Cinta dan kegilaan sangat sulit dibedakan. Perasaan itu kadang serupa, bahkan terlihat sama. Orang yang sedang mencintai tak jarang berakhir gila. Dan mereka yang gila karena cinta, takkan pernah mau mengakui kegilaannya.
Seperti Chime, ia sering dipanggil, “Perempuan gila”. Atau mungkin ia memang gila. Orang-orang memanggilnya seperti itu, ketika ia tak pernah berpisah dengan bola, bahkan hanya sesaat. Ia akan selalu bersama bola.
Saat Chime hendak makan, ia akan berlari menggiring bola dari kelas sampai ke kantin sekolah. Ketika akan pergi ke ruang guru, ia juga akan berlari-lari kecil sambil menggiring bola. Selalu bersama bola, itulah Chime. Untuk bocah sekolah dasar, dengan umur jagung sepertinya, rasanya memang aneh jika bisa tergila-gila dengan bola. Pernah suatu kali ketika bel istrahat telah berbunyi, ia telah keluar kelas sambil menggiring bola ke lapangan upacara, dan menendang bola sekuat-kuatnya.
“Syukurlah, makin hari tendanganku bertambah keras saja,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di pipinya.
“Tapi ini belum cukup,” wajahnya mulai serius. “Aku tak boleh cepat puas, perlu dilatih lagi,” ia menegaskan keyakinannya.
“Kau harus kulatih lagi,” ucapnya ketika memandang sebelah kakinya.
Teman-teman di sekolahnya hanya bisa memandang heran. Mereka masih bingung, Apa sebab anak perempuan menjadi gila dengan bola? Apa lagi seperti yang dilakukan Chime, rasanya tidak masuk akal.
“Perempuan kok suka main bola?”
“Entahlah. Lagian, apa manfaatnya kalau perempuan suka dengan bola atau sepak bola?”
“Lebih baik, menyukai pemain sepak bolanya saja.”
Setiap hari teman-teman Chime akan terus bergunjing seperti itu. Keanehan memang telah menjadi bahan pembicaraan menarik. Tetapi takkan ada yang berubah, Chime akan terus mencintai sepakbola. Dan setiap hari juga, orang-orang akan merasa aneh terus melihatnya.
Tapi tak ada satu pun yang mengetahui kebenaran itu. Chime hanya bisa membela diri dengan menegaskan, bahwa ia tidaklah gila. Kadang-kadang, ia mengatakan itu dengan perasaan yang ia sembunyikan dan tak ingin diketahui banyak orang. Ia hanyalah orang yang terlalu mencintai sesuatu. Dan ia mencintai bola, apa salahnya? Kemudian ia teringat bahwa suatu waktu ia pernah membaca penggalan sajak Rumi, “Untuk mencicipi cawan cinta terkadang mesti gila.”
“Inilah cintaku, aku mencintai sepak bola. Biarlah, ini urusanku. Mereka tak akan memahamiku karena mereka tidak mencintai sesuatu.”
***
Bu Erni hanya bisa menepuk jidat saat bertemu Chime. Bu Erni mulai tidak suka saat sedang mengajar, murid-murid hanya ribut membicarakan keanehan CHime. Dan ia telah memutusakan untuk mencari solusi dari ketidakwajarannya saat mengajar. Dan ia menanyakan hal itu secara langsung.
“Aku hanya mencintai sepak bola Bu. Aku tidak mengganggu orang lain.”
Bu Erni hanya menghela napas. Ia masih terheran-heran memandangi Chime.
“Maafkan ibu! Ibu harus menyita bolamu. Kau tak boleh bermain bola di sekolah untuk beberapa hari ini!”
Chime hanya terdiam dan tak banyak membantah. Ia keluar dengan mata yang basah. Ia menangis, tetapi tak bersuara sedikit pun. Ia memandang langit yang gelap di luar sana. Dan ia akan pulang. Ia telah paham, tak ada satu pun tempat yang akan memahami jalan hidupnya.
***
Seminggu telah berlalu sejak Bu Erni memanggil Chime ke ruang guru. Dan seminggu itu pula Chime tak bermain bola. Di sekolah ia tak lagi muncul. Sudah tak ada lagi perempuan yang akan menggiring bola dan setelah itu dipanggil “Perempuan gila”.
Bu Erni yang mengetahui masalah ini sedikit merasa bersalah karena telah melakukan kejahatan. Ia menyadari telah membatasi Chime dalam mencinta. Dan barangkali hal itu yang menyebabkannya tak lagi datang ke sekolah.
***
Bu Erni telah sampai di depan rumah Chime setelah seorang tetangga menunjukannya. Ia memutuskan untuk mengembalikan bola yang sempat disitanya dan berharap akan membuat Chime kembali datang ke sekolah.
Dari balik pintu, Chime muncul dengan wajahnya yang cemas. Bu Erni menghampiri untuk menanyakan kecemasan itu. Sementara Chime hanya menangis memeluk Bu Erni. Tak lama kemudian menariknya untuk mengintip ke dalam rumah. Pemandangan yang sangat menyakitkan. ayah Chime berkali-kali memukul dan menendang ibu Chime. Dan Chime menjadi penonton yang baik untuk perkelahian itu.
Kali ini Bu Erni yang memeluk Chime, dan bola yang dari tadi berada di genggamannya telah jatuh.
“Aku ingin menjadi pemain sepak bola Bu, biar tendanganku kuat. Aku ingin membalas perbuatan Ayaku.” (Mifta).