untuk pembelajaran bahasa daerah (muatan lokal) untuk setiap sekolah.
- Revitalisasi budaya lokal dalam konteks mileneal.
- Literasi untuk seni dan budaya.
(sumber: Facebook grup sejarah Bone)
Dengan adanya upaya pemerintah menjaga dan melestarikan budaya daerah, penulis berharap kepada semua elemen masyarakat organisasi kepemudaan dan generasi milenial termasuk saya pribadi untuk bisa berkontribusi dalam menjaga eksistensi bahasa dan budaya kita, baik budaya dan bahasa daerah maupun budaya dan bahasa nasional kita, sebagai perwujudan negara yang berdaulat dan merdeka.
Kesimpulan
Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan beragam budaya ditiap-tiap daerah dan bahasa-bahasa daerahnya, maka disitulah peran bahasa nasional dan budaya nasional sebagai simbol pemersatu bangsa, budaya merupakan tatanan nilai yang wajib dilestarikan tanpa harus ter-asing dari budaya bentukan modern dewasa ini, dengan bersinerginya antara bahasa sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi dengan sesama dan budaya sebagai jati diri kita sebagai masyarakat indonesia maka kita akan bangga berdiri ditengah-tengah budaya-budaya yang ada di dunia ini, di belahan bumi manapun kita berpijak kita adalah Indonesia dengan bahasa dan budaya yang kita hidupkan dalam keseharian kita maka kita akan menjadi representasi hidup dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Esais: Surianto, Universitas Panca Sakti Makassar, Jurusan Fisika.