DI HASTINA
di Hastina mata pedang masih menyala
memandang hening padang Kurusetra
setelah angkara ditumpaskan, hingga darah tumpah ke segala arah pandang
tak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kata-kata
dari sumpah serapah yang menjadi cagak tegak sejarah
mata pedang masih menyala
tersebar di sudut ruang raja
menjadi saksi mata yang terus berkata
bahwa :
“aku hidup dari hiruk jiwa ksatria”
akankah tumbuh Pandawa dan Kurawa
yang saling tuduh dan membunuh
demi terpasangnya mahkota di kepala
dibawa segala rupa darma untuk melancarkan segala siasat
tapi mengapa darma harus lahir dari aliran darah hingga membentuk
sebuah takdir?
(2018)
Pertanyaan Untuk Sepi
barangkali sepi terbuat dari pertanyaan orang-orang yang meruap ke langit dan membungkam
pelbagai mulut hingga menjadikanya sunyi
tapi barangkali tempat yang paling sepi adalah saat kau bertanya di mana :
karena menuju “Di mana” kau harus berjalan, melewati orang-orang yang gagal menemukan tempat sepi yang amat sunyi, mereka berputus-asa dan gantung diri di bawah tiang pencarianya yang mulai berlari, mereka berpikir sepi adalah suatu tempat, mereka lupa bahwa sepi yang paling sepi sekali adalah ketika hari dan pikiranmu lenggang, namun kau tidak bisa kemana-mana.
(2018)
Antasena
akulah yang hilang dari kudus catatan masa silam
demi sebuah darma yang ditegakkan
meski di kepala semua merasa enggan
atas nama Antasena aku mundur dan berserah harapan
sebelum kerang ditiupkan
sebelum pedang disarungkan
akulah yang jauh direncanakan
akulah satu-satunya nama!
menjadi korban siasat seorang begawan dan syang hyang wenang
ditakhlukan sebelum menjarah medan perang
dihentikan sebelum kakiku menjajaki jantung korban
dan akulah yang mati!
membikin pati dari ulahku sendiri!
membongkar takdir dari segala yang belum lahir
akulah Antasena!
yang jauh berkelakar sebelum ramai dencing pedang menjadi bunyi
paling sunyi.
(2018)
Di Dera Derita Masa Silam
kitalah yang lahir dari kekeliruan hari kemarin
saat Adam terlalu cinta pada Hawa
sedangkan di sorga ia sedang digoda
bukan untuk memanjakan cinta ataupun mensiasati tubuh manja
tak ada ular yang melingkar
namun nafsu telah keras berkelakar
pada lingkar pohon khuldi
hamba menunggu duka
yang akan saling berkabar
sebab, kita ada dari kekeliruan hari kemarin
sepongah cinta Rama-Sintha
sebongkah alasan tegakkan darma
hanya karena istri, mereka lebamkan negeri Alengka
maka masa silam musabab kekeliruan bahkan kehancuran
yang terus tumbuh
dan di tubuh ini kita akan didera hukuman
dari kisah cinta yang berlandaskan nafsu berahi kemaluan
(2018)
Pengembara yang Kehilangan Muasal
akulah pengembara kehilangan muasal
tak perlu ada lagi potongan sejarah ditinggal
sebab hanya ada luka yang akan tanggal
kini tak ada jalan setapak yang panjang
tak ada senyum nenek moyang yang harus dikenang
bahkan tak ada jalan pulang
yang menghantarkan kita untuk mengadu pada pangkuan dan tatap ibu
yang paling sayang
akulah pengembara yang kehilangan muasal
kehilangan kampung halaman, kehilangan tempat kenangan berada bahkan kehilangan sebagian dari diriku sendiri
di sinilah aku menjadi pengembara yang kehilangan muasal
tak akan ada peristiwa yang mampu mengenalku kepada asal mula aku ada
(2018)
Dimuat di Koran Minggu Pagi tanggal 26 Oktober 2018.
Nohan Wijaya nama pena dari Nohan Dhanan Purwawijaya
Lahir di Gunungkidul, 16 Mei 1998. Mahasiswa aktif di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bergabung dalam kelompok belajar puisi Kelas Sunyi dan komunitas Teater Jab UAD, karya-karyanya pernah dimuat di Minggu Pagi.