Puisi IR Rabbani

Musim Palawija

: Kampung Ungga, Lombok

/1/
Ini musim palawija tiba:
kakek-nenek merawati ubi, kacang panjang berkawan paman
ibu dan bibi menuai kedelai, sementara saya
kian gandrung pada rambut-rambut jagung.

Oy gamaq, pagi yang berembun
rumput-rumput lapang jadi sajadah belalang
ada pematang lurus memanjang, juga yang berlengkungan bagai suratan
di barat gunung di timur gunung
di utara dan selatan sungai-sungai mengalirkan kesejukan
“lalu dari hitam itu matamu, akan lahir dunia baru,”
demikian kata ibu.

/2/
Ini musim memunggungi padi
di dalam lumbung, tentunya gabah menggunung sudah
mengisi ruang yang semula panas dan disebaki oleh cemas
akan kelaparan, akan upah para belian
andai tiba-tiba nyeri menyerbu ke punggung ibu.

Oy Denda, betapa saya merasa gembira
lambung ternak tidak pernah lagi menyanyi
setelah musim mengajari turi cara berbagi:
daun buat kambing bersama sapi;
kembangnya bahan masakan kami;
dan biji-biji yang berjatuhan disemai kembali.

Oy kembang cempaka kembang kenanga,
lebih tajam mana antara parang dengan kewaskitaan?
Lebih sejuk manakah antara angin musim palawija
dengan segenap kejatmikaan dan waswas yang terus dipangkas?

Sebab demikian pendirian paman
tikus-tikus dibiarkan berkejaran
keluar dan masuk ke dalam lubang
seperti tengah menyusuri labirin hidup
yang senantiasa menawarkan warna gelap-terang,
lurus hanya terkadang, lebih kerap ia bercabang-cabang.

/3/
Ke desa-desa tetangga kami
ibu dan bibi berjualan pagi sekali
itu hasil panenan menumbuhkan mimpi
itu hasil jualan memekarkan nama dalam cita-cita.

Ibu meninggalkan kecup dan agar-agar cup
di samping guling, di dalam mimpi yang sering kelewat mbeling:
saya mau jadi ABRI, pasti tidak betah jadi petani,
“Kira-kira jika nanti kamu pergi, siapa yang suka mengurusi kami?”
Candanya tatkala saya dikeloni.

Oy Neneq Kaji, ibu yang baik, ibu yang selalu baik, ibu yang akan tetap baik
kedua lengan, serta jari-jemarinya bagaikan tongkat sihir
ibu peri Bawang Merah Bawang Putih di televisi hitam-putih
disulapnya buah-buah labu menjadi baju
dengan selembar kain yang menggantung di bagian punggung
dan menjelmalah saya super hero paling agung:
Panji Millenium sang petarung!

/4/
Ini musim palawija lagi
ini musim kembali memunggungi padi, untuk kesekian kali
ibu duduk di depan gubuk, kakek mulai sibuk terbatuk-batuk.

Di barat gunung di timur gunung
di utara dan selatan hanya angin menerbangkan angan
di punggung dasi yang saya pakai
tertulis selarik kalimat masai,
bahwa rupanya: “Sawah dan ladang kami,
kian lama telah tergadai.”

(2018)

Juara 1 Lomba Cipta Puisi Bulan Bahasa UGM 2018
“Suara Sastra, Suara Kebebasan”

Profil penulis:

IR Rabbani, nama pena dari Ilham Rabbani. Lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif di komunitas sastra Jejak Imaji, Kelas Sunyi, dan Forum Apresiasi Sastra (FAS) LSBO PP Muhammadiyah. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Sekolah Menulis Balai Bahasa DIY angkatan I (2016).

Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi bersama Rumah Penyair 4 (UAD, 2017), Kado Terindah (JP, 2017), Requiem Tiada Henti (SKSP, 2017), Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017), Puisi Menolak Korupsi 6 (FSS, 2017), Kota, Ingatan, dan Jalan Pulang (BBY, 2017), Yogya Halaman Indonesia jilid II (SPS, 2017), Pesan Damai Aisyah, Maria, Zixing (SKSP, 2018), dan Dari Negeri Poci 8: Negeri Bahari (KKK, 2018). Tulisan lainnya termuat di Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Pocer.co, Kibul.in, Karepe.com, Majalah KRESKIT, dan lain-lain.

Kontak surel: ilhamrabbani505@gmail.com

Leave a Reply